CERPEN

CERITA PENADAH TANGAH

Lelaki malam

Pelita yang sama.saat dulunya menerangi gelap semuku. Kemuning cahayanya tersemburat di pipi. Semakin dekat dalam panas jingganya. Tarian cahaya bergoyang ditiup bayu, seperti hatiku yang tergerak oleh kepulan asap hitamnya.

–sendiri meratapi nyala lilin yang hampir habis- (3 Maret 2007; 19:07:12)

Jalan ini terasa begitu gelap. Hanya disinari pantulan cahaya yang berasal dari gedung kampus di sisi jalan. Sementara lampu-lampu jalan yang dulu bak matahari malam, kini sengaja dipadamkan. Rupanya benar kata orang-orang, institusi pendidikan ini sedang mengencangkan ikat pinggangnya. Entah untuk alasan apa. Padahal biaya pendidikan semakin menjulang, hingga anak-anak petani hanya bisa bermimpi memasuki gedungnya dan bersalaman dengan mahasiswa baru lainnya. Padahal proyek-proyek banyak dikerjakan, hingga dosen tak lagi tertarik mengajar demi mengejar komisi.

Tempat ini sempat menjadi favoritku. Ketika aspal hitam warnanya menjadi keemasan ditimpa sinar jingga --seolah melingkupi seluruh rongga tubuhku. Tapi kini tak lagi. Aku hanya dapat menyandarkan diri barang sejenak di trotoar yang menjadi gelap dan sepi ini. Lelah rasanya setelah lama mengayuh sepeda untuk menjelajahi jalan-jalan yang asing. Sempat terpikirkan, barangkali ini bisa menjadi petualangan kecil di perantauanku ini. Seperti imajinasi kanak-kanakku yang begitu menggebu-gebu.

Namun yang kutemui hanya sederet pondokan yang diselingi warung-warung kecil. Sesekali kutemui kedai yang ramai dipadati orang. Setelah kuperhatikan, tempat seperti itu sering yang dijadikan public sphere kesukaan mahasiswa-mahasiswa sepertiku. Tetapi tetap saja tempat-tempat itu tak menawarkan kemenarikan bagiku.

Aku lebih suka di tempat ini meski di mana-mana tercium aroma tidak enak dari kandang sapi kepunyaan Fakultas Peternakan. Mungkin justru aroma khas ternak itu yang membuatku nyaman. Entahlah, aku hanya mencoba menikmati kesendirian milikku sendiri. Di tempat yang orang lain enggan untuk berlama-lama menyinggahinya.

Aku pada dasarnya bukanlah termasuk tipe pemencil yang kerap mengasingkan diri. Hanya saat ini aku sedang benar-benar butuh tempat yang tepat untuk menemukan diriku, yang hanya ada aku, pikiranku, dan permasalahanku. Aku lelah. Begitu banyak pernak-pernik tentang orang lain yang semena-mena memenuhi ruang pikirku. Bagaimana lagi. Tidak mudah bagiku untuk bersikap acuh, meskipun segala perangkat modernisme yang mengindividualisasikan masyarakat ini mengizinkanku untuk berbuat demikian. Tapi aku tak sanggup untuk tidak terluka mendengar anak-anak yang kelaparan perlahan meninggal satu persatu. Bukan karena perang atau terorisme. Bukan akibat beragam bencana yang marak terjadi. Bukan, bukan itu. Aku tak kuasa menahan perasaan bersalah, seandainya makanan yang kusantap hari ini kuberikan padanya, apakah ia akan masih hidup?

Aku ingin berbicara pada manusia lainnya, yang berpikir dan bertindak seperti manusia. Manusia, semua bicara tentang apa yang salah-apa yang benar. Mencoba terbuka dan melontar kritik. Selalu begitu, sampai kita tersadar: kita masih tetap sama. Kesalahan yang berulang dan tragedi yang terus menerus terjadi dalam sejarah ini, rasanya membuatku malu bahwa peradaban manusia juga berisi sifat kebinatangan. Nafsu serakah kekuasaan yang berujung materi, memenuhi tempat-tempat di pelosok dunia. Makin lama makin menyebar seperti virus yang tak ada antibodinya.

Hm, aneh memang. Mengapa pikiran-pikiran itu selalu berkelebat. Bahkan di tempat yang tak kondusif seperti ini. Aku sudah bersembunyi. Tapi tetap saja pikiran itu selalu dapat menemukanku, dan aku tak sanggup berlari dari derap langkahnya. Bunyi daun bambu pun ikut menakutiku---dengan desahannya yang malu-malu.

*******

Roh gunung

Pipinya semburat pink, tanda hawa dingin menyergap nadi. Sesekali ia mengencangkan dekapan tangannya. Kristal air menyelusup hingga ke balik kain. Dekat darinya, ibu bumi memanggilnya dengan separuh sekarat, membisikinya dengan nafas yang tersisa sedikit, “aku tidak pernah menjadi jahat. Mengertilah, manusia harus belajar”.

–mengangguk dan menangis dalam banjir- (17 Maret 2007; 21:08:01)

Gema dari gunung ini memanggil insting liarku untuk mendekat. Jauh lebih dekat dari yang seharusnya. Suara-suara itu terus memasuki kontrol emosiku, menimangku seperti bayi yang senang dibuai. Menembus tebing-tebing curam yang nampak bersahabat dengan kematian. Serenade roh gunung tetap bertalu-talu, merebahkanku dalam pangkuannya. Rengkuhlah aku dalam mencari kebenaranmu, Lanang. Biarkan tulang-tulang ini ikut menyokong langkahmu. Biar mata ini memperlihatkanmu sisi lain dunia. Kau begitu rapuh…

Ada yang bilang, terlalu banyak hal tak dapat dinarasikan yang abadi dalam keabstrakkannya. Ada yang berkata, perjalanan sesungguhnya harus berhenti sebelum perjalanan lain tiba untuk dimulai. Dalam perjalanan spiritualku mencari kebenaran, tiada selain kelabilan yang kutemukan. Ketidakpastian menjadi kekuatan dari kebenaran. Sulit sekali, mengejar apa yang sebenarnya tidak pernah ada. Tidak pernah ada untukku, juga untukmu. Dan aku masih tetap mengejarnya sampai ke puncak ini. Langkahku terseok-seok dan antara arahku saling bersilangan.

Kepenatan melingkupiku. Sedang aku teronggok tak berdaya. Harusnya aku segera mengakhiri perjalanan ini dan memulai yang lain, sebelum sempat tenagaku habis. Dan benarlah, energiku hilang untuk semua ini. Kemudian aku berbaring dengan otak yang masih mengepul-ngepul. Di sudut-sudut neuron dalam otakku penuh gumpalan yang melambatkan kerja. Menjadikan aku tak beranjak dari peraduanku, pangkuan kabut tipis yang membelaiku manja di tanah agung ini.

Begini masih lebih baik. Ya, tentu saja. Jauh lebih baik daripada orang-orang yang mematikan orang lainnya demi membela kebenarannya yang semu. Kebenaran yang dipoles oleh kepentingan-kepentingan entah siapa, yang diteriakkan agar menjadi hakiki. Aku telah berjalan, jauh sekali. Kemudian menemukan kebenaran-kebenaran itu dalam berbagai nama. Seringkali, ia bernama uang. Sangat berkuasa, hingga melegalkan yang sesat dan menenggelamkan yang fakir. Yang menguasainya menjadi raja, yang dikuasainya menjadi tamak. Kadang, ia bernama agama. Sepertinya Tuhan hanya satu, kemudian mengapa bingung dengan segala logika benar salah itu? Sementara kekerasan semakin nyata melatarinya, agama menjadi-jadi dalam mengklaim kebenaran.

Sekarang, ia bernama aku.

Tak ada yang membuatku takut, bahkan terhadap persepsi orang lain yang seringkali bertindak kejam. Pikiran itu menjadikanku kebenaran untukku sendiri. Aku dan realitas yang kubuat, meski dengan itu aku harus merasa terkucil. Ujian selalu dihadapi manusia karena terlalu sering menyita ruang. Aku membuat ruang sendiri, ---dan ujian semakin berat. Tebing ini seolah menjadi saksi atas pilihan yang kutempuh demi mencarimu, kebenaran. Ada kematian di bawah sana. Ada selubung di atas sana. Lalu aku melangkah ke arahmu. Kau ada di mana?

Jika kebenaran adalah ketidakpastian, lalu… kebenaran adalah Tuhan- atau aku?

********

Penadah tangan

Selamat siang. Salam sejahtera, atau apalah. Aku hanya ingin menyapamu. Tak ada maksud tertentu bagiku, meski dikiranya aku hanya memelas kasih. Ya sudahlah kalau sekiranya anggapan saudara demikian. Aku sebetulnya hanya ingin bercerita. Tentang omong kosong atau apa saja. Terserah saudara menginginkan cerita yang mana. Tapi jangan suruh aku untuk menentukan cerita yang mana. Aku sudah terbiasa untuk tidak memilih –hidupku pun bukan suatu pilihan.

Cerita-cerita ini begitu penuh berdesakan di memoriku. Menunggu momen-momen yang tepat untuk dikeluarkan. Mungkin juga menunggu saudara, yang mau menyisihkan waktu saudara yang selalu bergerak cepat. Sampai-sampai aku hanya terlihat seperti polisi tidur di tengah leretan kendaraan yang dipacu kencang.

Pilihlah satu cerita, berisi rangkaian kisah nyata atau sekadar cuplikan cerita yang kucomot dari imajiku. Pokoknya akan kudongengkan agar kau mengerti apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan kita, manusia. Agar aku dapat menemukan kembali wajah manusia dalam peradaban yang makin menggila ini.

Mintalah satu cerita dengan tokoh dan latar sekehendakmu. Apakah tentang budak akal dan hamba logika. Apapun akan aku narasikan. Kau paham, aku pun turut menggulirkan wacana tentang kehidupan, yang dibingkai indah dengan model macam-macam. Ada percintaan, ikatan, perjanjian, dan segalanya yang ingin kau ketahui.

“Ceritakanlah tentangmu.”

Saudaraku, aneh sekali pilihanmu. Bukankah lebih nyaman mendengarkan cerita yang lain, tentang kesuksesan misalnya. Kisahku hanya… tragedi. Mungkin orang sepertimu asing dengan apapun yang saat ini sedang aku jalani.

Lihatlah, di pinggiran jalan ini, kau tak betah dengan genangan air yang makin meninggi. Tentu saja, berjuta manusia lainnya pun begitu. Aku sendiri pun bukannya tahan. Sudah kubilang, aku sudah terbiasa untuk tidak memilih –hidupku pun bukan suatu pilihan.

Bagaimana kalau kuceritakan tentang Lelaki Malam dan Roh Gunung. Ah, ya, harusnya aku tak menyebutnya dengan huruf kapital. Itu terlalu bagus untuk mereka. Jujur saja aku juga tak menyukai mereka.

“Lantas, mengapa tak kau ceritakan tentangmu saja?”

Saudara, lakonku hanyalah sebagai pencerita, pengamat semata. Bukankah pengamat dapat bayaran lebih tinggi dari aktornya? Pengamat kemiskinan misalnya. Menjadikan Si Miskin menjadi modal mata pencahariannya, tanpa harus merasa mengubah keadaan. Sudahlah, tak perlu diperpanjang urusan itu.

“Baiklah. Lalu bagaimana lelaki malam dan roh gunung itu?”

Tak ada yang lebih menyedihkan dari keduanya. Selalu berpikir dan berpikir, tentang benar salah, tentang kemanusiaan, tentang semua hal kecuali diri mereka sendiri. Bukankah aneh, semua hal di dunia ini akan terus berjalan, bahkan meski tanpa kita usik keadaannya. Lihatlah kejahatan yang merajalela, meski diselingi beberapa kebajikan agar manusia tidak bosan. Aku bukannya sinis memandang cara mereka menyikapi apa yang sedang terjadi. Masyarakat hanya masyarakat, dan sistem tetaplah sistem. Lucunya, keduanya berharap bisa mengubah segala hal, tanpa sejenak pun meninggalkan pikiran-pikiran mereka.

“Kau memang sinis.”

Terima kasih. Tapi cerita belum selesai. Tidakkah saudara tahu, kelahiran adalah rencana, kematian adalah rencana, hidup adalah juga rencana. Siapa yang bisa memastikan kalau hidup ini berjalan salah? Tidak juga mereka.

Ya, mereka tidak bisa!

“Memang gila, berharap adanya perubahan tanpa segera bertindak. Tapi, siapa sebenarnya Lelaki Malam dan Roh Gunung itu, kalau boleh tahu?”

Aku.

MOTOR-ISME, SAFETY RIDING, dan POLISI TIDUR


“…Berlalu lintas adalah soal akhlak, bukan teknologi…”

Tentunya opini di atas tak semata-mata bersifat subjektif dari sudut pandang seorang penulis cyber-space yang, saya duga, turut resah terhadap kecelakaan lalu lintas yang marak terjadi. Bagaimana tidak, hingga saat ini tingkat kecelakaan kendaraan bermotor di Indonesia terbukti teramat tinggi. Berdasarkan data statistik, angka kecelakaan kendaraan bermotor lebih tinggi dibanding dengan kecelakaan pada alat transportasi lainnya, seperti kereta api, pesawat, dan kapal laut. Namun dari semua kendaraan bermotor, sepeda motorlah yang dinilai paling riskan dan memakan korban paling banyak, bahkan di atas kecelakaan mobil.

Saat ini, dengan 230 juta penduduknya, Indonesia menjadi pasar sepeda motor terbesar ketiga di dunia. Bagaimana tidak, untuk sepeda motor dengan merek tertentu yang merupakan produsen sepeda motor terbesar di Indonesia saja, telah terjual lebih dari 20 juta unit. Belum lagi produsen-produsen lain, yang meskipun tingkat penjualannya terbilang kecil, tetap menambah kepadatan jalan dengan produknya. Kenyataan ini membuktikan bahwa sepeda motor lebih banyak digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai alat transportasi sehari-hari. Hal ini tentu bukan menjadi masalah seandainya di Indonesia terdapat sarana dan prasarana jalan raya yang memadai dan budaya berlalu lintas yang baik. Dan hal ini tentu tidak akan menjadi problema yang merisaukan jika tiap harinya tak ada korban-korban yang terus berjatuhan di jalan raya. Namun saat ini, dengan semakin merajainya sepeda motor di jalan raya, banyak persoalan baru yang timbul menyangkut keselamatan jiwa pengguna jalan.

Angka Kecelakaan Meningkat

Harus diakui, negeri ini memiliki masalah yang cukup serius tentang keamanan lalu lintasnya. Bahkan masalahnya jauh lebih mengancam daripada kasus terorisme yang telah menguras tenaga dan perhatian aparat pemerintahan. Informasi yang diberikan Dinas Perhubungan, terkait kecelakaan lalu lintas yang terjadi, menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan tingkat kecelakaan ketiga terbesar di antara negara-negara ASEAN. Hal itu tentu harus disikapi secara serius oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk di dalamnya pengguna jalan dan aparat. Tidak banyak yang tahu bahwa kecelakaan lalu lintas telah menjadi pembunuh No.3 di Indonesia, setelah penyakit jantung dan stroke. Tidak kurang dari 30.000 nyawa melayang di atas jalan aspal tiap tahunnya.

Di beberapa kota, angka kecelakaan lalu lintas yang tercatat sangat mencengangkan. Salah satunya wilayah Jakarta yang menunjukkan peningkatan angka kecelakaan lalu lintas yang signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 misalnya, jumlah kecelakaan yang terjadi menunjukkan angka 2.949. Angka tersebut mengalami penambahan menjadi 1,5 kalinya pada tahun 2006, yaitu menjadi 4.407 kasus kecelakaan. Jika diakumulasi, di ibukota Indonesia tersebut telah tenjadi 16.207 kecelakaan dalam periode 2003-2006, dan 10.536 di antaranya adalah kecelakaan sepeda motor. Mengacu pada data tersebut, setidaknya 44 orang menjadi korban kecelakaan tiap harinya.

Dari perhitungan tersebut, bisa saja kita berasumsi bahwa mengendarai kendaraan bermotor merupakan aktivitas paling berbahaya bagi orang banyak. Namun, seperti kata pepatah, ada asap ada api, setiap hal ada sebab-sebabnya. Kecelakaan yang makin sering diberitakan di berbagai media, setidaknya menunjukkan suatu indikasi terhadap sistem dan budaya berlalu lintas yang tumbuh-kembang di Indonesia.

Budaya ‘Si Komo’

Kecelakaan lalu lintas sangat berhubungan erat dengan peradaban yang berkembang pada suatu bangsa karena peradaban sendiri mengacu pada budaya masyarakat. Semakin beradab suatu masyarakat dalam budaya berlalu lintas, maka akan semakin sedikit kecelakaan yang terjadi di jalan raya. Kecelakaan yang banyak terjadi di Indonesia mencerminkan budaya lalu lintas yang terkonstruksi dengan buruk dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Seringkali masyarakat menyalahkan faktor teknologi sebagai penyebab utama terjadinya kecelakaan. Memang lebih mudah untuk tidak menyalahkan diri sendiri dan sibuk mencari kambing hitam daripada mencoba untuk mengintrospeksi diri dan melakukan perbaikan. Namun lama-kelamaan, kebobrokkan dalam budaya berlalu lintas masyarakat kita semakin terlihat dengan semakin meningkatnya tingkat kecelakaan kendaraan bermotor yang terjadi di Indonesia.

Menurut data statistik, 91% kecelakaan lalu lintas di Indonesia disebabkan oleh kelalaian manusia (human error). Sementara faktor lainnya yaitu faktor kendaraan sebanyak 5 % dan faktor jalan 3 %, serta faktor lingkungan sebanyak 1 %. Fakta tersebut menyanggah opini yang menyebutkan bahwa kecelakaan sering kali terjadi akibat teknologi kendaraan yang kurang mengutamakan keselamatan pengendara. Sebagian besar kecelakaan justru disebabkan oleh budaya lalu lintas buruk yang telah mendarah daging, bukan hanya pada pengguna kendaraan, tetapi juga aparat penegak aturan lalu lintas.

Berbicara tentang budaya berlalu lintas, saya terkenang pada lagu kanak-kanak yang liriknya berbunyi, “…Macet lagi, macet lagi. Gara-gara Si Komo lewat…”. Lirik tersebut bagi saya merepresentasikan ketidakdisiplinan dalam budaya berlalu lintas masyarakat Indonesia. Pernah suatu kali sekelompok turis Jepang di kota saya tampak takut dan kesal saat hendak menyeberang jalan raya yang ramai. Ternyata mereka telah menunggu selama setengah jam hanya untuk melintasi jalan. Para pengendara sepertinya enggan memberikan jalan kepada pengguna jalan lain dengan tidak mengurangi kecepatan kendaraannya saat melaju di jalan raya. Kasus tersebut tentu bukan satu-satunya yang terjadi di Indonesia. Entah kenapa, seolah-olah menjadi ‘setan jalanan’ menjadi predikat yang membanggakan bagi sebagian besar masyarakat kita yang mayoritas berusia produktif.

Budaya tersebut tentu sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan kondisi yang terjadi di negara-negara maju lain, seperti Amerika Serikat dan sebagian besar negara di Eropa. Tidak usah jauh-jauh, kita bandingkan saja dengan Singapura yang merupakan salah satu negara yang paling dekat dengan Indonesia. Sementara Singapura terlihat seperti surga dunia, negara kita justru seolah-olah memantapkan dirinya sebagai negara berkembang dan tidak tahu aturan karena tidak pernah introspeksi terhadap budaya lalu lintasnya yang bobrok.

Jika dicermati perbandingan budaya berlalu lintas antara Indonesia dan negera-negara di atas, maka perbedaan paling mencolok terletak dari bagaimana cara menyikapi peraturan-peraturan yang mengatur tentang ketertiban berlalu lintas, baik terhadap peraturan yang baru berupa rancangan maupun yang sudah ditetapkan. Misalnya saja peraturan tentang penggunaan helm standard. Saat baru dirumuskan, peraturan tersebut telah memancing aksi demonstrasi karena dinilai sebagian besar masyarakat merupakan suatu bentuk materialisme dalam peraturan pemerintah. Banyak orang yang mengeluhkan tentang betapa mahalnya helm standard yang dibeli semata-mata hanya untuk menghindari tilang. Saat ini pun setelah disahkan, belum semua kota mengaplikasikan peraturan tersebut dengan benar dan sesuai. Kalaupun telah diterapkan, banyak di antara peraturan yang telah ditetapkan hanya bersifat momentum dan lekas hilang. Seperti kebanyakan peraturan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka ‘pamer aksi’ lainnya, pelaksanaannya pun seperti ‘anget-anget tahi ayam’, alias tidak bertahan lama. Misalnya saja pada kasus yang terjadi baru-baru ini tentang menyalakan lampu kendaraan pada siang hari. Pada awalnya juga menuai aksi kontra yang besar dari masyarakat dengan alasan kali ini pemborosan energi. Namun sekarang sudah tak kedengaran lagi gaungnya dan tak ada yang menggubris.

Peraturan-peraturan yang oleh masyarakat Indonesia dianggap konyol dan mubazir itu justru dijadikan suatu tindakan antisipasif terhadap kecelakaan kendaraan bermotor di sejumlah negara maju. Dan anehnya, tak seperti dugaan mayoritas masyarakat Indonesia, peraturan-peraturan tersebut ternyata sangat efektif untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban akibat kecelakaan lalu lintas. Memang sepertinya peraturan-peraturan tersebut tampak sepele dan sangat merepotkan, apalagi harus ditambah dengan denda yang harus dibayar jika melanggar peraturan tersebut. Namun tentu saja peraturan tersebut tdak akan menjadi sia-sia jika pada akhirnya dapat melindungi nyawa pengendara kendaraan bermotor.

Aparat yang Bermasalah

Mengandalkan masyarakat saja untuk tertib berlalu lintas tentu merupakan sesuatu yang mustahil. Untuk mengontrol dan menegakkan peraturan, dibutuhkan aparat-aparat yang mengetahui pekerjaannya dengan baik. Namun seolah-olah tidak cukup dengan minimnya kesadaran masyarakat akan tertib berlalu lintas, oknum aparat yang ada justru memperburuk pelaksanaan peraturan dengan beberapa ‘penyimpangan’ yang juga merusak citra instansi yang terkait. Rusaknya imej penegak hukum di mata masyarakat dikarenakan tindakan sebagian oknum aparat yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk mendapat keuntungan demi kepentingan diri sendiri.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian aparat, termasuk polisi, gemar menimbun pundit-pundi uang dengan memanfaatkan peraturan sebagai dalih pembenaran terhadap tindakannya untuk memeras masyarakat yang melanggar peraturan. Ada kelakar yang menyebutkan bahwa pada saat akhir bulan, pengendara harus ekstra waspada, karena pada saat-saat itulah pengendara harus ‘setor’ akibat aparat yang mendadak ‘rajin’. Razia-razia yang digelar aparat seolah-olah menjadi kedok untuk ‘mencari uang’. Karena asumsi yang seperti itulah masyarakat kurang menaruh simpati terhadap peraturan lalu lintas yang sebenarnya sangat membantu kelancaran lalu lintas.

Selain itu, aparat merupakan pihak yang paling bertangung jawab atas masalah yang paling nyata dan paling dapat berpengaruh pada budaya berlalu lintas masyarakat, yaitu tentang penerbitan Surat Izin Pengemudi (SIM) yang tanpa via tes. Saya sendiri pernah merasakan ‘mudahnya’ mendapatkan SIM hanya dengan merogoh kocek sebesar Rp 200 ribu. Saya bukannya sengaja untuk memiliki SIM dengan cara ‘menembak’. Namun begitu hendak mengajukan pembuatan SIM, saya langsung ditawarkan ‘jalur khusus’ tanpa disodorkan tes terlebih dahulu. Saya juga bukanlah satu-satunya warga yang mendapat ‘layanan spesial’ dari kepolisian seperti itu.

Melihat kenyataan ini tentu kita sudah menyadari bahwa budaya dalam birokrasi negara ini ternyata telah berubah. Dulu, budaya masyarakat saat berhadapan dengan birokrasi adalah menempuh jalur formal yang berbelit-belit sebelum akhirnya menyerah dengan ‘jalur bawah meja’ untuk memotong jalannya birokrasi. Namun saat ini, aparatnya justru tanpa berbasa-basi langsung meminta ‘amplop’ karena menganggap hal tersebut sudah lumrah dan biasa. Menurut prosedur, hal itu tentu salah. Namun dari pihak masyarakat sendiri pun tidak melakukan kritik untuk mengoreksi penyimpangan tersebut. Oknum aparat pun tidak merasa dirugikan karena cukup diuntungkan dengan dana segar dari pemohon SIM. Namun akibatnya bisa terbilang fatal bagi keamanan dan kenyamanan lalu lintas di jalan raya. Tak bisa dihitung seberapa banyak pengendara yang sebenarnya tak memiliki kelayakan untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi. Sudah banyak kecelakaan yang terjadi akibat kegagapan pengendara dalam berlalu lintas.

Solusi dan Ilusi

Berkaca pada peristiwa-peristiwa berdarah di jalan raya, membuat kelompok-kelompok masyarakat mulai menyadari betapa kebiasaan buruk dalam berlalu lintas telah membahayakan beribu nyawa. Saat ini, mulai disiarkan lagi program safety riding, yang mengutamakan keselamatan daripada efisiensi waktu yang membuat pengendara berlomba untuk kebut-kebutan di jalan raya. Seperti kata pepatah Jawa, alon-alon asal kelakon, biar lambat asal selamat. Saat ini, mulai dibangun lagi etika berkendara yang dulu perlahan dilupakan akibat munculnya ‘SIM instan’. Saat ini pula, pengendara mulai menumbuhkan tanggung jawab sosial terhadap nyawa orang lain dan diri sendiri dengan mematuhi peraturan lalu lintas yang ada. Setiap orang tidak perlu menjadi super hero untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Hanya cukup mengenakan helm standard dan mematuhi rambu-rambu lalu lintas di jalan raya.

Dari pihak aparat pun mulai berbenah dengan menggelar 13 program untuk mengurangi tingkat kecelakaan di jalan raya. Di antaranya Polsana (Polisi Sahabat Anak) untuk mengajarkan kedisiplinan berlalu lintas sejak dini, Kampanye Lalu Lintas, serta Traffic Management Centre (TMC).

Namun solusi-solusi tersebut dapat saja menjadi ilusi jika, lagi-lagi, tidak dilaksanakan secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Segala program yang diupayakan akan menjadi sia-sia dan mengamini mitos tentang masa aktif peraturan di Indonesia yang immortal. Masyarakat yang kembali pada budaya berlalu lintas yang lama pun akan menjadi masyarakat yang jahiliyah yang sulit menerima perubahan-perubahan dalam rangka menjadikannya masyarakat yang lebih baik. Aparat yang gagal membuat perbaikan dalam diri dan masyarakat pun bak ‘polisi tidur’ yang acuh jika jatuh korban lagi akibat pengawasan yang kurang terhadap peraturan. Semua ide-ide tentang budaya berlalu lintas yang baik harus cepat dan tepat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, agar semakin sedikit istri kehilangan suaminya, anak kehilangan kakinya, dan darah yang tertumpah di jalan.

Sebagian aparat, yang tidak bekerja sesuai dengan proporsinya untuk mengatasi masalah keamanan dan kenyamanan di jalan raya, tentu turut bertanggung jawab terhadap terancamnya keselamatan pengguna jalan. Namun tentu tidak bisa menaruh tanggung jawab yang demikian besar di pundak aparat tanpa didukung oleh masyarakat yang peduli dan sadar peraturan. Dibutuhkan kerjasama antara pihak aparat dan masyarakat untuk mewujudkan jalan yang aman, nyaman, dan tertib. Oleh karenanya, tiap warga negara Indonesia wajib mengaplikasikan dan menaati peraturan lalu lintas yang telah dibuat: untuk menghilangkan caci-maki turis Jepang, untuk meniadakan ‘bisnis’ yang memanfaatkan seragam aparat, dan untuk menjamin keselamatan setiap orang yang bernafas di atas jalan raya.

Dhenok Pratiwi

Redaktur LPPM Sintesa Fisipol UGM

Redaktur SKM Bulaksumur UGM

Sudah punya SIM Nembak

Berawal dari Lidah


Jika ditanya siapa tokoh favorit di televisi, sebagian orang pasti akan langsung menyebut nama Bondan Winarno. Popularitas Pak Bondan memang tak perlu diperdebatkan lagi. Setelah program acara televisi kuliner yang digawanginya sukses berat, wajahnya semakin sering muncul di layar kaca. Keberhasilannya pun turut membuat latah televisi-televisi swasta lain untuk mengimitasi tayangan kulinernya.

Namun kesuksesan Pak Bondan tentu bukan tidak beralasan. Ia begitu pandai menarasikan rasa makanan sehingga terlihat artistik dan mengundang selera. Makanan bukan lagi sebagai kebutuhan primer semata. Namun juga sebagai objek yang memiliki kasta berdasarkan cita rasa, seperti kata Pak Bondan, “Ma’nyus” atau “Lumayan”.

Tentunya lidah kitalah yang bertangung jawab untuk menemukan rasa-rasa itu. Lidah yang menjadikan makanan begitu istimewa dan memberikan kesan yang berbeda terhadap apapun yang masuk ke mulut. Namun terkadang, fungsi fisiologis lidah tidak memberikan kenikmatan dalam konteks relasi sosial. Kepekaan lidah seseorang untuk mengecap rasa tentu berbeda karena sifatnya yang personal. Kadang hal itu ternyata dapat menjadikan seseorang menjadi individualis, tidak peka terhadap kondisi sekitar.

Banyak orang saat ini mungkin sedang berburu makanan di restoran-restoran yang pernah disambangi Pak Bondan. Mencari makanan yang bisa memuaskan lidah mereka meskipun harganya relatif mahal. Yang membuat miris, justru gara-gara makanan yang tak bisa didapatnya, seorang anak di Makassar kehilangan nyawanya. Hanya karena makanan yang mungkin kita sepelekan karena rasanya yang kurang enak.

Kepekaan sosial saat ini telah menjadi barang yang langka di tengah zaman yang individualis ini. Tak usah jauh-jauh, ketidakpekaan ini dapat dengan mudah kita temukan di kampus yang menjadi tempat kita membangun komunitas. Banyak yang tidak peduli dengan sebagian mahasiswa yang rehat sejenak dari aktivitas akademisnya. Tidak ada yang bertanya, apakah dia kesulitan finansial atau apakah dia harus terpaksa bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Paling hanya stigma-stigma negatif yang berbunyi, “Ah, dia kan pemalas”.

Tentunya kita tidak ingin kejadian di Makassar itu terulang lagi. Cukuplah dengan semangkuk mie lethek berharga murah untuk menggantikan spaghetti kesukaan Pak Bondan, agar saudara kita tak ada yang kelaparan lagi.