Polisi....duh...


yang membedakan polisi dan preman...

1. duit jarahannya (gedean polisi daripada preman)

2. seragamnya (lebih keren kostumnya preman)

3. otaknya (preman gak bisa berpikir seperti polisi, tapi polisi bisa berpikir seperti preman)


Ups... Maaf Pak Polisi (tidur!)

Tiga Hari Mencari Cinta

Lagi, dan lagi! Waktu terus berjalan, dan sepertinya catatan keabnormalan saya semakin bertambah panjang. Sebenarnya malu juga mengakui keidiotan diri sendiri. Tapi tetap saja, sejarah harus tetap terdokumentasi meski pahit dan getir terasa. (PS: bagi pembaca, harap maklum. Percayalah, saya sudah biasa diolok-olok!)

Kalau mau berbicara soal pengalaman cinta, agak ragu juga kalau mesti menjadi informasi publik. Saya menganggap pembicaraan tentang masalah cinta, masih menjadi sesuatu yang sakral. Tidak sembarang orang mampu untuk melakukannya. Tidak sembarang suasana cocok untuk melakukannya. Dan tidak sembarang sinetron persis menggambarkannya. Tapi kali ini saya berpikir berbeda. Bagaimana kalau pengalaman kita ternyata bisa juga dijadikan referensi orang lain untuk bersikap secara benar dan tepat? Tentu harga yang pantas bagi saya untuk (akhirnya!) menceritakan kisah saya -yang mungkin saja nantinya akan berakibat pada menurunnya ‘pasaran’ saya. Hehehe…

Semua berawal beberapa bulan yang lalu, ketika panitia seminar salah satu media online mengumumkan pendaftaran lomba. Hadiah yang ditawarkan cukup menggiurkan bagi mahasiswa pas-pasan seperti saya. Sumpah, saya nggak akan misuh-misuh seperti ini kalau seandainya saja lombanya bukan ehem…ehem… PENULISAN PENGALAMAN CINTA. OMGPDA (Oh-My-God-Plis-Dong-Ah!), Sepertinya yang perlu saya terangkan adalah, (Pfiuhh!), saya adalah ‘orang’ itu. OK! Bersiaplah! Saya termasuk salah satu dari cewek umur 18 tahun yang nggak punya referensi di dunia percintaan. (Ya, ya, ya, kalau mau ketawa, ketawa aja. Saya udah kebal).

Tapi bukan ‘saya’ namanya kalau menyerah begitu aja tanpa mencoba barang sedikitpun. Akhirnya saya memutuskan, dengan nafas ngos-ngosan dan kepala nyaris kosong, ikut lomba penulisan “Pengalaman Cinta”. Hohoho. Sekali lagi Pengalaman Cinta. Biar dramatis sekalian.

Untuk ikut lomba itu, sudah pasti saya harus memiliki pengalaman cinta. Maaf-maaf aja, pengalaman masak saya nggak berguna di sini. Perlu ada siasat khusus dan trik jitu untuk mendapatan pengalaman cinta yang romantis seperti di film-film India favorit saya. Lantas saya langsung menyusun rencana untuk mencari cinta hanya dalam tiga hari. Kenapa tiga, bukan 30 hari? Pertanyaan bagus. Deadline pengumpulan tulisan rasanya alasan yang tepat untuk menjawabnya. Selain itu saya takut juga lho dikejar-kejar polisi, dijerat kasus pelanggaran hak cipta karena dituduh menjiplak salah satu film yang dibintangi Nirina Zubir dkk. Nanti bukannya cinta yang saya dapat, malah hotel prodeo yang saya sikat.

Sebenarnya saya agak kesulitan dalam masalah menggaet lawan jenis. Alasannya, saya punya banyak kelebihan. Lho?! Pasti bingung. Jangan berprasangka baik dulu. Maksudnya kelebihan berat badan, kelebihan dungunya, dan kelebihan beragam alternatif penyakit jiwa pilihan. Makanya saya mesti usaha ekstra keras untuk mewujudkan impian saya: get instant love.

Hari Pertama

Belum mengambil langkah. Masih bingung.

Hari Kedua

Akhirnya saya memberanikan diri membuat langkah pertama, menyiapkan perangkap untuk menjerat target pasangan saya. Hohoho (baca: ketawa setan). Satu-satunya cara yang tepat dan cepat untuk menggaet cowok adalah lewat chatting. Dipikir-pikir, kenapa nggak dari dulu aja ya saya usaha buat mencari pacar. Kan gampang. Tinggal klik-klik, siapa tahu dapat pasangan yang ‘klik’ (mengutip lagu Ussy Sulistyowati). Setelah satu jam berada di warnet dan menghabiskan dana Rp 4 ribu, akhirnya usaha saya menuai sukses.

Berikut saya sertakan cuplikan obrolon saya dengan si target via MiRC. Saya sengaja memilih nickname seperti itu untuk memudahkan proses. Jadi jangan mencap saya norak. Saya kepepet dan dihantui tenggat waktu. Nggak ada protes.

Ce_Cari_Co : Hi,, nick qt nyambung nih. (sumpah, ini bukan saya banget!)

Co_Cari_Ce : Hi too. Ah, masa sih?! Kebetulan bgt bs jodoh. Asl pls? (Umpan tertangkap. Misi sukses!)

Ce_Cari_Co : Iya ya. Qt jodoh. 20 f yk. U? (umm, bohong dikit rasanya halal aja. Toh cuma korupsi dua tahun doang kok.)

Co_Cari_Ce : 22 m yz

Ce_Cari_Co : yz? Yahya zaini?

Co_Cari_Ce : 22 m yk

Co_Cari_Ce : bukan. Ngawur. Yogyakarta.

Ce_Cari_Co : wah, sekota dong. Deketan dong. Asyik dong. Hehehe (kesannya binal banget nggak sih?! Kok saya berasa aneh gitu ya)

Co_Cari_Ce : yup. Janjian ketemuan yuk. Terserah aja kapan.

Ce_Cari_Co : OK. Tapi km orangnya gimana sih? Penasaran nih.

Co_Cari_Ce : Gimana y? Biasa aja kok. Tapi yah masih lumayanlah. Kalo km sendiri gmn?

Ce_Cari_Co : Wah, merendah nih? Gw orangnya aneh lho.

Co_Cari_Ce : Aneh gimana?

Ce_Cari_Co : Iya. Gw suka pake tank top

Co_Cari_Ce : Trus,,,

Ce_Cari_Co : Rok mini,,,

Co_Cari_Ce : Hm,,

Ce_Cari_Co : Lari-lari gak pake sandal. Hehehe.

Co_Cari_Ce : Dasar. Yang beneran napa. L

Ce_Cari_Co : Ya sorry. Becanda. Gw sih standar aja kok orangnya. Selevel ama distro gitu

Co_Cari_Ce : Distro?

Ce_Cari_Co : Dian sastro

Co_Cari_Ce : Hahaha,,,

Ce_Cari_Co : OK. Jadi g ketemuannya? Besok? (Dikejar deadline nih)

Co_Cari_Ce : Jadi. Km lucu juga. Gimana kalau di sup buah deket UGM?

Ce_Cari_Co : UGM? Jangaaaan!!! Tinggian dikit dong (Mampus! Dia ngajakin di kampus saya. bisa kepergok serdadu saya nih)

Co_Cari_Ce : Hehehe. Aq Cuma becanda kok. Kafe C****t besok jam 10 pagi. gmn?

Ce_Cari_Co : OK. Gw tau kok. C u there.

Co_Cari_Ce : Mmmuach,,, (Gile! Baru kenalan udah maen say kiss aja)

Co_Cari_Ce has signed out

NB: Ada beberapa dialog yang gw sensor demi menjaga kehormatan gw sepenuhnya. Untuk pengertiannya, diucapkan terima kasih.

Hari Ketiga

Inilah saya. Berdiri di depan pintu kafe dengan dandanan lengkap terkesan menor. Rasanya saya lebih mirip Anissa Bahar daripada Dian Sastro. Mampus! Ah, biarin aja. Saya sengaja terlambat setengah jam biar nggak terkesan agresif. Biar gimana pun, harga saya tinggi, coy.

Dag dig dug

“Hai, cowok cari cewek?” saya bertanya pada satu-satunya lelaki yang ada di situ karena dengan tololnya saya lupa menanyakan namanya kemarin.

“Cewek cari cowok?” mungkin sekarang penjaga kafe lagi bertanya-tanya dalam hatinya saking baru pertama kali nonton dua orang yang baru pertama kali ketemu dan langsung heboh. Masalahnya, kami terlihat seperti dua orang yang melakukan transaksi ‘plus-plus’. Edan!

Saat tahu sosok “cowok_cari_cewek” yang sebenarnya, lutut saya langsung terasa lemas. Tiba-tiba semua jadi blank. Langit serasa runtuh. Bumi ikut bergoyang. Cucian pun belum kering (maksud loe??!!). Hm, bukannya saya sok jual mahal atau berasa nggak perlu lelaki, tapi kenyataan yang saya harapkan tidak seperti ini. Bayangan yang ada di kepala saya, cowok_cari_cewek adalah lelaki yang rupawan, tampan, serta hartawan. Lha, aslinya malah beda 180 derajat.

Hm, Cowok yang saya temui namanya Hen-tiit- (kena sensor). Bukan masalah seandainya Hen-tiit- yang itu tidak berpenampilan seperti romusha habis ditabok Belanda. Bukan masalah seandainya saya tidak terlihat begitu terpesona padanya (penting untuk diingat: saya takjub! Bukan terpesona). Dan bukan masalah jika kenyataannya bukan saya yang kena tipu daya maniak chatting tukang bohong bertampang hancur. Idih, idih, darah kotor!

Sepertinya saya memang ditakdirkan untuk menjadi seorang yang idiot untuk masalah cinta. Memang, saya sadari betapa naifnya saya. Buat apa mencari-cari cinta. Kemudian merendahkan diri saya sendiri.

Saya pikir, cinta itu bisa dengan mudahnya digapai. Hanya perlu trik-trik tertentu dan saya akan mendapatkan apa yang saya inginkan. Ternyata saya benar-benar nihil soal cinta. Sebenarnya apa yang perlu saya lakukan hanya menunggu, dan cinta akan datang dengan sendirinya. Tak peduli apakah saya berpengalaman atau tidak. Bodohnya, baru sekarang saya sadar. Tiba-tiba saya teringat perkataan teman saya yang pasti dikutipnya dari perkataan seseorang yang bijak.

Lebih baik menunggu orang yang kamu inginkan daripada berjalan bersama orang ‘yang tersedia’. Lebih baik menunggu orang yang tepat daripada mencomot orang di sekelilingmu untuk dijadi-jadikan cinta. Hidup ini terlalu singkat untuk dijalani bersama orang yang salah.

Pada akhirnya toh saya tidak mendapatkan dua-duanya: hadiah yang menggiurkan dan cinta yang didambakan. Microsoft Word bertitle “Lomba Penulisan Pengalaman Cinta” masih terpampang kosong di depan saya. Tak ada kisah yang pantas untuk diceritakan.

Mencari Hak untuk Hidup


Sementara banyak negara lain beramai-ramai menghapuskan hukuman mati dari sistem yuridiksinya, Indonesia masih mengesahkan adanya vonis hukuman mati. Apakah ‘kanibalisme yang terlegitimasi’ masih akan terus berlangsung di negara ini?


Amrozi, pelaku kasus pengeboman Bali yang divonis mati oleh pengadilan, tampak tertawa-tawa ketika tampil dalam tayangan infotainment yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta. Seakan tak ada beban atau rasa khawatir untuk menghadapi eksekusi yang akan dijalaninya. Padahal, hukuman mati seolah menjadi momok paling menakutkan bagi terpidana lainnya.

Amrozi merupakan salah satu dari sekian banyak terpidana yang mendapat vonis hukuman mati. Sejak 1978 hingga sekarang, tercatat 38 orang yang dieksekusi karena putusan pengadilan di Indonesia. Sebagian besar terpidana dihukum mati pada pemerintahan Orde Baru karena masalah politik. Namun sekarang, hukuman mati banyak diterapkan untuk pelanggaran UU Narkotika, UU Antikorupsi, UU Antiterorisme, dan UU Pengadilan HAM.

Hukuman mati di Indonesia sendiri mengikuti sistem Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan peninggalan Belanda. Jika ditilik secara hukum, vonis mati tidak sesuai dengan amandemen yang tersurat dalam UUD 1945 pasal 28 ayat 1 yang di dalamnya menyatakan hak untuk hidup. Undang-undang tersebut didukung oleh UU No 12/1995 yang menyebutkan fungsi lembaga permasyarakatan adalah pembinaan ke arah perilaku yang lebih baik bukan membinasakan, sehingga hukuman mati secara legal tidak dibenarkan. Namun sampai saat ini, terdapat 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati.

Donny Gahral Adian, dosen Filsafat UI, dalam artikelnya mengatakan, “Kontradiksi di antara undang-undang tersebut menunjukkan inkonsistensi dalam sistem hukum kita.” Kontradiksi mengenai hukuman mati tidak hanya terdapat pada sistem hukum Indonesia. Pro dan kontra yang datang dari masyarakat masih menyelimuti isu vonis mati ini. Ada pihak yang mendukung pelaksanaan hukuman mati dengan alasan tiap kejahatan yang menghilangkan nyawa orang lain, harus ditebus dengan nyawa pula. Namun ada pula pihak yang menentangnya atas dasar kemanusiaan. “Hukuman mati itu berdasar pada dendam semata. Saya rasa, kemungkinan putusan hukuman mati itu tidak objektif mengikuti hukum yang berlaku.” papar Icha, mahasiswa Universitas Gadjah Mada.

Reaksi penolakkan hukuman mati tidak hanya datang dari dalam negeri saja. Dunia internasional pun sedikit demi sedikit mendorong abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati. Sekitar 129 negara teridentifikasi telah menghapuskan praktek hukuman mati, termasuk negara-negara maju seperti Australia dan Rusia. Yang mengusik pikiran saya adalah, apakah Indonesia masih belum maju sehingga masih menerapkan hukuman mati dalam sistem peradilannya? Menjadi ironi ketika Nusakambangan, tempat Amrozi berada sekarang, memiliki slogan, “Mereka bukan penjahat. Hanya tersesat. Belum terlambat untuk bertobat.”

Bukan Ibrahim

Berapa kalipun telah aku sadari. Manusia punya pembagian peran. Ada si kaya, ada si miskin. Ada si cantik, ada kurang bagus rupanya. Berkali-kali aku pikir pun, tak mengalami perubahan pada jalan nalarku. Manusia memiliki keunikannya masing-masing. Tak perlu diragu. Ada yang beruntung, ada aku. Begitulah. Semuanya dicipta berlainan. Mungkin Yang di Atas punya tujuan khusus yang mulia. Entahlah! Apa untuk saling melengkapi, atau hanya membuat kehidupan di dunia lebih seru. Masa iya bumi yang dikatakan indah ini tak punya beragam cerita lantaran seluruh penghuninya ingin menjadi seragam: kaya sejahtera bahagia cantik langsing terhormat.

Ya, ya, ya. Mungkin di belakang dunia ini ada layar, yang menutup manakala sandiwara telah selesai. Jangan-jangan benarlah bahwa kita hanya hidup di atas pangung. Lalu siapa sutradaranya? Kok tak pernah kelihatan. Bukan, bukannya usil mempertanyakan. Aku hanya mau protes. Masalahnya, aku selalu mendapat peran terlunta-lunta. Berdiri di pojok, di bawah kaki yang mengenakan black shoes mengilap diterpa sinar lampu. Aku tak pernah keberatan. Hanya sedikit jengkel saja, Masalahnya si black shoes itu tak tahu diri. Ada orang di bawah, malah diinjak-injak. Bukannya kita sama-sama pemain? Tak ingat dia rupanya, bahwa kita digaji sama. Nantilah biar kuprotes di akhir pertunjukkan.

“Pak sutradara, tadi dia nyeleneh. Tak sesuai skenario. Hukum saja. Pakai api neraka, ya!”

Sudahlah. Buat apa repot mengadu. Aku masih dibingungkan dengan air susuku. Hendak dijual kemana. Siapa tahu di luar sana ada bayi lain yang menangis, lantaran ibunya enggan dicicipi payudaranya. Anak nakal, masih kecil sudah tahu oral seks.

Ngalah-ngalahi bapaknya saja.” Itu Jeng Parmi. Tetangga rumah kardusku. Ehm, aku kadang tertawa. Dia ngotot sekali mengatakan susunan kardus ini sebagai rumah. Dia juga menjual air susunya. Dulu sekali. Ketika akhirnya ia jenuh dengan kemiskinan ini.

Tentu saja lantas dia tak beranjak dari ketidakpunyaan yang setia menemani hidupnya. Tapi setidaknya, ia pernah terlepas sebentar dari kesusahan yang membuatnya parasnya tampak lebih tua lima tahun. Ya, sekejap saja.

Asal tahu saja, aku juga tergoda oleh cerita saat ia akhirnya dapat membuang nasi aking yang seakan melecehkan martabat kami sebagai manusia. Padahal dulu Jeng Parmi selalu berebut nasi aking denganku. Ia membeli roti cokelat yang dibungkusnya ada barcode, tanda dari supermarket. Ah, aku ingin sekali membeli barang di supermarket seperti kebanyakan orang. Tapi takut diusir satpam, dikira pengutil atau pengemis yang menganggu pemandangan pengunjung lain. Iya juga sih, pakaianku lusuh dan mukaku dekil begini.

Tapi kejayaan Jeng Parmi hanya sebentar. Dia mencak-mencak, mengamuki seluruh warga rumah kardus tatkala uang yang dipegangnya kabur kemana-mana. Orang-orang hanya tak mengerti, mengapa Jeng Parmi harus marah-marah ketika uangnya habis ia belanjakan. Bukankah ia telah terbiasa hidup dengan uang yang tak pernah mencukupi kebutuhan hidupnya itu? Namun kuduga, sepertinya ia mulai menikmati hidup enak, terjerumus oleh permainan uang.

“Sabar, Jeng. Nanti dikira kesurupan. Kasihan anakmu menangis terus,” Pelan-pelan amarahnya berusaha diredam oleh Pak RT pura-pura. Ya, RT yang hanya pura-pura. Kawasan ini memang tak terdaftar di Kelurahan. Tapi namanya saja RT, ya Rukun Tetangga. Kami hidup rukun-rukun saja di sini.

Beberapa hari kemudian, Jeng Parmi kembali dengan membawa banyak bungkusan belanjaan di tangannya. Entahlah apa lagi yang ia jual, ia tidak mempunyai air susu lagi. Tapi sejak saat itu, tangisan bayi di rumah kardusnya sontak berhenti. Tak ada yang berani mempertanyakan. Mungkin takut diamuk Jeng Parmi lagi.

Sementara itu, bayi dalam bungkusan kain jarik di sebelahku sibuk meraung-raung. Itu bayiku yang berumur dua minggu. Bukannya aku tak sayang. Hei, dia kan bayiku. Mana ada ibu yang tak mengasihi buah hatinya. Aku pun telah susah payah menahan keinginanku untuk menimangnya barang sebentar. Hanya saja, jika aku lakukan itu, aku takkan dapat menahan godaan untuk menyusuinya. Maafkan, ya Anakku! Susu ini bukan untukmu. Cukuplah kau dengan air teh tawar itu saja.

“Jeng, apa pembeli air susuku sudah ada?” tanyaku sembari menahan sakit di buah dada yang semakin membengkak karena membendung air susuku.

“Sabarlah! Nanti juga kalau sudah ada akan aku kasih tahu. Tapi ingat ya, jangan kau susui dulu bayimu. Nanti bisa habis ASI-mu.” Jeng Parmi segera mewanti-wantiku. Aku mengangguk saja. Pasrah tak berontak. Diingatkan seperti itu membuatku merasakan perih. Semakin pedih saja saat mendengar tangisan sulungku yang tak reda-reda.

Kalau sudah begini, ingin rasanya aku menyesal. Tapi apalah, penyesalan itu harusnya tak datang jika saja otakku bisa mengalahkan kerja hati yang membuat pikiranku tumpul. Penyesalan itu harusnya tiba lebih awal, sebelum semuanya terlanjur menjadi seperti ini. Hampir dua tahun yang lalu, aku masih bisa tersenyum-senyum mendengar rayuan Kurniawan yang mengajakku untuk kawin lari. Ia terlalu kere untuk berani meminangku di depan keluargaku. Bodohnya, aku mau saja. Terlihat romantis seperti di film-film India yang sering aku tonton bersama Bi Jumiati, pembantu tetangga sebelah.

Peristiwa itu serasa berjalan cepat sekali. Kurniawan membawaku ke daerah kumuh ini, yang bahkan tak punya nama. Aku masih tersenyum-senyum waktu itu, meski badanku habis tergerus kemiskinan. Tapi senyum itu tak lama tersungging di bibirku. Kurniawan menjadi gigolo dan tercantol istri pejabat yang bosan dengan suaminya yang impoten. Lalu aku meninggalkannya begitu saja. Kurniawan mengejarku. Aku lari. Kurniawan menarikku. Aku meronta. Kurniawan menjelaskan. Aku tutup kuping. Hm, kalau diingat-ingat, lucu sekali. Hidupku tenyata seperti di sinetron-sinetron yang dulu kuanggap tak masuk akal. Tapi tak cukup untuk membuatku menertawakan diri sendiri.

“Maafkan aku. Aku bekerja seperti ini untuk menghidupimu juga,”

“Aku tak marah.”

“Omong kosong. Kau marah gara-gara aku khianati?”

“Tidak. Aku hanya jijik.”

“Kau tidak mencintaiku lagi?”

“Aku takut tertular AIDS. “ Kurniawan menatapku lama sekali. Sangat lama, sampai-sampai aku baru sadar kalau matanya jereng sebelah.

Aku benar-benar tak marah padanya. Waktu itu pikiranku masih sempit. Aku ketakutan, terjangkiti penyakit berbahaya yang membuat salah satu artis favoritku mati dengan tragis di akhir sinetron. Tapi akan lain ceritanya jika aku tahu kalau Kurniawan telah semena-mena meninggalkan janin di perutku.

Ya, aku baru tahu kalau aku mengandung anak Kurniawan setelah kami berpisah. Kurniawan kabur dengan nyonya pejabat yang kalut karena dipergoki suaminya sedang berbirahi-ria dengan Kurniawan.

“Sudah. Jangan melamun begitu. Nanti kesambet setan. Sepertinya pembeli air susumu tak datang juga. Sebaiknya kau susui saja bayimu. Daripada mubazir air susumu,” Kentara sekali nada kasihan berolah dalam kata-kata Jeng Parmi yang mengunjungi rumah kardusku.

“Tapi…apa tidak apa-apa? Aku butuh sekali uang itu.”

“Sudahlah. Lekas berikan air susumu pada anakmu saja. Nanti keburu mati dia.”

Dengan langkah ragu-ragu aku melangkah menuju bayiku. Oh, alangkah malangnya. Badannya kurus, belum tersentuh oleh gizi yang menjadikannya seperti anak-anak normal. Dadaku perih, bayiku sangat lapar rupanya. Rasanya habis sudah cairan dadaku dihisapnya. Ia menyusu begitu tergesa-gesa, seakan kesempatan itu untuk yang terakhir kalinya.

“Kasihan bayi ini. Bisa mati dia kalau terus-terusan hidup bersamamu.”

Aku memandang manik mata Jeng Parmi. Bulatan hitamnya bergerak cepat, tanda ia merasa tak enak.

“Sudahlah. Kau jangan berkeras begitu. Jual saja bayimu, agar dia bisa hidup layak.”

“Maksud Jeng?”

“Yah, siapa tahu dia akan diasuh orang kaya.” Jeng Parmi melihat lagi bayiku, lebih teliti. Hendak menaksir harganya barangkali.

“Siapa yang akan membelinya?” Suaraku lebih tedengar seperti rengekan, memohon agar ada alternatif lain yang lebih baik.

“Nanti akan aku pertemukan denganmu. Siapkanlah bayimu.”

“Anak Jeng juga dijual?” Jeng Parmi tidak berkata apa-apa lagi. Aku tahu, dari senyum setengah bibirnya, ia enggan menyinggung masalah itu.

*******

Mariam, Durga, Desi Ratnasari. Siapa lagi? Sebutkan saja nama wanita yang takkan mengorbankan anaknya sepertiku. Sulungku yang terekspos tulang-belulangnya, apakah harus kugadaikan demi masa depannya? Air susuku pun baru dikecapnya, yang rasanya pun takkan tersimpan dalam memorinya.

“Bayangkan bagaimana nasib putramu kelak. Dia akan sukses, menjadi artis atau pengusaha. Dia tidak akan jadi gembel sepertimu.” Jeng Parmi berusaha meyakinkanku untuk tetap melanjutkan rencana ini. Ia telah mempersiapkan semuanya. Aku hanya harus menyerahkan anakku ke gendongannya.

Aku sama buruknya dengan Dewi Kunti. Seorang yang agung, ibu Pandawa. Namun dalam kesuciannya, ia pernah membuang bayinya demi menutup aib akibat hubungan gelapnya dengan Dewa Surya. Setidak-tidaknya aku melakukan semua ini demi melihat anak di gendonganku ini mengecap hidup yang lebih baik. Tapi tetap saja, aku seorang ibu yang tega menjual anaknya. Mengapa semua terasa menjadi jahanam. Jeng Parmi, rumah kardus, nasib.

Kulihat lagi bayiku dalam selimut lucu yang dihadiahkan Jeng Parmi, bekas anaknya dulu. Tangannya mengibas senang, berusaha menjangkau ke arahku dan memperlihatkan kegairahan yang amat sangat. Kristal air asin di pipiku menjadi saksi, betapa berharganya pengorbanan yang aku lakukan. Anakku, izinkanlah ibumu menyenandungkan lagu, meninabobokanmu untuk terakhir kalinya.

…Nina bobo… oh… nina bobo

Kalau tidak bobo digigit nyamuk…♫

Lirih. Basah. Gulita.

Gembira di Kerlap-Kerlip


Bagi sebagian mahasiswa UGM, dugem telah menjadi alternatif kegiatan selain kuliah.

Fenomena dunia gemerlap (dugem) merupakan budaya pop yang banyak berkembang di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. “Di Negara-negara maju seperti Eropa, dugem dikontrol dengan ketat oleh regulasi pemerintah. Berbeda dengan di Indonesia yang tiap harinya bisa dugem, di sana dugem dilakukan saat weekend (akhir pekan, -Red),” tutur Dosen Sosiologi, DR Heru Nugroho SU.

Jogja yang notabene merupakan kota pelajar, mengalami perkembangan dugem yang relaif pesat. Mahasiswa UGM sebagai civitas akademika Jogja, ikut berperan dalam menumbuhkembangkan budaya pop ini. Kurang lebih 12 kafe maupun klab malam yang ada di Jogja menargetkan mahasiswa sebagai pangsa pasar utamanya. Beberapa klab malam seperti Hugo’s, Liquid, Caesar, Papillon, dan TJ’s merupakan mayoritas yang dikunjungi oleh mahasiswa. Rata-rata pengunjung tempat dugem tersebut sekitar 500 orang tiap harinya. Jumlah itu dapat melonjak tinggi saat diadakan acara special, seperti konser artis ibukota ataupun peringatan hari valentine.

Menurut salah seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya UGM yang juga menyambi sebagai bartender di salah satu klab malam, mahasiswa UGM mengambil tempat sekitar 10-15% dari total pengunjung di tempat ia bekerja. Jika dikalkulasi dengan menggunakan prosentase terkecil, per harinya terdapat sekitar 50 mahasiswa UGM yang menghabiskan malamnya di tempat-tempat dugem. Jika dibandingkan dengan mahasiswa dari universitas lain, populasi mahasiswa UGM yang mengunjungi klab malam memang tidak terlalu besar. Meski begitu, jumlah tersebut juga tidak bisa dibilang sedikit.

Efek Dugem

Sebagai gaya hidup, dugem memiliki sisi positif dan negative. Segi positifnya, dugem dapat membentuk jaringan pertemanan bahkan komunitas di antara sesama dugemers (penyuka dugem). Beberapa mahasiswa mengaku, tujuan utama mereka mengunjungi klab malam bukan sekadar hura-hura dan melepas kepenatan, tapi juga mencari teman ngobrol. Ada pula yang menjadikan dugem sebagai tempat berekspresi dan berolahraga melalui joget.

Sementara kerugian yang diitmbulkan oleh dugem bisa ditilik dari segi finansial. Dugem jelas bukan aktivitas yang murah. Selain cover charge (uang masuk) yang tak bisa dikatakan murah, harga makanan dan minuman yang disajikan di klab malam dapat mencapai dua kali lipat dari harga normal. Air putih contohnya. Di klab malam, harga segelas air putih bisa mencapai kisaran Rp 18.000,-.

Selain itu, atmosfir klab malam yang tidak bebas rokok sedikit banyak dapat mengganggu kesehatan. Tempat-tempat dugem biasanya dipadati oleh para perokok. Mereka yang bukan perokok dapat menjadi perokok pasif di dalam ruangan klab. Minuman beralkohol yang juga banyak terdapat di klab malam, juga dapat mengganggu kesehatan. Terlebih lagi beberapa klab malam tidak bebas pengaruh narkoba sehingga dapat merusak kehidupan mahasiswa.

“Meskipun telah menjadi stereotype (penilaian umum, -Red), tapi pada kenyataannya memang benar bahwa dugem lebih banyak memiliki sisi negative daripada positifnya,” terang Yoseph (Sosiologi ’03).

Gaya Hidup

Di kota-kota besar lainnya, dugem lebih diarahkan sebagai tempat untuk membentuk ruang public bagi orang-orang yang sibuk dan kekurangan sarana ekspresi diri. Namun di Jogja, dugem lebih dikonsep untuk membentuk trend dan lifestyle. Maka tak heran jika ada anggapan dugem dapat menunjukkan status orang dalam bergaul. “Dugem lebih sebagai citra pergaulan. Umumnya dugem menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa yang terjangkiti budaya hedonisme (mengagungkan suatu hal, -Red) dan konsumerisme,” papar Heru Nugroho.

Fenomena dugem di kalangan mahasiswa menjelaskan beberapa hal. Pertama, manusia selalu memilih sendiri komunitasnya. Beberapa mahasiswa UGM yang menjalani dugem sebagai alternative kegiatannya, mungkin meras anyaman jika berada di lingkungan pergaulan klab malam. Kedua, apapun alternative kegiatan di luar kampus, kewajiban sebagai mahasiswa tidak akan pernah hilang begitu saja. Hingar-bingar klab malam tidak akan pernah menghilangkan tugas paper, laporan penelitian, maupun ujian yang menjadi kewajiban mahasiswa. Akan lebih bijaksana, jika alternatif di luar kampus berjalan lurus dengan kemajuan prestasi di kampus.