Politik Interpretasi Identitas:

Apa yang menjadi esensi dari identitas? Mungkin saja eksistensi. Namun identitas juga lahir dari sistem produksi nilai. Hakikat manusia yang selalu memberikan penilaian dan pelabelan, baik terhadap lingkungan sekitarnya maupun dirinya sendiri. Bikhu Parekh dalam bukunya New Politics of Identity: Political Principles for An Interdependent World, menjelaskan bahwa identitas melibatkan interpretasi dan penilaian (hal 9). Identitas individu dibentuk oleh kesadaran diri dan agen yang menentukan diri. Artinya, individu mempunyai kemampuan untuk merefleksikan dirinya dan memutuskan akan menjadi pribadi yang seperti apa.
Konsep Dasar
Bikhu Parekh kemudian memberikan konsep bahwa identitas terbagi menjadi tiga dimensi yang saling berhubungan. Ketiganya adalah, identitas personal, identitas sosial (termasuk pluralitas identitas sosial), dan identitas manusiawi. Identitas personal lebih mendefinisikan person sebagai yang unik dan berbeda, pusat pembedaan dari kesadaran diri, mempunyai anatomi yang berbeda, detil pengalaman hidup, dan subjektivitas. Misalnya saja identitas sebagai marxis, libertarian, dan sejenisnya. Identitas personal ini dibentuk dengan kebebasan diri tanpa mempertimbangkan nilai sosial.
Identitas sosial mengasosiasikan individu dalam satu etnis, agama, budaya, mata pencaharian, kewarganegaraan, dan grup-grup lainnya yang terhubung dalam jalur formal maupun informal. Ada konsesus nilai di dalamnya, dimana strukturisasi nilai dilakukan secara kolektif. Identitas sosial juga mengandung dimensi gender (jenis kelamin sosial). Perempuan mendapat perlakuan yang berbeda dengan laki-laki, karena dalam struktur nilai dalam sistem sosial, keduanya menempati posisi yang berbeda. Identitas sosial misalnya suku jawa, orang Kristen, dan sejenisnya. Sementara identitas manusiawi adalah identitas yang paling umum dan mendasar. Identitas ini kemudian yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, seperti hewan dan tumbuhan. Identitas manusiawi ini misalnya rasa ingin mendapat keamanan dan sebagainya.
Identitas-identitas itu kemudian membentuk dunia dari masing-masing individu yang relatif stabil, namun tidak tetap dan permanen. Ada yang masuk dan ada yang keluar, ada yang bertambah dan ada yang berkurang. Identitas itu sendiri adalah sesuatu yang cair dan kompleks. Dikotomi-dikotomi yang ada bisa jadi juga berdinding tipis, karena identitas bukanlah suatu yang empiris.
Menurut Bikhu Parekh, nilai-nilai yang dibentuk oleh struktur sosial mempengaruhi terbentuknya identitas sosial individu. Namun sepertinya agak sedikit terlupa bahwa ada relasi agen-struktur yang di dalamnya terdapat tarik-menarik kekuatan. Bahwa tak selamanya struktur yang mempengaruhi individu, tetapi juga agen memodifikasi bahkan mengubah struktur sosial.
Identitas Kolektif
Bikhu Parekh mendefinisikan hidup dengan cara bagaimana kita mengonstruksikan dan menyerasikan individu, sosial, dan dimensi kemanusiaan dalam identitas kita. Dan itu tergantung seberapa besar kekuatan kita sebagai individu dalam masyarakat dan dunia dimana kita hidup (hal 30). Dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok yang menumbuhsuburkan identitas kolektif. Identitas kolektif ini berperan dalam pembentukkan kelompok yang utuh dan memiliki relasi yang erat. Hal itu dipergunakan salah satunya untuk menggalang kekuatan untuk menghalau dominasi dari kelompok lain.
Dalam sebagian besar masyarakat, terdapat kelompok yang mendominasi dan tersubordinasi, yang superior dan inferior. Yang terjadi pada umumnya, kelompok dominan selalu berusaha untuk memasukkan tatanan nilainya pada kelompok subordinat. Dan kelompok subordinat selalu melawan pengaruh budaya yang digencarkan kelompok dominan meskipun harus berdarah-darah.
Namun kecenderungan itu tidak terjadi di semua tempat. Harmonisasi juga tercipta antara kelompok mayoritas dan minoritas. Ibaratnya dua kutub magnet, politik identitas kolektif ini mempunyai sisi positif dan negatif. Secara negatif, misalnya melibatkan kebebasan gay, kebebasan orang kulit hitam (blue colour), yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok itu ingin menjadi bebas dari aturan dan nilain yang dirasa menyiksa dan kejam. Secara positif identitas kolektif ini menimbulkan kebanggaan, misalnya kebanggaan gay, kebanggaan orang kulit hitam. Tujuannya, untuk menekan rasa rendah diri atau meningkatkan solidaritas di antara anggota kelompok (hal 32).
Politik identitas kolektif bisa jadi suatu cara untuk menguatkan identitas sosial kelompok-kelompok yang merasa termarjinalkan. Walaupun tidak mendominasi, setidaknya kelompok itu medapatkan penghormatan atas eksistensinya. Etnis cina yang beberapa periode yang lalu menjadi korban kekerasan akibat etnisitasnya, kini sudah mulai diakui dan mendapat penghormatan (meskipun tidak sepenuhnya karena masih ada stereotype). Hal itu terjadi karena etnis cina tetap mempertahankan tradisi dan identitas kolektifnya meskipun terjadi represi bahkan koersi tehadapnya.
Politik identitas kolektif di satu sisi menjadi penguat eksistensi kelompok, sehingga dalam interaksi dalam sistem sosial keberadaannya menjadi diperhitungkan oleh kelompok lain. Penerimaan itu kemudian membuahkan anugerah pembauran (mixed blessing). Mixed blessing ini yang membangun solidaritas dalam kelompok marjinal, memberdayakan mereka, menyuplai energi moral, dan membuka kemungkinan untuk mempluralisasi kultur dominan (37).
Akhirnya, pemahaman saya yang paling medasar terhadap konsep identitas adalah siapa anda, darimana anda, dan apakah anda, bukan menjadi alasan untuk bertarung dengan orang lain yang ‘berbeda’. Bukan untuk menumbuhsuburkan fanatisme yang buta. Melainkan untuk belajar menjadi bijaksana. Melihat perbedaan dari sudut pandang humanis bukan narsis. Seperti filosofi sidik jari, manusia selalu diciptakan berbeda antara sesamanya.

0 komentar: