Kembali ke Solitaire

Bermain solitaire, seseorang belajar untuk patah hati.

menang atau kalah terasa sama menyakitkan.

karena pada akhir permainan, kita akan tersadar..

Kita hanya sendiri.

Lai

Bunyi daun bambu pun ikut menakutiku

dengan desahannya yang malu-malu

Untukmu, sekali lagi

Ada hati yang usang di bawah sana..

Ada mimpi kecil di atas sana..

Aku melangkah ke arahmu

Kau ada dimana?

Untukmu

Subuh itu..

aku menarikan tuts-tuts

mengukir namamu

dalam rindu yang meluap-luap

Apa kau dapat membacanya?

Scorpions-Lyrics

ALWAYS SOMEWHERE

Music:


Rudolf Schenker

Lyrics:


Klaus Meine



Arrive at seven the place feels good

No time to call you today

Encores till eleven then Chinese food

Back to the hotel again



I call your number the line ain´t free

I like to tell you come to me

A night without you seems like a lost dream

Love I can´t tell you how I feel



Always somewhere

Miss you where I´ve been

I´ll be back to love you again



Another morning another place

The only day off is far away

But every city has seen me in the end

And brings me to you again



Always somewhere

Miss you where I´ve been

I´ll be back to love you again

Seseorang Memanggilku dengan Janggal

Aku tak bisa berlalu, sayang

Mimpi-mimpi utopis itu hadir kembali

sekadar ingin mengajakmu berdansa

menikmati mata alam yang mengintip

dari dalam pupa.

Politik Interpretasi Identitas:

Apa yang menjadi esensi dari identitas? Mungkin saja eksistensi. Namun identitas juga lahir dari sistem produksi nilai. Hakikat manusia yang selalu memberikan penilaian dan pelabelan, baik terhadap lingkungan sekitarnya maupun dirinya sendiri. Bikhu Parekh dalam bukunya New Politics of Identity: Political Principles for An Interdependent World, menjelaskan bahwa identitas melibatkan interpretasi dan penilaian (hal 9). Identitas individu dibentuk oleh kesadaran diri dan agen yang menentukan diri. Artinya, individu mempunyai kemampuan untuk merefleksikan dirinya dan memutuskan akan menjadi pribadi yang seperti apa.
Konsep Dasar
Bikhu Parekh kemudian memberikan konsep bahwa identitas terbagi menjadi tiga dimensi yang saling berhubungan. Ketiganya adalah, identitas personal, identitas sosial (termasuk pluralitas identitas sosial), dan identitas manusiawi. Identitas personal lebih mendefinisikan person sebagai yang unik dan berbeda, pusat pembedaan dari kesadaran diri, mempunyai anatomi yang berbeda, detil pengalaman hidup, dan subjektivitas. Misalnya saja identitas sebagai marxis, libertarian, dan sejenisnya. Identitas personal ini dibentuk dengan kebebasan diri tanpa mempertimbangkan nilai sosial.
Identitas sosial mengasosiasikan individu dalam satu etnis, agama, budaya, mata pencaharian, kewarganegaraan, dan grup-grup lainnya yang terhubung dalam jalur formal maupun informal. Ada konsesus nilai di dalamnya, dimana strukturisasi nilai dilakukan secara kolektif. Identitas sosial juga mengandung dimensi gender (jenis kelamin sosial). Perempuan mendapat perlakuan yang berbeda dengan laki-laki, karena dalam struktur nilai dalam sistem sosial, keduanya menempati posisi yang berbeda. Identitas sosial misalnya suku jawa, orang Kristen, dan sejenisnya. Sementara identitas manusiawi adalah identitas yang paling umum dan mendasar. Identitas ini kemudian yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, seperti hewan dan tumbuhan. Identitas manusiawi ini misalnya rasa ingin mendapat keamanan dan sebagainya.
Identitas-identitas itu kemudian membentuk dunia dari masing-masing individu yang relatif stabil, namun tidak tetap dan permanen. Ada yang masuk dan ada yang keluar, ada yang bertambah dan ada yang berkurang. Identitas itu sendiri adalah sesuatu yang cair dan kompleks. Dikotomi-dikotomi yang ada bisa jadi juga berdinding tipis, karena identitas bukanlah suatu yang empiris.
Menurut Bikhu Parekh, nilai-nilai yang dibentuk oleh struktur sosial mempengaruhi terbentuknya identitas sosial individu. Namun sepertinya agak sedikit terlupa bahwa ada relasi agen-struktur yang di dalamnya terdapat tarik-menarik kekuatan. Bahwa tak selamanya struktur yang mempengaruhi individu, tetapi juga agen memodifikasi bahkan mengubah struktur sosial.
Identitas Kolektif
Bikhu Parekh mendefinisikan hidup dengan cara bagaimana kita mengonstruksikan dan menyerasikan individu, sosial, dan dimensi kemanusiaan dalam identitas kita. Dan itu tergantung seberapa besar kekuatan kita sebagai individu dalam masyarakat dan dunia dimana kita hidup (hal 30). Dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok yang menumbuhsuburkan identitas kolektif. Identitas kolektif ini berperan dalam pembentukkan kelompok yang utuh dan memiliki relasi yang erat. Hal itu dipergunakan salah satunya untuk menggalang kekuatan untuk menghalau dominasi dari kelompok lain.
Dalam sebagian besar masyarakat, terdapat kelompok yang mendominasi dan tersubordinasi, yang superior dan inferior. Yang terjadi pada umumnya, kelompok dominan selalu berusaha untuk memasukkan tatanan nilainya pada kelompok subordinat. Dan kelompok subordinat selalu melawan pengaruh budaya yang digencarkan kelompok dominan meskipun harus berdarah-darah.
Namun kecenderungan itu tidak terjadi di semua tempat. Harmonisasi juga tercipta antara kelompok mayoritas dan minoritas. Ibaratnya dua kutub magnet, politik identitas kolektif ini mempunyai sisi positif dan negatif. Secara negatif, misalnya melibatkan kebebasan gay, kebebasan orang kulit hitam (blue colour), yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok itu ingin menjadi bebas dari aturan dan nilain yang dirasa menyiksa dan kejam. Secara positif identitas kolektif ini menimbulkan kebanggaan, misalnya kebanggaan gay, kebanggaan orang kulit hitam. Tujuannya, untuk menekan rasa rendah diri atau meningkatkan solidaritas di antara anggota kelompok (hal 32).
Politik identitas kolektif bisa jadi suatu cara untuk menguatkan identitas sosial kelompok-kelompok yang merasa termarjinalkan. Walaupun tidak mendominasi, setidaknya kelompok itu medapatkan penghormatan atas eksistensinya. Etnis cina yang beberapa periode yang lalu menjadi korban kekerasan akibat etnisitasnya, kini sudah mulai diakui dan mendapat penghormatan (meskipun tidak sepenuhnya karena masih ada stereotype). Hal itu terjadi karena etnis cina tetap mempertahankan tradisi dan identitas kolektifnya meskipun terjadi represi bahkan koersi tehadapnya.
Politik identitas kolektif di satu sisi menjadi penguat eksistensi kelompok, sehingga dalam interaksi dalam sistem sosial keberadaannya menjadi diperhitungkan oleh kelompok lain. Penerimaan itu kemudian membuahkan anugerah pembauran (mixed blessing). Mixed blessing ini yang membangun solidaritas dalam kelompok marjinal, memberdayakan mereka, menyuplai energi moral, dan membuka kemungkinan untuk mempluralisasi kultur dominan (37).
Akhirnya, pemahaman saya yang paling medasar terhadap konsep identitas adalah siapa anda, darimana anda, dan apakah anda, bukan menjadi alasan untuk bertarung dengan orang lain yang ‘berbeda’. Bukan untuk menumbuhsuburkan fanatisme yang buta. Melainkan untuk belajar menjadi bijaksana. Melihat perbedaan dari sudut pandang humanis bukan narsis. Seperti filosofi sidik jari, manusia selalu diciptakan berbeda antara sesamanya.

Aku Memberinya Rp 500,- (dan dia seperti mendapat Rp 5 Milyar)


Anak kita bersandar di tiang rapuh

Mengais debu sisa pergulatan hari

Matanya menyalang terang

Sampai senja belum makan

Terus berjalan tanpa rambu

Keenakan membutakan diri

Anak kita mengulet senang

Dapat roti sisa buangan

Berebut remah dengan belatung

Tetap saja tanpa protes

Tetangga kita mengintip celah

Lalu pergi seolah wajar

Anak kita lalu saja

Hei, itu anak kita

Kita……

Mencari Kebebasan

Harga kebebasan adalah kewaspadaan abadi.”

--Wendell Phillips



Beberapa tahun lalu, orang beramai-ramai merasakan euforia reformasi. Demokrasi dirayakan dengan anggur dan darah. Kebebasan tak lagi terkurung di ruang antah berantah. Ia menyeruak dan dengan tempo yang sesingkat-singkatnya memasuki dimensi kehidupan masyarakat yang dulu otoritarian. Media menjadi salah satu elemen yang mendapat pengaruh paling signifikan dari reformasi.

Pada rezim Orde Baru (Orba), media mendapat tekanan-tekanan politik yang demikian hebat. Hal itu dapat dilihat dengan diciptakannya tonggak politis mengenai pers, yaitu UU Pokok Pers No.11/66 jo UU No.4/19671. Aturan ini membuat pemerintahan Orba dapat dengan mudah memantau pers. Jackson menggambarkan betapa Orba merambah semua sumber kekuasaan pada semua level sosial dan menutup peluang hidupnya oposisi2. Karenanya, ketika reformasi yang diperjuangkan banyak kelompok itu menghasilkan buah manis kebebasan, media yang paling bersemangat meraih kebebasan sebesar-besarnya. Bahkan menurut beberapa pemerhati media, kebebasan yang terjadi malah cenderung kebablasan.


Jurnalisme Investigasi

Media dituduh lupa diri, terutama setelah berkembang muckracking journalism (jurnalisme investigatif). Yang dilakukan media seperti Tempo, hingga menimbulkan konflik dengan objek berita, termasuk dalam praktik jurnalisme investigasi. Pers berusaha menemukan informasi-informasi tersembunyi, meskipun memakai cara yang ilegal. Dengan topi kebebasan pers, pelaku media itu berusaha melakukan pledoi agar dapat mengelak dari tuntutan. Media sudah melewati batas dari fungsi dasarnya. Tidak berlebihan jika media dikatakan telah melangkahi kerja institusi lainnya. Padahal penyampaian informasi tidak hanya dapat dilakukan oleh institusi media saja, namun oleh semua elemen yang mempunyai kewajiban dan kebutuhan untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan aktivitasnya.

Awalnya, media memiliki fungsi memberi informasi, mendidik, menghibur, dan membujuk (Ardianto dan Erdinaya, 2007: 128). Namun dalam perkembangannya, media lantas melegitimasikan dirinya sebagai institusi yang paling memiliki kekuasaan untuk menyebarkan (bahkan menurut Arswendo Atmowiloto, membikin) informasi. Yang pada akhirnya akan menggiring publik pada penyeragaman ideologi secara terstruktur. Media juga menyangkal bahwa unsur kompetisi antar sesama media mempengaruhi bagaimana mereka lebih fokus menampilkan berita yang bombastis untuk menjaring konsumen media.

Amerika serikat (yang seringkali menjadi pedoman kita dalam mengukur sesuatu) memiliki jaminan kebebasan pers dari konstitusi, memiliki sistem komunikasi paling canggih di dunia, dan memiliki media-media yang lebih independen yang menyebarkan lebih banyak informasi daripada tempat lain di dunia. Namun sayangnya, semua itu tidak menjamin terbentuknya masyarakat yang berpengetahuan luas3.

Di film Shattered Glass, diceritakan seorang wartawan (diperankan oleh Hayden Christensen) di media yang disebut ‘Air Force One’-nya pers, mengarang beberapa kejadian yang membuat medianya laku keras. Perbuatannya tidak diketahui sampai ketika salah satu media online mulai mempertanyakan kebenarannya dari berita itu. Setelah diselidiki, benarlah bahwa semua berita itu hanya rekaan jurnalisnya semata. Efek dari berita rekaan itu mungkin saja merugikan pihak-pihak lain. Jika itu terjadi, maka media telah gagal memenuhi tanggung jawab mereka sebagai ‘pengawas’.

Media seharusnya berfungsi untuk memberikan sinyal peringatan yang kita perlukan. Untuk itulah informasi berkewajiban disebarkan pada orang banyak. Dalam bermedia pun sudah terpatri sejumlah etika dan norma. Agar kemudian tidak terjebak pada bentuk-bentuk narsisme pada media itu sendiri, juga keberpihakan pada kelompok tertentu yang mempunyai kekuasaan atasnya.

Etika dalam media harusnya dimaknai sebagai sesuatu yang dapat difungsikan untuk membantu manusia menjadi lebih otonom. Otonom disini bukan terletak dalam kebebasan dari segala norma dan tidak sama dengan kesewenang-wenangan, melainkan tercapai dalam kebebasan untuk menjalani norma-norma yang diyakininya sendiri sebagai kewajibannya (Siregar, 1993:111 mengutip dari Von Magnis, 1979). Meskipun begitu, realitas yang terjadi adalah media sebagai arena pertarungan kekuasaan. Karena siapa yang memegang kendali atas arus informasi, maka ia memegang kekuasaan.


Relasi Kekuasaan

Kebebasan pers yang berlebih ini disinyalir menjadi suatu kekuatan untuk melakukan konstruksi realitas, yang akhirnya akan membawa kekuasaan. Siklus informasi yang disebarkan media (yang diulang hingga menjadi hiperealita) berkontribusi besar pada pembentukan pengetahuan.

Tesis Foucault yang terkenal adalah pengetahuan dan kuasa saling menjalin, sehingga klaim modernisme bahwa pengetahuan akan membebaskan diri dari kekuasaan menjadi tawar4.

Dalam kasus Tempo dan Tommy Winata, yang dimenangkan oleh Tempo karena menggunakan UU Pers yang bersifat lex specialis, media membuktikan bahwa mereka mempunyai gigi dalam hukum. Hal yang cukup menggembirakan sebenarnya, mengingat begitu banyaknya represi yang diberikan terhadap pers. Namun hal itu kemudian memacu banyaknya tindakan media yang ‘berani’. Media semakin vulgar dalam melakukan pemberitaan, bahkan cenderung mengarah pada deviasi fungsinya. Istilah cover both side menjadi mitos karena semakin ditinggalkan. Saya menduga media sendiri sudah menjadi tidak objektif, sebagaimana istilah pers diidentikkan dengan pers(sepsi). Kebenaran informasi yang disampaikan adalah hasil konstruksi media tentang apa yang dianggap media itu benar, meskipun pada kenyataannya mungkin saja tidak.


1 Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit. Hal 63.

2 Jackson, Karl D. 1980. Bureaucratic Polity: A Theoretical Framework for The Analysis of Power and Communications in Indonesia. California: University of California. Hal 42.

3 Jensen, Carl. Apa Kabar Muckracking Gaya Lama? Sonoma State University.

4 Donny Gahral A. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra. Hal 85

Untukmu

Kaulah kata

Kau juga aksara

Tapi ku bisu

Denganmu..

Tak (Di)Kenal Maka Beriklan

Pembaca yang terhormat, Charles de Gaulle, presiden Perancis pertama, berkata, “Politisi tidak pernah percaya akan ucapan mereka sendiri, karena itulah mereka sangat terkejut bila rakyat mempercayainya.” Ironisnya, belakangan ini, banyak politisi berusaha menawar kepercayaan kita (calon pemilih) bukan dengan visi membangun bangsa. Tapi dengan potret-potret mereka yang terpampang hampir di setiap sudut jalan. Calon anggota legislatif itu makin gencar mencekoki rakyat dengan omong kosong. Harapannya, dalam pemilu legislatif nanti mereka dapat menuai keberhasilan.

Kebanyakan dari iklan politik yang ditampilkan, tak mengandung isu penting. Bahkan ada beberapa iklan yang ‘lucu’. Kita diharapkan memilih caleg karena anaknya seorang artis, atau karena nomor urut sang caleg sama seperti nomor punggung pesepak bola internasional. Itulah mengapa kemudian politisi selalu diidentikkan dengan citra diri tanpa substansi.

Cara-cara dangkal seperti itu tetap mereka lakukan guna meraih sekian persen suara masyarakat, sebagai syarat menduduki kursi legislatif. Mereka pikir, popularitas menjadi kunci keberhasilan. Padahal, ketenaran sering juga tak dibarengi dengan kapasitas dan tanggung jawab pemangku jabatan. Karena popularitas itu sendiri tidak didapat melalui proses panjang. Namun dari budaya reklame yang merupakan cara instan menuju kemashyuran.

Tren mengiklankan diri seperti ini mewabah dalam masyarakat yang lebih suka cover daripada isi. Budaya pop merasuk di berbagai aspek kehidupan. Bahkan secara tidak sadar, budaya itu sering diaplikasikan dalam ranah yang signifikan bagi kehidupan berkebangsaan. Perlahan-lahan kita akan menuju ketiadaan (nihilisme). Karena tak ada nilai yang benar-benar kita pegang dan percayai, selain kenihilan itu sendiri.

Saya percaya, citra diri memang penting. Namun akan lebih bijaksana jika diikuti dengan kemampuan dan kemauan untuk mengawal masyarakat ke kondisi yang lebih baik. Agar kita juga tak perlu lagi mengamini perkataan Charles.