AD

Isi Hati

Kenapa ya awan bisa bercengkerama lama-lama dengan tanah. Ia kirimkan hujan dengan bahasa yang hanya bisa dipahami keduanya. Ia hiraukan jarak yang terbentang ratusan mil jauhnya untuk menggoda lewat duhainya bayu. Aku juga ingin lho sayang, mengintipmu bahkan hanya lewat celah sempit. Duduk beriringan walau hanya memperhatikan arak-arakan semut ukuran mikro.


Kenapa sih kau jauh sekali....

Refreksi 100 Hari, Perlu Selamatan?

Tak seperti perayaan lainnya yang penuh suka cita, 100 hari pemerintahan SBY jilid II diramaikan dengan aksi demonstrasi massa yang dijaga dengan keamanan berlapis di berbagai daerah di Indonesia. Tuntutan agar presiden SBY lengser keprabon, digaungkan dalam orasi-orasi yang tak putus. Di sini, ketidakpuasan sejumlah elemen masyarakat terhadap kinerja pemerintah mengemuka. Bahkan menurut survey Indo Barometer, kini kepuasan masyarakat menurun banyak hingga 15 persen dibanding dengan awal keterpilihan SBY. Responden yang paling tidak puas terhadap pemerintahan terdiri dari kelompok menengah dan terdidik serta berpendidikan minimal SLTA, yang tak mudah tertipu dengan politik pencitraan yang pemerintah tampilkan.

Fakta ini menunjukkan bahwa penting artinya bagi SBY untuk segera memperbaiki kegagalan-kegagalan fungsi kinerja departemen pemerintahannya. Atau lebih buruk, kemungkinan impeachment akan sangat besar membayangi kursi nomor satu republik ini. Indikasi ketidakpuasan masyarakat ini disebabkan oleh beberapa hal yang saling terkait satu sama lain.

Pertama, tidak terselesaikannya kasus-kasus besar, yang diduga melibatkan konspirasi aktor-aktor politik yang sedang berkuasa, secara progresif dan menunjukkan hasil positif. Ini terlihat dari perkembangan kasus Century dan Antasari Azhar yang diulur-ulur seolah demi mengaburkan kebenaran sesungguhnya. Kedua, tidak terlaksananya janji-janji politik yang dikemukakan SBY dalam Pemilu 2009. Alasan ini juga ditambah kekecewaan rakyat karena SBY lebih mengurusi hal-hak tak urgen lainnya seperti album barunya dan pembangunan pagar Istana ketimbang urusan rakyat. Padahal, janji itulah yang membuat rakyat memilihnya dulu. Ketiga, masyarakat mulai lelah dengan politik pencitraan yang kerap dikedepankan pemerintah ketimbang hal-hal substansial yang seharusnya mendapat porsi besar dalam perhatian pemerintah.

Yang paling disayangkan dari semua kelemahan-kelemahan pemerintah ini, adalah sikap tidak jantan yang ditunjukkan presiden di hari ke-100 pemerintahannya ini. Pemerintah seolah menjadi anak SD yang mesti diwakili pengambilan rapotnya karena takut dihantui rapot merah. Tentunya apabila pemerintah banyak membuat kemajuan sebagaimana yang digembar-gemborkannya selama ini, tak perlu takut menghadapi massa yang menuntut pertanggungjawabannya.

Mungkin pemerintah kita bisa belajar soal kekuasaan dan moral dari mantan Presiden Korea Selatan, Roh Moo-hyun. Ia memutuskan untuk bunuh diri meskipun Mahkamah Konstitusi memutuskan tuduhan korupsinya tak bisa dibuktikan. Ia merasa kekuasaan harus pula dibarengi dengan moral penguasanya. Agar tidak membuat orang lain lebih menderita. Untungnya di Indonesia, pemerintah tak perlu sampai bunuh diri. Hanya berusaha lebih jujur dalam melihat hasil refleksi pemerintahannya sendiri dengan sejernih-jernihnya. Jika tidak, maka hanya perlu menunggu waktu untuk rakyat bertindak lebih jauh.

Keberuntungan Tidak Permanen

Keberuntungan tidak permanen. Saat membaca cerita dongeng yang selalu happy ending, seringkali kita lupa, hidup Cinderella tidak berhenti sampai di situ. Selalu ada kemungkinan ia menemukan fase 'upik abu' berikutnya. Bedanya orang yang nyata dengan Cinderella, ia selalu punya ibu peri. Sementara kita hanya punya harapannya saja. Dan tikus-tikus yang akan selalu jadi hama, bukan supir kereta kencana.

Tidak! Saya tidak sedang mencoba bersikap sebagai si skeptis yang hidup dalam gelimpangan pesimisme. Tapi ayolah, welcome to the reality, kata seorang senior saya. Menyenangkan memang punya sederet khayalan yang bisa kita jadikan bantal besar empuk yang menungu kita di bawah saat kita terjatuh dari gedung tinggi. Tapi, saya menemukan fakta, khayalan itu hanya gelembung yang langsung pecah tak berbentuk begitu berbenturan dengan tubuh kita. Keberuntungan, jika tak langsung mati dan hanya luka-luka lecet. Dan kita juga tak bisa mengharapkan keberuntungan itu terulang, bukan?

Suatu waktu, teman saya yang sangat melankolis-dramatis-romantis sedikit 'memfatwa haram' wacana klasik saya tentang realitas. Dia menyebutnya tak lebih dari sekadar mimpi buruk. Atau ocehan orang yang terlalu sering berkumpul dengan sesama skeptis. Saya tak mencoba menyangkal argumen yang keluar berdasar ketidakterimaannya atas usikan terhadap istana impiannya. Realitas adalah mimpi buruk, yang tetap ada bahkan saat kau terbangun. Dan ya, ia hanya produk ocehan orang yang semena-mena menyinonimkannya dengan sumber segala permasalahan dalam hidup umat manusia. Dan ia juga hanya hidup itu sendiri. Yang punya makna karena identifikasi kita sebelumnya.

Hidup, kawan, tak bisa dijalani dengan hidup saja. Tak bisa mengharapkan keberuntungan datang seumpama durian runtuh. Atau masalah pergi menjauh karena bosan. Jika kita hanya meyakini hidup adalah penyerahan sepenuhnya kepada takdir (atau pembenaran untuk tak mengusahakan hidup sebaik-baiknya), satu-satunya yang bisa kita harapkan hanyalah keberuntungan yang datangnya seperti komet Halley. Atau gerhana kalau cukup beruntung. Hidup perlu persiapan, kerja keras, komitmen, dan dukungan orang-orang sekitar yang peduli pada diri kita. Maka, kita tak usah khawatir lagi kalau-kalau kita tidak memiliki ibu peri.


Live for Life!!!!

Datang dan Pergi

Aku datang dan pergi ke banyak tempat. Singgah di puncak-puncak tertinggi, atau mampir ke lembah terendah, demi menjumpai hal-hal menakjubkan yang hanya dapat dilihat seorang pemberani. Pemberani yang kumaksud tak segan menjejakkan kakinya jauh ke luar rumah. Juga tak sungkan mencicip buah yang baru dipetiknya dari pohon tak dikenal. Aku ingin jadi pemberani itu, karena hidup tidak akan mengajariku apapun kecuali aku beranjak dari tempatku sekarang.
Aku datang dan pergi ke banyak tempat. Love hotel, gereja, kedai dengan banyak lelaki gimbal, pantai tak dikenal, puncak ketiga, kabut, istana, makam anak seseorang yang meninggal sebelum hari pernikahannya karena ditabrak orang, banyak tempat yang tak bisa kusebut satu-satu (kau tak akan percaya betapa tempat-tempat itu begitu eksotis juga ekstrim).
Aku datang dan pergi ke banyak tempat. Rumah akan selalu jadi tempat yang paling terakhir kukunjungi. Karena aku kakak seorang adik dan teman baik ibu penjual sanggar di sebelah rumah. Rumah akan mendudukkan diriku ke tempat di mana aku memulai mimpi kanak-kanak itu. Aku membaca dongeng untukku sendiri, dan untuk itu aku akan meraih mimpi-mimpi itu sendiri.
Aku datang dan pergi ke banyak tempat. Kau tahu, aku menyesal, mengapa aku datang, dan kemudian harus pergi dari tempatmu..