M E N Y U B L I M

1
Sub.li.ma.si : perubahan langsung bentuk padat suatu zat menjadi uap tanpa melalui bentuk cair 

Mungkin aku sudah lama menyerah. Sejak aku tak dapat menghentikan tangisku, walau kau sudah berkata-kata indah. Tapi aku lupa apa tepatnya yang membuatku menyerah. Tiba-tiba aku sudah dalam kondisi yang tidak aku mengerti, tidak ada kau dan segalanya terasa amat buruk pada awalnya. Mungkin seharusnya aku menyerah lebih awal. Sehingga aku memiliki waktu untuk pelan-pelan menyembuh.

Apa-apa saja yang membekas darimu, kata-kata, janji akan pelukan, juga amuk, akan menyublim. Menguap bersama partikel debu yang kulihat dengan jelas saat berkas sinar matahari masuk lewat celah rumah. Debu itu pasti hatiku yang mengeras dan menjadi lapuk, karena ego adalah satu-satunya hal yang tersisa di dalamnya. Akan ada saatnya aku tak lagi memiliki memori dengan bayanganmu menari-nari, dengan gemuruh yang sama saat kereta beranjak membawa kita berpisah. Kita adalah cerita yang tak akan pernah tuntas, perjalanan pun tak pernah mencapai akhirnya. Karena itu, memang harus begitu, kita adalah gambar buram di masa silam.

Dan sesalku yang teramat sangat, aku tak bisa menyampaikan padamu secara langsung, bahwa seperti apapun kondisi kita saat ini, pada akhirnya kita harus berbahagia. Sekali ini lagi, untuk terakhir kali, aku harus melarikan diri. Karena aku merasa buruk, untuk sanggup menatap matamu dan berjanji menempuh jalan lain di mana takkan ada jejakmu lagi. Apa-apa saja yang membekas darimu, kata-kata, janji akan pelukan, juga amuk, akan menyublim. Melayang, bersatu dengan timbunan kesedihan yang memasap.


2
Sub.li.ma.si : perubahan ke arah satu tingkat lebih tinggi

Saya bodoh sekali. Saya memiliki teman-teman dengan aneka rupa yang takkan habis saya identifikasi walau saya memiliki kemampuan untuk menghitung sesuatu yang tak terbatas. Saya memiliki kata-kata yang selalu bersetia dalam setiap suasana hati. Saya punya dia, entah siapa nantinya yang akan mendengar cerita eksklusif milik saya. Tapi saya merasa sendiri. Harusnya tidak ada sesiapapun yang cukup berharga untuk membuat saya merasa sendiri. Iya, maka itu saya sebut diri saya bodoh. Karena merasa tidak cukup beruntung dengan kesendirian yang saya pilih sendiri.

Tapi untuk bisa menyublim, menjadi satu tingkat lebih baik dari sekadar bodoh, rasanya sakit sekali. Kali yang terakhir ini, saya tidak mampu mengontrol emosi yang meluap-luap. Rasanya badan jadi dingin dan terasa tidak punya kehendak apa-apa lagi. Idiom menggigil menusuk tulang benar-benar seperti menjadi makna denotasi. Saya berada di tempat paling indah, tapi saya mengakhiri momen dengan menangis sesengguk-sengguk. Entah itu sudah bisa dikatakan menyublim atau tidak. Tapi rasanya jauh lebih baik. Lebih baik. Saya tidak lagi tertawa-tawa untuk menutupi bahwa saya tidak apa-apa menjadi tidak berharga. Saya benar-benar tidak apa-apa. Kehilangan, tapi merasa baik-baik saja.

Saya harus percaya, akan ada banyak hal baik menanti saya. Saya memiliki teman-teman dengan aneka rupa yang takkan habis saya identifikasi walau saya memiliki kemampuan untuk menghitung sesuatu yang tak terbatas. Saya memiliki kata-kata yang selalu bersetia dalam setiap suasana hati. Saya punya dia, entah siapa nantinya yang akan mendengar cerita eksklusif milik saya. Kini, saya hanya harus membenahi apa yang telah saya rusak dengan kebodohan saya itu. Jika saya menjadi bodoh lagi, saya akan katakan padamu, saya akan menyublim lagi.

Tempat Cukur Kakek... (4-Habis)

Saya orang yang kadang-kadang tak berani menghadapi kenyataan. Saya lari dari masalah, bukan menuju pada penyelesaian. Tapi ke tempat baru di mana saya berharap tak akan bertemu dengan masalah yang sama. Saya mendekati sepi untuk mengasing. Menggayut di lengan kepuraan untuk bersembunyi. Saya pergi jauh-jauh, sepanjang-panjangnya jalan yang bisa saya tempuh untuk menghindar. Pada akhirnya, saya tidak bisa.

Subuh itu, ibu menelepon ke asrama SMA saya. Suatu panggilan yang tidak biasa. Di ujung telepon sana, ibu tidak bilang apa-apa, hanya suara tangis yang berusaha sekeras mungkin ditahan. Lama saya menanti dengan hati tidak menentu. Sampai akhirnya ibu bilang satu kata saja. Satu kata yang kemudian langsung merontokkan sendi-sendi saya seketika itu. Entah kenapa satu kata itu adalah hal terakhir yang saya ingin dengar disela tangisan ibu. "Mbah."

Saya berlari. Cepat-cepat kembali ke tempat tidur. Saya menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuh saya yang mendadak menggigil kedinginan. Bayangan-bayangan masa silam berkelebatan dengan cepat. Menyimburkan perasaan-perasaan yang saat itu ingin saya enyahkan cepat-cepat. Apa sesak ini? Saya terus menggigil. Megap-megap, tak tahu reaksi macam apa yang tengah terjadi pada tubuh saya. Yang saya tahu, saat itu saya hanya ingin memindahkan detak jantung saya ke dada kakek. Saya sesak, karena saya tahu takkan bisa melakukan hal itu. Karena tahu, ada rasa bersalah hinggap karena telah pergi meninggalkan kakek dalam waktu yang lama. Sesak karena saya belum sempat memberi tahu kakek bahwa tempat tertinggi di hati saya hanya untuk kakek. Lalu mulailah tangisan itu. Tak berhenti bahkan ketika saya sedang berada dalam perjalanan menuju rumah.

Saya selalu lari. Selalu mencari tempat bersembunyi. Menghindar dari apa yang bisa menyakiti saya. Saya lari tanpa ditemani kedewasaan. Saya berontak dari rasa perih yang menyiksa. Saya tak ingin mati karena patah hati. Kakek saya, orang yang banyak menyuguhkan banyak kegembiraan di hadapan saya. Saya bermain dalam ruang imajinasi yang aman dari kesakitan. Saya ditimang-timang agar cepat tenggelam dalam mimpi yang jauh dari realitas yang menyesakkan. Kakek, yang telah mengalami banyak kepahitan, tidak bersedia menularkan rasa itu pada saya. Bahkan untuk memberi saya tamparan keras mengenai bagaimana sesungguhnya kehidupan itu.

Saya hampir sampai di rumah. Kakek saya masih dibaringkan di sana, menunggu adzan dzuhur untuk dikebumikan. Tapi saya tak segera beranjak menuju ke sana. Entah mengapa, kaki saya berat melangkah. Mendadak saya ingin pergi ke pantai yang berada di dekat rumah saya. Sepi sekali rasanya. Belum banyak orang yang tiba di sana. Hanya saya dan satu-dua orang nelayan yang memperbaiki jalanya. Saat itulah, saya merasa sangat kecewa pada diri saya. Saya ingin sekali melecehkan diri saya yang tak berani menghadapi kenyataan. Kakek saya sudah meninggal. Tak ada lagi. Saya tak punya kakek lagi. Saya takut kehilangan kakek, seperti saya takut mati. Tapi kalau saya mati setidaknya saya tak perlu terus-menerus menangis hingga nafas sepenggalan. Pada akhirnya, saya tak memiliki keberanian untuk melihat wajah kakek untuk terakhir kalinya.

Saya tidak ingin mengakui kalau saya sakit. Kehilanganmu mungkin adalah salah satu kenyataan yang sulit saya terima. Saya ingin berlari sejauh-jauhnya sekali lagi. Menerobos mimpi-mimpi tentangmu yang dengan lancangnya saya rangkai sendiri tanpa persetujuanmu. Kehilanganmu adalah... Maaf, saya tak sampai hati lagi untuk menuliskannya.

Saat ini, saya sedang berusaha keras untuk tidak lari. Kalau saya lakukan itu, saya tidak akan pernah bisa mengikhlaskan diri saya untuk bahagia lagi. Karena ada sesuatu yang tertinggal dari diri saya pada masa di mana kau berada. Saya tidak akan lari. Bila benar saya sangat menyayangimu, saya akan menyalami tanganmu, menepuk pundakmu, mengucapkan selamat tinggal, dan mendoakan agar kau mendapat jalan kehidupan yang lebih baik.

Di pusara kakek, saya berjanji akan selalu berbahagia. Karena semasa hidupnya, hanya itulah yang berusaha ia lakukan, membuang jauh semua kesedihan dari diri saya. Saya ingin meminta maaf pada kakek, karena sempat menganggap diri saya begitu tidak berarti, jauh tidak bernilai dibanding orang lain. Tapi kehidupan yang diberi kakek ini, satu-satunya hal yang masih harus saya syukuri sampai sekarang. Saya telah bahagia mengenalmu, dan akan mencoba bahagia untuk seterusnya. Walau tak ada kau. Kemudian saya bergegas, meninggalkan kakek yang sudah tidur dengan damai. Saya sayang kakek.

Tempat Cukur Kakek... (3)

Waktu saya kecil, kakek selalu membawa saya ke mana-mana. Pada setiap orang yang ditemuinya, kakek selalu menceritakan tentang kebanggaannya pada saya. Saya jadi begitu terkenal dengan sebutan bocah-yang-bisa-bahasa-inggris-dan-membaca-sebelum-masuk-TK. Saya masih ingat bagaimana orang-orang itu selalu menyuruh saya mempraktikkan kemampuan saya itu. Waktu itu saya belum tahu, kalau yang saya rasakan saat itu adalah perasaan jumawa. Dada saya membusung kalau orang-orang mengatakan saya hebat. Senyum saya lebar kalau kakek menepuknepuk pundak saya dalam rangka memuji. Saya suka sekali menjadi cucu kebanggaan kakek. Dan itu pulalah yang menjadi salah satu kerinduan saya saat ini.

Kemudian tumbuh dalam diri saya suatu rasa percaya diri, yang kadang-kadang menjadi agak tersesat menjadi arogansi. Saya jadi sering membandel. Kalau disuruh-suruh ibu, saya selalu menolak dengan alasan belajar. Kalau dipanggil bapak, saya selalu mencari alasan untuk tidak segera datang. Dasar bocah angkuh, waktu kecil saya sudah merasa seolah-olah menjadi orang penting. Kadang kalau saya sedang rewel, saya mau segala permintaan saya dituruti. Sampai akhirnya saya minta untuk dimasukkan ke sekolah taman kanak-kanak. Orang tua saya tidak lantas setuju dengan alasan belum cukup umur. Saya berontak beberapa kali karena saya merasa mampu. Beberapa hari saya mencoba mengasingkan diri dari keluarga, termasuk juga dengan kakek. Setelah mandi pagi, saya biasanya langsung berangkat menuju sekolah untuk melihat anak-anak lain berdatangan. Saya iri, anak-anak itu dapat dengan bebas bermain di perosotan, ayunan, dan banyak permainan lain. Tapi yang membuat saya paling nelangsa, saya tak tahu mengapa mereka di sana terlihat begitu gembira, sementara saya tidak.

Setelah beberapa hari tak surut keinginan saya, ibu saya mulai geram juga akhirnya. Ibu menarik tangan saya dan membawa paksa saya ke rumah. Melihat saya menangis meraung-raung, kakek saya memarahi ibu saya dan menyuruhnya mendaftarkan saya sekolah. Saat itu saya pikir kata-kata kakek sungguh ajaib, mampu merubah keputusan ibu. Jadi saya bercita-cita ingin jadi seperti kakek, agar ibu mau menuruti apa kata saya.. Kalau dipikir-pikir, pikiran anak kecil memang naif sekali. Bahkan dulu saya sempat berkhayal ingin jadi penjual es krim, karena bisa menyantap es krim sepuasnya kalau dagangannya tidak laku.

Begitu masuk sekolah, ternyata keangkuhan saya makin menjadi-jadi. Saya merasa sudah menjadi orang terpandai di dunia. Apalagi ibu guru juga memuji saya. Rupanya kakek melihat aura jahat itu di dalam diri saya. Suatu malam, dalam ritual mendongeng sebelum tidur seperti biasanya, kakek menggambar seekor kancil di buku gambar saya. Gambarnya bagus sekali, semacam sketsa dengan garis yang artistik. Saya pasti ingin jadi pelukis kalau besar nanti, begitu pikir saya dulu. Kemudian kakek menceritakan tentang kisah Kancil Mencuri Timun. Dalam cerita itu, Si Kancil digambarkan sangat besar kepala. Sampai-sampai mengira ialah hewan paling hebat di antara lainnya. Saya mengangguk-angguk ketika kakek mengatakan sifat seperti itu tidak baik. Tapi kakek tidak menjawab ketika saya bertanya mengapa Kancil tidak boleh sombong? Bukankah ia memang hewan yang banyak akal? Itukan sama saja dengan percaya diri. Tapi lepas daripada itu, saya sudah mendapat intinya. Ya, saya akan menjadi anak sombong yang baik hati kepada Pak Tani.

Kini, saya ingin menjadi diri kanak-kanak saya dulu. Yang sombong. Yang percaya ia bisa melakukan apapun. Yang berdiri tegak membusungkan dada dan mengatakan bahwa saya ada untuk tujuan-tujuan yang tinggi. Saya ingin mengembalikan kecongkakan saya yang naif itu. Karena saat ini, rasa itu sudah hilang sama sekali, terganti oleh perasaan rendah diri yang saya tak mengerti sebabnya. Kadang, saya memikirkan betapa saya tidak melakukan suatu apapun yang cukup membanggakan. Saya bahkan tidak merasa memiliki apa-apa untuk dipamerkan. Andai kakek saya tidak menceritakan dongeng itu dan menumbuhsuburkan keangkuhan itu, tentu segalanya menjadi berbeda. Setidaknya sampai saya cukup percaya, saya memang ditakdirkan untuk menjalani hidup yang luar biasa. Karena Kek, cucumu ini tidak bisa menjalani titik terendah dalam hidupnya tanpa dibekali sifat Si Kancil itu.

Kalau kakek saya masih ada, saya penasaran, kisah apa yang akan diceritakannya untuk mengajari saya bagaimana caranya menatap ke depan lagi. Kalau kakek saya masih ada, saya rela tak bertumbuh dewasa.