Polemik Kontemporer




Waktu berubah, dan kita ikut berubah di dalamnya.
Kota Yogyakarta memang daerah yang istimewa. Selain menyandang predikat sebagai kota pelajar, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota budaya. Untuk mengukuhkan eksistensinya sebagai kota budaya ini, beragam festival kesenian dan kebudayaan rutin digelar di Yogyakarta. Salah satunya adalah Festival Kesenian Yogyakarta (FKY).
Ada isu yang menarik pada FKY tahun lalu. Komposisi festival kesenian yang telah dilangsungkan sejak tahun 1989 itu cenderung mengalami perubahan. Jika dahulu seni tradisi masih mengambil proporsi yang lebih dalam FKY (sekitar 70%, -Red), tahun ini kesenian-kesenian kontemporer makin mendapat tempat. Ada alasan yang melatarbelakanginya.
“Kami ingin merubah konsep FKY, agar dinamis. Kami memasukkan seni kontemporer agar tidak selalu terfokus pada seni-seni tertentu yang menjadi mayoritas di Jogja,” terang Aji Baskoro, ketua panitia FKY XIX.
Perubahan dalam FKY itu secara jelas menjelaskan bahwa saat ini kesenian kontemporer makin menjadi sorotan dalam masyarakat.
Membaca Kebudayaan Kontemporer
Kesenian kontemporer merupakan himpunan bagian dari kebudayaan kontemporer yang tidak sederhana. Saking kompleksnya, pemaknaan yang muncul tentangnya pun menimbulkan beragam persepsi. Meskipun begitu, tetap ada garis besar dalam mengurutkan definisi budaya kontemporer. Salah satunya dituang dalam studi kultural yang dipelopori oleh pemikir Inggris.
Stuart Hall, salah satu teoritisi budaya Inggris mengatakan bahwa diversitas, deferensiasi, mobilitas, komunikasi, dan internalisasi sedang menjadi panglima. Identitas kita, nilai pribadi, dan subjektivitas sedang mengalami proses transformasi, yang semua ini merupakan tanda bahwa kita sedang berada dalam era kehidupan baru (Giddens dalam Abdullah, 2006: 178). Pernyataan Hall tersebut banyak menjelaskan tentang karakteristik kebudayaan kontemporer, yang juga diamini oleh banyak ahli budaya lainnya. Budaya kontemporer menjadi suatu rasionalisasi budaya dalam masyarakat, yang beradaptasi terhadap perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang begitu pesat.
Kebudayaan kontemporer sebenarnya bukan mengacu pada klasifikasi budaya, namun pada pemahaman ruang dan waktu.
“Budaya itu cair. Tidak ada klasifikasi,” jelas Saut Situmorang, seniman Yogyakarta.
Saat kita berusaha membaca budaya kontemporer, terlebih dahulu kita harus memahami konteks periode waktu yang melatarinya. Budaya kontemporer yang merupakan budaya yang berlangsung saat ini, jelas berbeda dengan budaya pada masyarakat lampau. Prof Dr Irwan Abdullah, dalam buku “Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan”, mengatakan bahwa suat periode sejarah yang berganti di suatu tempat tidak hanya mengubah waktu itu sendiri. Tetapi juga mengubah ruang, karena perbedaan waktu merupakan penunjuk dari ciri ruang yag berbeda.
“Kontemporer itu kebudayaan yang tidak berakar pada sejarah masyarakat dulu,” papar Tetet, pelatih UKM Swagayugama, lulusan D3 Pariwisata angkatan 1998.
Ruang-ruang kebudayaan kontemporer pun berbeda dengan kebudayaan tradisional yang biasanya berbentuk paguyuban dan sanggar. Budaya kontemporer tidak terbatasi oleh ide maupun ruang. Pelakunya dapat mengaplikasikan dan mengembangkan budaya kontemporer di mana saja dan kapan saja.
“Tidak ada kantong budaya dalam budaya kontemporer. Kantong budaya hanya istilah yang diciptakan pemerintahan orde baru agar dapat mengontrol kebudayaan,” tandas Saut Situmorang. Tetet pun tak kalah mengomentari kantong budaya dalam budaya kontemporer, “Budaya kontemporer itu penuh improvisasi, tidak terbatas pada sesuatu, dan hanya dinikmati pada saat itu saja.”
Kontemporer a la Indonesia
Dalam perkembangannya di Indonesia, kebudayaan kontemporer seringkali dibandingkan dan diadu dengan budaya tradisional Indonesia. Budaya kontemporer dianggap budaya asing yang tidak mengandung unsur kedekatan dengan masyarakat Indonesia. Budaya kontemporer merupakan artefak-artefak yang muncul dari proses imitasi terhadap budaya masyarakat lain, khususnya dari Barat. Proses terbentuknya budaya kontemporer ini tidak lepas dari desakan globalisasi. Ketiaadaan batasan global cenderung melemahkan ikatan tradisional masyarakat Indonesia. Hal ini memungkinkan mereka untuk berekspresi lebih luas dalam otonomi yang lebih besar. Dalam hal ini pengaruh-pengaruh global telah mampu memutasi budaya dan melahirkan berbagai bentuk diferensiasi budaya.
Namun demikian, perubahan ini tidak hanya terjadi akibat desakan globalisasi saja tetapi juga akibat proses perubahan alami yang terjadi dari dalam kebudayaan dan masyarakat itu sendiri. Perubahan internal dalam kebudayaan mampu menimbulkan reaksi-reaksi yang selanjutnya membentuk tatanan baru yang dianggap lebih sesuai. Di sinilah budaya kontemporer ada dan mengusung prinsip nilai-nilai dari luar yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat Indonesia sebelumnya.
Namun jika diamati, ada beberapa kemiripan pada pola dan elemen antara budaya kontemporer dengan budaya tradisional. Budaya tradisional dan kontemprer tidak bisa begitu saja dibedakan secara hitam dan putih. Ada relasi unik di antara dua kebudayaan itu. Misalnya dapat dilihat dari perbandingan produk dua kebudayaan itu. Pada budaya tradisional, batik dikenal sebagai salah satu produk keseniannya. Batik pada dasarnya merupakan seni menggambar pola pada kain. Pada budaya kontemporer pun juga terdapat seni menggambar, yaitu mural. Hanya saja pada mural, media yang digunakan berbeda, yakni dinding. Penemuan kemiripan itu kemudian menimbulkan dugaan bahwa budaya-budaya yang ada sekarang, sebenarnya tidak ada yang baru.
“Budaya itu tidak ada yang baru, cuma pengelolaannya saja yang berbeda,” terang Santya.
Kemiripan antara dua produk kebudayaan itu memang tidak mutlak. Ada beberapa aspek yang sangat berbeda. Misalnya pada latar belakang sejarah dan orientasi. Namun hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa dua kebudayaan itu dibentuk oleh masyarakat yang sama. Karena diciptakan oleh pelaku yang sama, maka wajar saja ada unsur kemiripan pada dua kebudayaan itu.
Lahir dari Subordinasi
Meski kita dapat menemukan kemiripan pada kebudayaan tradisional dan kotemporer, namun perbedaan di antaranya justru mengambil proporsi yang besar. Perbedaan antara kedua kebudayaan itu sangat terlihat pada dinamika dan posisi subjek kebudayaan dalam masyarakat sosial.
Kebudayaan menurut Abdullah terbentuk tidak lain menjadi ideologi yang melayani kepentingan-kepentingan tertentu. Ketika tidak semua kepentingan mampu terakomodasi, maka situasi dominasi dan subordinasi tidak mampu terhindari. Pada posisi ini, kebudayaan kontemporer lahir oleh masyarakat yang merasa tidak terwakili dalam kebudayaan tradisional, yaitu kaum muda. Kebudayaan kontemporer timbul dari keinginan kaum muda untuk mencari ruang baru yang tidak disediakan oleh budaya tradisi yang mendominasi. Sementara budaya tradisi telah menjadi nilai-nilai general, kaum muda malah memperlihatkan praktik sosial yang justru mengkreasikan nilai baru dalam masyarakat. Kaum muda memunculkan budaya kontemporer untuk “menolak” dominasi kebudayaan yang ada.
’Menolak’ hanyalah istilah untuk menunjukkan kondisi kaum muda yang kebanyakan memang telah jauh dari nilai-nilai umum yang telah terlebih dahulu disepakati. Kaum muda merupakan bagian masyarakat yang sedang mengalami frase hidup yang unik. Kaum muda sebagai karakter yang terus berdinamika, dan selalu memunculkan kebaruan dan kreasi dari nilai yang sebelumnya ada di masyarakat. Namun kadang kala, nilai-nilai baru yang tercipta oleh kaum muda (termasuk budaya kontemporer), tidak dapat diterima secara utuh oleh masyarakat umum. Hal itu berkaitan dengan nilai yang telah menjadi norma yang telah mengakar di masyarakat. Oleh karena itu, budaya kontemporer menjadi salah satu cara untuk menegosiasikan nilai-nilai yang mereka usung kepada masyarakat luas.
Dari sinilah sebuah kepekaan menjadi sangat diperlukan untuk melihat budaya kontemporer sebagi sebuah budaya yang utuh dan bukan sesuatu yang termarginalkan. Terlebih saat budaya kontemporer harus dihadapkan pada anggapan umum bahwa budaya adiluhung sebagai sesuatu yang lebih luhur. Kemampuan untuk melihat kedua budaya tersebut secara lebih utuh akan memunculkan penilaian bahwa tidak ada dari salah satunya yang lebih benar atau salah. “Biarkan budaya berkembang sesuai zamannya,” ujar DR. G.R. Lono Simatupang dosen Antropologi UGM.
Ekspresi nilai, ide, maupun ekspresi simbolis yang didengungkan budaya kontemporer timbul di tengah situasi budaya adiluhung yang tidak memberi ruang. Adalah sebuah kesalahan apabila budaya tradisional yang adiluhung dianggap sebagai sesuatu yang lebih luhur. Sebab norma-norma maupun ukuran yang ada padanya disusun secara sepihak.
Irwan Abdullah juga mengatakan berbagai praktik kehidupan kaum muda menunjukkan reaksi atau protes sosial terhadap ukuran-ukuran baku dan nilai-nilai yang berlaku. Hal itu merupakan usaha aktif mereka dalam menegosiasikan ideologi yang mereka miliki.
Masyarakat Kontemporer
Proses negosiasi yang dilakukan kaum muda itu tidak langsung menyentuh semua aspek secara menyeluruh, namun secara bertahap. Tidak ada pemaksaan dalam menyampaikan konsep budaya kontemporer agar dapat menjadi bagian dari masyarakat. Oleh karenanya, secara perlahan budaya kontemporer telah merasuk pada masyarakat kita dewasa ini. Irwan Abdullah melihat perubahan kontemporer ini telah terjadi dengan kecepatan tinggi dan pengaruhnya dapat ditemukan di hampir semua aspek kehidupan.
“Dinamika budaya kontemporer itu lebih cepat dibanding dengan budaya tradisi. Perkembangannya mengikuti kebutuhan masyarakat sekarang,” imbuh Saut Situmorang.
Masyarakat dulu yang sifatnya cenderung homogen dan dapat diprediksi (predictable society), kini telah banyak bergeser dan memunculkan masyarakat baru (masyarakat kontemporer). Masyarakat kontemporer ini menjadi otonom dan mulai lepas dari ikatan-ikatan tradisional. Relasi di antara masyarakat kontemporer pun cenderung lebih longgar.
Banyak yang berpendapat bahwa masyarakat sekarang lebih individualis dan materialis. Karakter masyarakat kontemporer yang demikian ini sekaligus menjadi kritik tersendiri dari produk budaya baru yang mereka usung. Salah satu motif yang bergulir mengenai budaya kontemporer adalah komersialisasi budaya. Logika yang dipakai saat ini adalah budaya tidak lagi menjadi sesuatu yang dimiliki untuk kebutuhan sendiri. Artinya bahwa pengembangan maupun pemeliharaan suatu budaya tidak lagi sebagai sebuah ekspresi nilai, ide maupun simbolis dari sebuah masyarakat.
Pemeliharaan budaya tidak lagi digunakan untuk melihat siapa sebenarnya kita, tetapi orientasi lebih kepada aspek ekonomi. Menurut Lono Simatupang, kecenderungan saat ini adalah budaya tidak lagi dipandang sebagai kultur yang mampu merefleksikan budaya suatu zaman dan sejarah diri, tetapi budaya cenderung dipelihara karena nilai jualnya. Kefanatikan yang terjadi di antara pelaku budaya, baik tradisional maupun kontemporer, bisa jadi merupakan persaingan kepentingan, terutama kepentingan ekonomi. Oleh karenanya, kalaupun ada wacana yang memperdebatkan budaya mana yang lebih baik dan luhur, hal itu tidak menjadi relevan lagi. Permasalahan yang paling mendesak untuk dipahami yaitu bagaimana kita tidak lagi mengagungkan budaya berdasar dari tempatnya berasal, tapi bagaimana budaya itu dimiliki untuk lantas dicintai.