Mencari Eksistensi

perempuan..perempuan..


---Memahami bagaimana wanita dan pria begitu berbeda dalam konteks relasi sosial, politik, dan hukum, jika perbedaan justru dapat dipahami secara nyata melalui perbandingan biologis.---

Isu gender seolah menjadi makanan sehari-hari dalam masyarakat kontemporer seperti saat ini. konsep kesetaraan, dalam hal apapun, sampai pada suatu bentuk eksklusivitas, tak sekadar jajaran mimpi-mimpi utopis yang hanya dapat dibicarakan. memperjuangkan kesetaraan gender bukan berarti melangkahi hukum Tuhan. bikankah semua orang sama di mata Tuhan, kecuali imannya??

Namun mengapa, entah siapa lagi yang menyadari, isu gender tak pernah keluar dari forum-forum diskusi, obrolan warung kopi, ataupun menjadi suatu bentuk komodifikasi. ataukah aku, perempuan, belim melihat semuanya?

---Kesetaraan adalah sistem yang berjalan seimbang, antara hak dan kewajiban. antara ingat dan lupa. khilaf dan bajik. seseorang harus menuai respon sesuai apa yang dilakukannya. tidak peduli ia punya penis atau vagina---

Polemik Kontemporer




Waktu berubah, dan kita ikut berubah di dalamnya.
Kota Yogyakarta memang daerah yang istimewa. Selain menyandang predikat sebagai kota pelajar, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota budaya. Untuk mengukuhkan eksistensinya sebagai kota budaya ini, beragam festival kesenian dan kebudayaan rutin digelar di Yogyakarta. Salah satunya adalah Festival Kesenian Yogyakarta (FKY).
Ada isu yang menarik pada FKY tahun lalu. Komposisi festival kesenian yang telah dilangsungkan sejak tahun 1989 itu cenderung mengalami perubahan. Jika dahulu seni tradisi masih mengambil proporsi yang lebih dalam FKY (sekitar 70%, -Red), tahun ini kesenian-kesenian kontemporer makin mendapat tempat. Ada alasan yang melatarbelakanginya.
“Kami ingin merubah konsep FKY, agar dinamis. Kami memasukkan seni kontemporer agar tidak selalu terfokus pada seni-seni tertentu yang menjadi mayoritas di Jogja,” terang Aji Baskoro, ketua panitia FKY XIX.
Perubahan dalam FKY itu secara jelas menjelaskan bahwa saat ini kesenian kontemporer makin menjadi sorotan dalam masyarakat.
Membaca Kebudayaan Kontemporer
Kesenian kontemporer merupakan himpunan bagian dari kebudayaan kontemporer yang tidak sederhana. Saking kompleksnya, pemaknaan yang muncul tentangnya pun menimbulkan beragam persepsi. Meskipun begitu, tetap ada garis besar dalam mengurutkan definisi budaya kontemporer. Salah satunya dituang dalam studi kultural yang dipelopori oleh pemikir Inggris.
Stuart Hall, salah satu teoritisi budaya Inggris mengatakan bahwa diversitas, deferensiasi, mobilitas, komunikasi, dan internalisasi sedang menjadi panglima. Identitas kita, nilai pribadi, dan subjektivitas sedang mengalami proses transformasi, yang semua ini merupakan tanda bahwa kita sedang berada dalam era kehidupan baru (Giddens dalam Abdullah, 2006: 178). Pernyataan Hall tersebut banyak menjelaskan tentang karakteristik kebudayaan kontemporer, yang juga diamini oleh banyak ahli budaya lainnya. Budaya kontemporer menjadi suatu rasionalisasi budaya dalam masyarakat, yang beradaptasi terhadap perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang begitu pesat.
Kebudayaan kontemporer sebenarnya bukan mengacu pada klasifikasi budaya, namun pada pemahaman ruang dan waktu.
“Budaya itu cair. Tidak ada klasifikasi,” jelas Saut Situmorang, seniman Yogyakarta.
Saat kita berusaha membaca budaya kontemporer, terlebih dahulu kita harus memahami konteks periode waktu yang melatarinya. Budaya kontemporer yang merupakan budaya yang berlangsung saat ini, jelas berbeda dengan budaya pada masyarakat lampau. Prof Dr Irwan Abdullah, dalam buku “Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan”, mengatakan bahwa suat periode sejarah yang berganti di suatu tempat tidak hanya mengubah waktu itu sendiri. Tetapi juga mengubah ruang, karena perbedaan waktu merupakan penunjuk dari ciri ruang yag berbeda.
“Kontemporer itu kebudayaan yang tidak berakar pada sejarah masyarakat dulu,” papar Tetet, pelatih UKM Swagayugama, lulusan D3 Pariwisata angkatan 1998.
Ruang-ruang kebudayaan kontemporer pun berbeda dengan kebudayaan tradisional yang biasanya berbentuk paguyuban dan sanggar. Budaya kontemporer tidak terbatasi oleh ide maupun ruang. Pelakunya dapat mengaplikasikan dan mengembangkan budaya kontemporer di mana saja dan kapan saja.
“Tidak ada kantong budaya dalam budaya kontemporer. Kantong budaya hanya istilah yang diciptakan pemerintahan orde baru agar dapat mengontrol kebudayaan,” tandas Saut Situmorang. Tetet pun tak kalah mengomentari kantong budaya dalam budaya kontemporer, “Budaya kontemporer itu penuh improvisasi, tidak terbatas pada sesuatu, dan hanya dinikmati pada saat itu saja.”
Kontemporer a la Indonesia
Dalam perkembangannya di Indonesia, kebudayaan kontemporer seringkali dibandingkan dan diadu dengan budaya tradisional Indonesia. Budaya kontemporer dianggap budaya asing yang tidak mengandung unsur kedekatan dengan masyarakat Indonesia. Budaya kontemporer merupakan artefak-artefak yang muncul dari proses imitasi terhadap budaya masyarakat lain, khususnya dari Barat. Proses terbentuknya budaya kontemporer ini tidak lepas dari desakan globalisasi. Ketiaadaan batasan global cenderung melemahkan ikatan tradisional masyarakat Indonesia. Hal ini memungkinkan mereka untuk berekspresi lebih luas dalam otonomi yang lebih besar. Dalam hal ini pengaruh-pengaruh global telah mampu memutasi budaya dan melahirkan berbagai bentuk diferensiasi budaya.
Namun demikian, perubahan ini tidak hanya terjadi akibat desakan globalisasi saja tetapi juga akibat proses perubahan alami yang terjadi dari dalam kebudayaan dan masyarakat itu sendiri. Perubahan internal dalam kebudayaan mampu menimbulkan reaksi-reaksi yang selanjutnya membentuk tatanan baru yang dianggap lebih sesuai. Di sinilah budaya kontemporer ada dan mengusung prinsip nilai-nilai dari luar yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat Indonesia sebelumnya.
Namun jika diamati, ada beberapa kemiripan pada pola dan elemen antara budaya kontemporer dengan budaya tradisional. Budaya tradisional dan kontemprer tidak bisa begitu saja dibedakan secara hitam dan putih. Ada relasi unik di antara dua kebudayaan itu. Misalnya dapat dilihat dari perbandingan produk dua kebudayaan itu. Pada budaya tradisional, batik dikenal sebagai salah satu produk keseniannya. Batik pada dasarnya merupakan seni menggambar pola pada kain. Pada budaya kontemporer pun juga terdapat seni menggambar, yaitu mural. Hanya saja pada mural, media yang digunakan berbeda, yakni dinding. Penemuan kemiripan itu kemudian menimbulkan dugaan bahwa budaya-budaya yang ada sekarang, sebenarnya tidak ada yang baru.
“Budaya itu tidak ada yang baru, cuma pengelolaannya saja yang berbeda,” terang Santya.
Kemiripan antara dua produk kebudayaan itu memang tidak mutlak. Ada beberapa aspek yang sangat berbeda. Misalnya pada latar belakang sejarah dan orientasi. Namun hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa dua kebudayaan itu dibentuk oleh masyarakat yang sama. Karena diciptakan oleh pelaku yang sama, maka wajar saja ada unsur kemiripan pada dua kebudayaan itu.
Lahir dari Subordinasi
Meski kita dapat menemukan kemiripan pada kebudayaan tradisional dan kotemporer, namun perbedaan di antaranya justru mengambil proporsi yang besar. Perbedaan antara kedua kebudayaan itu sangat terlihat pada dinamika dan posisi subjek kebudayaan dalam masyarakat sosial.
Kebudayaan menurut Abdullah terbentuk tidak lain menjadi ideologi yang melayani kepentingan-kepentingan tertentu. Ketika tidak semua kepentingan mampu terakomodasi, maka situasi dominasi dan subordinasi tidak mampu terhindari. Pada posisi ini, kebudayaan kontemporer lahir oleh masyarakat yang merasa tidak terwakili dalam kebudayaan tradisional, yaitu kaum muda. Kebudayaan kontemporer timbul dari keinginan kaum muda untuk mencari ruang baru yang tidak disediakan oleh budaya tradisi yang mendominasi. Sementara budaya tradisi telah menjadi nilai-nilai general, kaum muda malah memperlihatkan praktik sosial yang justru mengkreasikan nilai baru dalam masyarakat. Kaum muda memunculkan budaya kontemporer untuk “menolak” dominasi kebudayaan yang ada.
’Menolak’ hanyalah istilah untuk menunjukkan kondisi kaum muda yang kebanyakan memang telah jauh dari nilai-nilai umum yang telah terlebih dahulu disepakati. Kaum muda merupakan bagian masyarakat yang sedang mengalami frase hidup yang unik. Kaum muda sebagai karakter yang terus berdinamika, dan selalu memunculkan kebaruan dan kreasi dari nilai yang sebelumnya ada di masyarakat. Namun kadang kala, nilai-nilai baru yang tercipta oleh kaum muda (termasuk budaya kontemporer), tidak dapat diterima secara utuh oleh masyarakat umum. Hal itu berkaitan dengan nilai yang telah menjadi norma yang telah mengakar di masyarakat. Oleh karena itu, budaya kontemporer menjadi salah satu cara untuk menegosiasikan nilai-nilai yang mereka usung kepada masyarakat luas.
Dari sinilah sebuah kepekaan menjadi sangat diperlukan untuk melihat budaya kontemporer sebagi sebuah budaya yang utuh dan bukan sesuatu yang termarginalkan. Terlebih saat budaya kontemporer harus dihadapkan pada anggapan umum bahwa budaya adiluhung sebagai sesuatu yang lebih luhur. Kemampuan untuk melihat kedua budaya tersebut secara lebih utuh akan memunculkan penilaian bahwa tidak ada dari salah satunya yang lebih benar atau salah. “Biarkan budaya berkembang sesuai zamannya,” ujar DR. G.R. Lono Simatupang dosen Antropologi UGM.
Ekspresi nilai, ide, maupun ekspresi simbolis yang didengungkan budaya kontemporer timbul di tengah situasi budaya adiluhung yang tidak memberi ruang. Adalah sebuah kesalahan apabila budaya tradisional yang adiluhung dianggap sebagai sesuatu yang lebih luhur. Sebab norma-norma maupun ukuran yang ada padanya disusun secara sepihak.
Irwan Abdullah juga mengatakan berbagai praktik kehidupan kaum muda menunjukkan reaksi atau protes sosial terhadap ukuran-ukuran baku dan nilai-nilai yang berlaku. Hal itu merupakan usaha aktif mereka dalam menegosiasikan ideologi yang mereka miliki.
Masyarakat Kontemporer
Proses negosiasi yang dilakukan kaum muda itu tidak langsung menyentuh semua aspek secara menyeluruh, namun secara bertahap. Tidak ada pemaksaan dalam menyampaikan konsep budaya kontemporer agar dapat menjadi bagian dari masyarakat. Oleh karenanya, secara perlahan budaya kontemporer telah merasuk pada masyarakat kita dewasa ini. Irwan Abdullah melihat perubahan kontemporer ini telah terjadi dengan kecepatan tinggi dan pengaruhnya dapat ditemukan di hampir semua aspek kehidupan.
“Dinamika budaya kontemporer itu lebih cepat dibanding dengan budaya tradisi. Perkembangannya mengikuti kebutuhan masyarakat sekarang,” imbuh Saut Situmorang.
Masyarakat dulu yang sifatnya cenderung homogen dan dapat diprediksi (predictable society), kini telah banyak bergeser dan memunculkan masyarakat baru (masyarakat kontemporer). Masyarakat kontemporer ini menjadi otonom dan mulai lepas dari ikatan-ikatan tradisional. Relasi di antara masyarakat kontemporer pun cenderung lebih longgar.
Banyak yang berpendapat bahwa masyarakat sekarang lebih individualis dan materialis. Karakter masyarakat kontemporer yang demikian ini sekaligus menjadi kritik tersendiri dari produk budaya baru yang mereka usung. Salah satu motif yang bergulir mengenai budaya kontemporer adalah komersialisasi budaya. Logika yang dipakai saat ini adalah budaya tidak lagi menjadi sesuatu yang dimiliki untuk kebutuhan sendiri. Artinya bahwa pengembangan maupun pemeliharaan suatu budaya tidak lagi sebagai sebuah ekspresi nilai, ide maupun simbolis dari sebuah masyarakat.
Pemeliharaan budaya tidak lagi digunakan untuk melihat siapa sebenarnya kita, tetapi orientasi lebih kepada aspek ekonomi. Menurut Lono Simatupang, kecenderungan saat ini adalah budaya tidak lagi dipandang sebagai kultur yang mampu merefleksikan budaya suatu zaman dan sejarah diri, tetapi budaya cenderung dipelihara karena nilai jualnya. Kefanatikan yang terjadi di antara pelaku budaya, baik tradisional maupun kontemporer, bisa jadi merupakan persaingan kepentingan, terutama kepentingan ekonomi. Oleh karenanya, kalaupun ada wacana yang memperdebatkan budaya mana yang lebih baik dan luhur, hal itu tidak menjadi relevan lagi. Permasalahan yang paling mendesak untuk dipahami yaitu bagaimana kita tidak lagi mengagungkan budaya berdasar dari tempatnya berasal, tapi bagaimana budaya itu dimiliki untuk lantas dicintai.

Polisi....duh...


yang membedakan polisi dan preman...

1. duit jarahannya (gedean polisi daripada preman)

2. seragamnya (lebih keren kostumnya preman)

3. otaknya (preman gak bisa berpikir seperti polisi, tapi polisi bisa berpikir seperti preman)


Ups... Maaf Pak Polisi (tidur!)

Tiga Hari Mencari Cinta

Lagi, dan lagi! Waktu terus berjalan, dan sepertinya catatan keabnormalan saya semakin bertambah panjang. Sebenarnya malu juga mengakui keidiotan diri sendiri. Tapi tetap saja, sejarah harus tetap terdokumentasi meski pahit dan getir terasa. (PS: bagi pembaca, harap maklum. Percayalah, saya sudah biasa diolok-olok!)

Kalau mau berbicara soal pengalaman cinta, agak ragu juga kalau mesti menjadi informasi publik. Saya menganggap pembicaraan tentang masalah cinta, masih menjadi sesuatu yang sakral. Tidak sembarang orang mampu untuk melakukannya. Tidak sembarang suasana cocok untuk melakukannya. Dan tidak sembarang sinetron persis menggambarkannya. Tapi kali ini saya berpikir berbeda. Bagaimana kalau pengalaman kita ternyata bisa juga dijadikan referensi orang lain untuk bersikap secara benar dan tepat? Tentu harga yang pantas bagi saya untuk (akhirnya!) menceritakan kisah saya -yang mungkin saja nantinya akan berakibat pada menurunnya ‘pasaran’ saya. Hehehe…

Semua berawal beberapa bulan yang lalu, ketika panitia seminar salah satu media online mengumumkan pendaftaran lomba. Hadiah yang ditawarkan cukup menggiurkan bagi mahasiswa pas-pasan seperti saya. Sumpah, saya nggak akan misuh-misuh seperti ini kalau seandainya saja lombanya bukan ehem…ehem… PENULISAN PENGALAMAN CINTA. OMGPDA (Oh-My-God-Plis-Dong-Ah!), Sepertinya yang perlu saya terangkan adalah, (Pfiuhh!), saya adalah ‘orang’ itu. OK! Bersiaplah! Saya termasuk salah satu dari cewek umur 18 tahun yang nggak punya referensi di dunia percintaan. (Ya, ya, ya, kalau mau ketawa, ketawa aja. Saya udah kebal).

Tapi bukan ‘saya’ namanya kalau menyerah begitu aja tanpa mencoba barang sedikitpun. Akhirnya saya memutuskan, dengan nafas ngos-ngosan dan kepala nyaris kosong, ikut lomba penulisan “Pengalaman Cinta”. Hohoho. Sekali lagi Pengalaman Cinta. Biar dramatis sekalian.

Untuk ikut lomba itu, sudah pasti saya harus memiliki pengalaman cinta. Maaf-maaf aja, pengalaman masak saya nggak berguna di sini. Perlu ada siasat khusus dan trik jitu untuk mendapatan pengalaman cinta yang romantis seperti di film-film India favorit saya. Lantas saya langsung menyusun rencana untuk mencari cinta hanya dalam tiga hari. Kenapa tiga, bukan 30 hari? Pertanyaan bagus. Deadline pengumpulan tulisan rasanya alasan yang tepat untuk menjawabnya. Selain itu saya takut juga lho dikejar-kejar polisi, dijerat kasus pelanggaran hak cipta karena dituduh menjiplak salah satu film yang dibintangi Nirina Zubir dkk. Nanti bukannya cinta yang saya dapat, malah hotel prodeo yang saya sikat.

Sebenarnya saya agak kesulitan dalam masalah menggaet lawan jenis. Alasannya, saya punya banyak kelebihan. Lho?! Pasti bingung. Jangan berprasangka baik dulu. Maksudnya kelebihan berat badan, kelebihan dungunya, dan kelebihan beragam alternatif penyakit jiwa pilihan. Makanya saya mesti usaha ekstra keras untuk mewujudkan impian saya: get instant love.

Hari Pertama

Belum mengambil langkah. Masih bingung.

Hari Kedua

Akhirnya saya memberanikan diri membuat langkah pertama, menyiapkan perangkap untuk menjerat target pasangan saya. Hohoho (baca: ketawa setan). Satu-satunya cara yang tepat dan cepat untuk menggaet cowok adalah lewat chatting. Dipikir-pikir, kenapa nggak dari dulu aja ya saya usaha buat mencari pacar. Kan gampang. Tinggal klik-klik, siapa tahu dapat pasangan yang ‘klik’ (mengutip lagu Ussy Sulistyowati). Setelah satu jam berada di warnet dan menghabiskan dana Rp 4 ribu, akhirnya usaha saya menuai sukses.

Berikut saya sertakan cuplikan obrolon saya dengan si target via MiRC. Saya sengaja memilih nickname seperti itu untuk memudahkan proses. Jadi jangan mencap saya norak. Saya kepepet dan dihantui tenggat waktu. Nggak ada protes.

Ce_Cari_Co : Hi,, nick qt nyambung nih. (sumpah, ini bukan saya banget!)

Co_Cari_Ce : Hi too. Ah, masa sih?! Kebetulan bgt bs jodoh. Asl pls? (Umpan tertangkap. Misi sukses!)

Ce_Cari_Co : Iya ya. Qt jodoh. 20 f yk. U? (umm, bohong dikit rasanya halal aja. Toh cuma korupsi dua tahun doang kok.)

Co_Cari_Ce : 22 m yz

Ce_Cari_Co : yz? Yahya zaini?

Co_Cari_Ce : 22 m yk

Co_Cari_Ce : bukan. Ngawur. Yogyakarta.

Ce_Cari_Co : wah, sekota dong. Deketan dong. Asyik dong. Hehehe (kesannya binal banget nggak sih?! Kok saya berasa aneh gitu ya)

Co_Cari_Ce : yup. Janjian ketemuan yuk. Terserah aja kapan.

Ce_Cari_Co : OK. Tapi km orangnya gimana sih? Penasaran nih.

Co_Cari_Ce : Gimana y? Biasa aja kok. Tapi yah masih lumayanlah. Kalo km sendiri gmn?

Ce_Cari_Co : Wah, merendah nih? Gw orangnya aneh lho.

Co_Cari_Ce : Aneh gimana?

Ce_Cari_Co : Iya. Gw suka pake tank top

Co_Cari_Ce : Trus,,,

Ce_Cari_Co : Rok mini,,,

Co_Cari_Ce : Hm,,

Ce_Cari_Co : Lari-lari gak pake sandal. Hehehe.

Co_Cari_Ce : Dasar. Yang beneran napa. L

Ce_Cari_Co : Ya sorry. Becanda. Gw sih standar aja kok orangnya. Selevel ama distro gitu

Co_Cari_Ce : Distro?

Ce_Cari_Co : Dian sastro

Co_Cari_Ce : Hahaha,,,

Ce_Cari_Co : OK. Jadi g ketemuannya? Besok? (Dikejar deadline nih)

Co_Cari_Ce : Jadi. Km lucu juga. Gimana kalau di sup buah deket UGM?

Ce_Cari_Co : UGM? Jangaaaan!!! Tinggian dikit dong (Mampus! Dia ngajakin di kampus saya. bisa kepergok serdadu saya nih)

Co_Cari_Ce : Hehehe. Aq Cuma becanda kok. Kafe C****t besok jam 10 pagi. gmn?

Ce_Cari_Co : OK. Gw tau kok. C u there.

Co_Cari_Ce : Mmmuach,,, (Gile! Baru kenalan udah maen say kiss aja)

Co_Cari_Ce has signed out

NB: Ada beberapa dialog yang gw sensor demi menjaga kehormatan gw sepenuhnya. Untuk pengertiannya, diucapkan terima kasih.

Hari Ketiga

Inilah saya. Berdiri di depan pintu kafe dengan dandanan lengkap terkesan menor. Rasanya saya lebih mirip Anissa Bahar daripada Dian Sastro. Mampus! Ah, biarin aja. Saya sengaja terlambat setengah jam biar nggak terkesan agresif. Biar gimana pun, harga saya tinggi, coy.

Dag dig dug

“Hai, cowok cari cewek?” saya bertanya pada satu-satunya lelaki yang ada di situ karena dengan tololnya saya lupa menanyakan namanya kemarin.

“Cewek cari cowok?” mungkin sekarang penjaga kafe lagi bertanya-tanya dalam hatinya saking baru pertama kali nonton dua orang yang baru pertama kali ketemu dan langsung heboh. Masalahnya, kami terlihat seperti dua orang yang melakukan transaksi ‘plus-plus’. Edan!

Saat tahu sosok “cowok_cari_cewek” yang sebenarnya, lutut saya langsung terasa lemas. Tiba-tiba semua jadi blank. Langit serasa runtuh. Bumi ikut bergoyang. Cucian pun belum kering (maksud loe??!!). Hm, bukannya saya sok jual mahal atau berasa nggak perlu lelaki, tapi kenyataan yang saya harapkan tidak seperti ini. Bayangan yang ada di kepala saya, cowok_cari_cewek adalah lelaki yang rupawan, tampan, serta hartawan. Lha, aslinya malah beda 180 derajat.

Hm, Cowok yang saya temui namanya Hen-tiit- (kena sensor). Bukan masalah seandainya Hen-tiit- yang itu tidak berpenampilan seperti romusha habis ditabok Belanda. Bukan masalah seandainya saya tidak terlihat begitu terpesona padanya (penting untuk diingat: saya takjub! Bukan terpesona). Dan bukan masalah jika kenyataannya bukan saya yang kena tipu daya maniak chatting tukang bohong bertampang hancur. Idih, idih, darah kotor!

Sepertinya saya memang ditakdirkan untuk menjadi seorang yang idiot untuk masalah cinta. Memang, saya sadari betapa naifnya saya. Buat apa mencari-cari cinta. Kemudian merendahkan diri saya sendiri.

Saya pikir, cinta itu bisa dengan mudahnya digapai. Hanya perlu trik-trik tertentu dan saya akan mendapatkan apa yang saya inginkan. Ternyata saya benar-benar nihil soal cinta. Sebenarnya apa yang perlu saya lakukan hanya menunggu, dan cinta akan datang dengan sendirinya. Tak peduli apakah saya berpengalaman atau tidak. Bodohnya, baru sekarang saya sadar. Tiba-tiba saya teringat perkataan teman saya yang pasti dikutipnya dari perkataan seseorang yang bijak.

Lebih baik menunggu orang yang kamu inginkan daripada berjalan bersama orang ‘yang tersedia’. Lebih baik menunggu orang yang tepat daripada mencomot orang di sekelilingmu untuk dijadi-jadikan cinta. Hidup ini terlalu singkat untuk dijalani bersama orang yang salah.

Pada akhirnya toh saya tidak mendapatkan dua-duanya: hadiah yang menggiurkan dan cinta yang didambakan. Microsoft Word bertitle “Lomba Penulisan Pengalaman Cinta” masih terpampang kosong di depan saya. Tak ada kisah yang pantas untuk diceritakan.

Mencari Hak untuk Hidup


Sementara banyak negara lain beramai-ramai menghapuskan hukuman mati dari sistem yuridiksinya, Indonesia masih mengesahkan adanya vonis hukuman mati. Apakah ‘kanibalisme yang terlegitimasi’ masih akan terus berlangsung di negara ini?


Amrozi, pelaku kasus pengeboman Bali yang divonis mati oleh pengadilan, tampak tertawa-tawa ketika tampil dalam tayangan infotainment yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta. Seakan tak ada beban atau rasa khawatir untuk menghadapi eksekusi yang akan dijalaninya. Padahal, hukuman mati seolah menjadi momok paling menakutkan bagi terpidana lainnya.

Amrozi merupakan salah satu dari sekian banyak terpidana yang mendapat vonis hukuman mati. Sejak 1978 hingga sekarang, tercatat 38 orang yang dieksekusi karena putusan pengadilan di Indonesia. Sebagian besar terpidana dihukum mati pada pemerintahan Orde Baru karena masalah politik. Namun sekarang, hukuman mati banyak diterapkan untuk pelanggaran UU Narkotika, UU Antikorupsi, UU Antiterorisme, dan UU Pengadilan HAM.

Hukuman mati di Indonesia sendiri mengikuti sistem Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan peninggalan Belanda. Jika ditilik secara hukum, vonis mati tidak sesuai dengan amandemen yang tersurat dalam UUD 1945 pasal 28 ayat 1 yang di dalamnya menyatakan hak untuk hidup. Undang-undang tersebut didukung oleh UU No 12/1995 yang menyebutkan fungsi lembaga permasyarakatan adalah pembinaan ke arah perilaku yang lebih baik bukan membinasakan, sehingga hukuman mati secara legal tidak dibenarkan. Namun sampai saat ini, terdapat 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati.

Donny Gahral Adian, dosen Filsafat UI, dalam artikelnya mengatakan, “Kontradiksi di antara undang-undang tersebut menunjukkan inkonsistensi dalam sistem hukum kita.” Kontradiksi mengenai hukuman mati tidak hanya terdapat pada sistem hukum Indonesia. Pro dan kontra yang datang dari masyarakat masih menyelimuti isu vonis mati ini. Ada pihak yang mendukung pelaksanaan hukuman mati dengan alasan tiap kejahatan yang menghilangkan nyawa orang lain, harus ditebus dengan nyawa pula. Namun ada pula pihak yang menentangnya atas dasar kemanusiaan. “Hukuman mati itu berdasar pada dendam semata. Saya rasa, kemungkinan putusan hukuman mati itu tidak objektif mengikuti hukum yang berlaku.” papar Icha, mahasiswa Universitas Gadjah Mada.

Reaksi penolakkan hukuman mati tidak hanya datang dari dalam negeri saja. Dunia internasional pun sedikit demi sedikit mendorong abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati. Sekitar 129 negara teridentifikasi telah menghapuskan praktek hukuman mati, termasuk negara-negara maju seperti Australia dan Rusia. Yang mengusik pikiran saya adalah, apakah Indonesia masih belum maju sehingga masih menerapkan hukuman mati dalam sistem peradilannya? Menjadi ironi ketika Nusakambangan, tempat Amrozi berada sekarang, memiliki slogan, “Mereka bukan penjahat. Hanya tersesat. Belum terlambat untuk bertobat.”

Bukan Ibrahim

Berapa kalipun telah aku sadari. Manusia punya pembagian peran. Ada si kaya, ada si miskin. Ada si cantik, ada kurang bagus rupanya. Berkali-kali aku pikir pun, tak mengalami perubahan pada jalan nalarku. Manusia memiliki keunikannya masing-masing. Tak perlu diragu. Ada yang beruntung, ada aku. Begitulah. Semuanya dicipta berlainan. Mungkin Yang di Atas punya tujuan khusus yang mulia. Entahlah! Apa untuk saling melengkapi, atau hanya membuat kehidupan di dunia lebih seru. Masa iya bumi yang dikatakan indah ini tak punya beragam cerita lantaran seluruh penghuninya ingin menjadi seragam: kaya sejahtera bahagia cantik langsing terhormat.

Ya, ya, ya. Mungkin di belakang dunia ini ada layar, yang menutup manakala sandiwara telah selesai. Jangan-jangan benarlah bahwa kita hanya hidup di atas pangung. Lalu siapa sutradaranya? Kok tak pernah kelihatan. Bukan, bukannya usil mempertanyakan. Aku hanya mau protes. Masalahnya, aku selalu mendapat peran terlunta-lunta. Berdiri di pojok, di bawah kaki yang mengenakan black shoes mengilap diterpa sinar lampu. Aku tak pernah keberatan. Hanya sedikit jengkel saja, Masalahnya si black shoes itu tak tahu diri. Ada orang di bawah, malah diinjak-injak. Bukannya kita sama-sama pemain? Tak ingat dia rupanya, bahwa kita digaji sama. Nantilah biar kuprotes di akhir pertunjukkan.

“Pak sutradara, tadi dia nyeleneh. Tak sesuai skenario. Hukum saja. Pakai api neraka, ya!”

Sudahlah. Buat apa repot mengadu. Aku masih dibingungkan dengan air susuku. Hendak dijual kemana. Siapa tahu di luar sana ada bayi lain yang menangis, lantaran ibunya enggan dicicipi payudaranya. Anak nakal, masih kecil sudah tahu oral seks.

Ngalah-ngalahi bapaknya saja.” Itu Jeng Parmi. Tetangga rumah kardusku. Ehm, aku kadang tertawa. Dia ngotot sekali mengatakan susunan kardus ini sebagai rumah. Dia juga menjual air susunya. Dulu sekali. Ketika akhirnya ia jenuh dengan kemiskinan ini.

Tentu saja lantas dia tak beranjak dari ketidakpunyaan yang setia menemani hidupnya. Tapi setidaknya, ia pernah terlepas sebentar dari kesusahan yang membuatnya parasnya tampak lebih tua lima tahun. Ya, sekejap saja.

Asal tahu saja, aku juga tergoda oleh cerita saat ia akhirnya dapat membuang nasi aking yang seakan melecehkan martabat kami sebagai manusia. Padahal dulu Jeng Parmi selalu berebut nasi aking denganku. Ia membeli roti cokelat yang dibungkusnya ada barcode, tanda dari supermarket. Ah, aku ingin sekali membeli barang di supermarket seperti kebanyakan orang. Tapi takut diusir satpam, dikira pengutil atau pengemis yang menganggu pemandangan pengunjung lain. Iya juga sih, pakaianku lusuh dan mukaku dekil begini.

Tapi kejayaan Jeng Parmi hanya sebentar. Dia mencak-mencak, mengamuki seluruh warga rumah kardus tatkala uang yang dipegangnya kabur kemana-mana. Orang-orang hanya tak mengerti, mengapa Jeng Parmi harus marah-marah ketika uangnya habis ia belanjakan. Bukankah ia telah terbiasa hidup dengan uang yang tak pernah mencukupi kebutuhan hidupnya itu? Namun kuduga, sepertinya ia mulai menikmati hidup enak, terjerumus oleh permainan uang.

“Sabar, Jeng. Nanti dikira kesurupan. Kasihan anakmu menangis terus,” Pelan-pelan amarahnya berusaha diredam oleh Pak RT pura-pura. Ya, RT yang hanya pura-pura. Kawasan ini memang tak terdaftar di Kelurahan. Tapi namanya saja RT, ya Rukun Tetangga. Kami hidup rukun-rukun saja di sini.

Beberapa hari kemudian, Jeng Parmi kembali dengan membawa banyak bungkusan belanjaan di tangannya. Entahlah apa lagi yang ia jual, ia tidak mempunyai air susu lagi. Tapi sejak saat itu, tangisan bayi di rumah kardusnya sontak berhenti. Tak ada yang berani mempertanyakan. Mungkin takut diamuk Jeng Parmi lagi.

Sementara itu, bayi dalam bungkusan kain jarik di sebelahku sibuk meraung-raung. Itu bayiku yang berumur dua minggu. Bukannya aku tak sayang. Hei, dia kan bayiku. Mana ada ibu yang tak mengasihi buah hatinya. Aku pun telah susah payah menahan keinginanku untuk menimangnya barang sebentar. Hanya saja, jika aku lakukan itu, aku takkan dapat menahan godaan untuk menyusuinya. Maafkan, ya Anakku! Susu ini bukan untukmu. Cukuplah kau dengan air teh tawar itu saja.

“Jeng, apa pembeli air susuku sudah ada?” tanyaku sembari menahan sakit di buah dada yang semakin membengkak karena membendung air susuku.

“Sabarlah! Nanti juga kalau sudah ada akan aku kasih tahu. Tapi ingat ya, jangan kau susui dulu bayimu. Nanti bisa habis ASI-mu.” Jeng Parmi segera mewanti-wantiku. Aku mengangguk saja. Pasrah tak berontak. Diingatkan seperti itu membuatku merasakan perih. Semakin pedih saja saat mendengar tangisan sulungku yang tak reda-reda.

Kalau sudah begini, ingin rasanya aku menyesal. Tapi apalah, penyesalan itu harusnya tak datang jika saja otakku bisa mengalahkan kerja hati yang membuat pikiranku tumpul. Penyesalan itu harusnya tiba lebih awal, sebelum semuanya terlanjur menjadi seperti ini. Hampir dua tahun yang lalu, aku masih bisa tersenyum-senyum mendengar rayuan Kurniawan yang mengajakku untuk kawin lari. Ia terlalu kere untuk berani meminangku di depan keluargaku. Bodohnya, aku mau saja. Terlihat romantis seperti di film-film India yang sering aku tonton bersama Bi Jumiati, pembantu tetangga sebelah.

Peristiwa itu serasa berjalan cepat sekali. Kurniawan membawaku ke daerah kumuh ini, yang bahkan tak punya nama. Aku masih tersenyum-senyum waktu itu, meski badanku habis tergerus kemiskinan. Tapi senyum itu tak lama tersungging di bibirku. Kurniawan menjadi gigolo dan tercantol istri pejabat yang bosan dengan suaminya yang impoten. Lalu aku meninggalkannya begitu saja. Kurniawan mengejarku. Aku lari. Kurniawan menarikku. Aku meronta. Kurniawan menjelaskan. Aku tutup kuping. Hm, kalau diingat-ingat, lucu sekali. Hidupku tenyata seperti di sinetron-sinetron yang dulu kuanggap tak masuk akal. Tapi tak cukup untuk membuatku menertawakan diri sendiri.

“Maafkan aku. Aku bekerja seperti ini untuk menghidupimu juga,”

“Aku tak marah.”

“Omong kosong. Kau marah gara-gara aku khianati?”

“Tidak. Aku hanya jijik.”

“Kau tidak mencintaiku lagi?”

“Aku takut tertular AIDS. “ Kurniawan menatapku lama sekali. Sangat lama, sampai-sampai aku baru sadar kalau matanya jereng sebelah.

Aku benar-benar tak marah padanya. Waktu itu pikiranku masih sempit. Aku ketakutan, terjangkiti penyakit berbahaya yang membuat salah satu artis favoritku mati dengan tragis di akhir sinetron. Tapi akan lain ceritanya jika aku tahu kalau Kurniawan telah semena-mena meninggalkan janin di perutku.

Ya, aku baru tahu kalau aku mengandung anak Kurniawan setelah kami berpisah. Kurniawan kabur dengan nyonya pejabat yang kalut karena dipergoki suaminya sedang berbirahi-ria dengan Kurniawan.

“Sudah. Jangan melamun begitu. Nanti kesambet setan. Sepertinya pembeli air susumu tak datang juga. Sebaiknya kau susui saja bayimu. Daripada mubazir air susumu,” Kentara sekali nada kasihan berolah dalam kata-kata Jeng Parmi yang mengunjungi rumah kardusku.

“Tapi…apa tidak apa-apa? Aku butuh sekali uang itu.”

“Sudahlah. Lekas berikan air susumu pada anakmu saja. Nanti keburu mati dia.”

Dengan langkah ragu-ragu aku melangkah menuju bayiku. Oh, alangkah malangnya. Badannya kurus, belum tersentuh oleh gizi yang menjadikannya seperti anak-anak normal. Dadaku perih, bayiku sangat lapar rupanya. Rasanya habis sudah cairan dadaku dihisapnya. Ia menyusu begitu tergesa-gesa, seakan kesempatan itu untuk yang terakhir kalinya.

“Kasihan bayi ini. Bisa mati dia kalau terus-terusan hidup bersamamu.”

Aku memandang manik mata Jeng Parmi. Bulatan hitamnya bergerak cepat, tanda ia merasa tak enak.

“Sudahlah. Kau jangan berkeras begitu. Jual saja bayimu, agar dia bisa hidup layak.”

“Maksud Jeng?”

“Yah, siapa tahu dia akan diasuh orang kaya.” Jeng Parmi melihat lagi bayiku, lebih teliti. Hendak menaksir harganya barangkali.

“Siapa yang akan membelinya?” Suaraku lebih tedengar seperti rengekan, memohon agar ada alternatif lain yang lebih baik.

“Nanti akan aku pertemukan denganmu. Siapkanlah bayimu.”

“Anak Jeng juga dijual?” Jeng Parmi tidak berkata apa-apa lagi. Aku tahu, dari senyum setengah bibirnya, ia enggan menyinggung masalah itu.

*******

Mariam, Durga, Desi Ratnasari. Siapa lagi? Sebutkan saja nama wanita yang takkan mengorbankan anaknya sepertiku. Sulungku yang terekspos tulang-belulangnya, apakah harus kugadaikan demi masa depannya? Air susuku pun baru dikecapnya, yang rasanya pun takkan tersimpan dalam memorinya.

“Bayangkan bagaimana nasib putramu kelak. Dia akan sukses, menjadi artis atau pengusaha. Dia tidak akan jadi gembel sepertimu.” Jeng Parmi berusaha meyakinkanku untuk tetap melanjutkan rencana ini. Ia telah mempersiapkan semuanya. Aku hanya harus menyerahkan anakku ke gendongannya.

Aku sama buruknya dengan Dewi Kunti. Seorang yang agung, ibu Pandawa. Namun dalam kesuciannya, ia pernah membuang bayinya demi menutup aib akibat hubungan gelapnya dengan Dewa Surya. Setidak-tidaknya aku melakukan semua ini demi melihat anak di gendonganku ini mengecap hidup yang lebih baik. Tapi tetap saja, aku seorang ibu yang tega menjual anaknya. Mengapa semua terasa menjadi jahanam. Jeng Parmi, rumah kardus, nasib.

Kulihat lagi bayiku dalam selimut lucu yang dihadiahkan Jeng Parmi, bekas anaknya dulu. Tangannya mengibas senang, berusaha menjangkau ke arahku dan memperlihatkan kegairahan yang amat sangat. Kristal air asin di pipiku menjadi saksi, betapa berharganya pengorbanan yang aku lakukan. Anakku, izinkanlah ibumu menyenandungkan lagu, meninabobokanmu untuk terakhir kalinya.

…Nina bobo… oh… nina bobo

Kalau tidak bobo digigit nyamuk…♫

Lirih. Basah. Gulita.

Gembira di Kerlap-Kerlip


Bagi sebagian mahasiswa UGM, dugem telah menjadi alternatif kegiatan selain kuliah.

Fenomena dunia gemerlap (dugem) merupakan budaya pop yang banyak berkembang di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. “Di Negara-negara maju seperti Eropa, dugem dikontrol dengan ketat oleh regulasi pemerintah. Berbeda dengan di Indonesia yang tiap harinya bisa dugem, di sana dugem dilakukan saat weekend (akhir pekan, -Red),” tutur Dosen Sosiologi, DR Heru Nugroho SU.

Jogja yang notabene merupakan kota pelajar, mengalami perkembangan dugem yang relaif pesat. Mahasiswa UGM sebagai civitas akademika Jogja, ikut berperan dalam menumbuhkembangkan budaya pop ini. Kurang lebih 12 kafe maupun klab malam yang ada di Jogja menargetkan mahasiswa sebagai pangsa pasar utamanya. Beberapa klab malam seperti Hugo’s, Liquid, Caesar, Papillon, dan TJ’s merupakan mayoritas yang dikunjungi oleh mahasiswa. Rata-rata pengunjung tempat dugem tersebut sekitar 500 orang tiap harinya. Jumlah itu dapat melonjak tinggi saat diadakan acara special, seperti konser artis ibukota ataupun peringatan hari valentine.

Menurut salah seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya UGM yang juga menyambi sebagai bartender di salah satu klab malam, mahasiswa UGM mengambil tempat sekitar 10-15% dari total pengunjung di tempat ia bekerja. Jika dikalkulasi dengan menggunakan prosentase terkecil, per harinya terdapat sekitar 50 mahasiswa UGM yang menghabiskan malamnya di tempat-tempat dugem. Jika dibandingkan dengan mahasiswa dari universitas lain, populasi mahasiswa UGM yang mengunjungi klab malam memang tidak terlalu besar. Meski begitu, jumlah tersebut juga tidak bisa dibilang sedikit.

Efek Dugem

Sebagai gaya hidup, dugem memiliki sisi positif dan negative. Segi positifnya, dugem dapat membentuk jaringan pertemanan bahkan komunitas di antara sesama dugemers (penyuka dugem). Beberapa mahasiswa mengaku, tujuan utama mereka mengunjungi klab malam bukan sekadar hura-hura dan melepas kepenatan, tapi juga mencari teman ngobrol. Ada pula yang menjadikan dugem sebagai tempat berekspresi dan berolahraga melalui joget.

Sementara kerugian yang diitmbulkan oleh dugem bisa ditilik dari segi finansial. Dugem jelas bukan aktivitas yang murah. Selain cover charge (uang masuk) yang tak bisa dikatakan murah, harga makanan dan minuman yang disajikan di klab malam dapat mencapai dua kali lipat dari harga normal. Air putih contohnya. Di klab malam, harga segelas air putih bisa mencapai kisaran Rp 18.000,-.

Selain itu, atmosfir klab malam yang tidak bebas rokok sedikit banyak dapat mengganggu kesehatan. Tempat-tempat dugem biasanya dipadati oleh para perokok. Mereka yang bukan perokok dapat menjadi perokok pasif di dalam ruangan klab. Minuman beralkohol yang juga banyak terdapat di klab malam, juga dapat mengganggu kesehatan. Terlebih lagi beberapa klab malam tidak bebas pengaruh narkoba sehingga dapat merusak kehidupan mahasiswa.

“Meskipun telah menjadi stereotype (penilaian umum, -Red), tapi pada kenyataannya memang benar bahwa dugem lebih banyak memiliki sisi negative daripada positifnya,” terang Yoseph (Sosiologi ’03).

Gaya Hidup

Di kota-kota besar lainnya, dugem lebih diarahkan sebagai tempat untuk membentuk ruang public bagi orang-orang yang sibuk dan kekurangan sarana ekspresi diri. Namun di Jogja, dugem lebih dikonsep untuk membentuk trend dan lifestyle. Maka tak heran jika ada anggapan dugem dapat menunjukkan status orang dalam bergaul. “Dugem lebih sebagai citra pergaulan. Umumnya dugem menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa yang terjangkiti budaya hedonisme (mengagungkan suatu hal, -Red) dan konsumerisme,” papar Heru Nugroho.

Fenomena dugem di kalangan mahasiswa menjelaskan beberapa hal. Pertama, manusia selalu memilih sendiri komunitasnya. Beberapa mahasiswa UGM yang menjalani dugem sebagai alternative kegiatannya, mungkin meras anyaman jika berada di lingkungan pergaulan klab malam. Kedua, apapun alternative kegiatan di luar kampus, kewajiban sebagai mahasiswa tidak akan pernah hilang begitu saja. Hingar-bingar klab malam tidak akan pernah menghilangkan tugas paper, laporan penelitian, maupun ujian yang menjadi kewajiban mahasiswa. Akan lebih bijaksana, jika alternatif di luar kampus berjalan lurus dengan kemajuan prestasi di kampus.

CERPEN

CERITA PENADAH TANGAH

Lelaki malam

Pelita yang sama.saat dulunya menerangi gelap semuku. Kemuning cahayanya tersemburat di pipi. Semakin dekat dalam panas jingganya. Tarian cahaya bergoyang ditiup bayu, seperti hatiku yang tergerak oleh kepulan asap hitamnya.

–sendiri meratapi nyala lilin yang hampir habis- (3 Maret 2007; 19:07:12)

Jalan ini terasa begitu gelap. Hanya disinari pantulan cahaya yang berasal dari gedung kampus di sisi jalan. Sementara lampu-lampu jalan yang dulu bak matahari malam, kini sengaja dipadamkan. Rupanya benar kata orang-orang, institusi pendidikan ini sedang mengencangkan ikat pinggangnya. Entah untuk alasan apa. Padahal biaya pendidikan semakin menjulang, hingga anak-anak petani hanya bisa bermimpi memasuki gedungnya dan bersalaman dengan mahasiswa baru lainnya. Padahal proyek-proyek banyak dikerjakan, hingga dosen tak lagi tertarik mengajar demi mengejar komisi.

Tempat ini sempat menjadi favoritku. Ketika aspal hitam warnanya menjadi keemasan ditimpa sinar jingga --seolah melingkupi seluruh rongga tubuhku. Tapi kini tak lagi. Aku hanya dapat menyandarkan diri barang sejenak di trotoar yang menjadi gelap dan sepi ini. Lelah rasanya setelah lama mengayuh sepeda untuk menjelajahi jalan-jalan yang asing. Sempat terpikirkan, barangkali ini bisa menjadi petualangan kecil di perantauanku ini. Seperti imajinasi kanak-kanakku yang begitu menggebu-gebu.

Namun yang kutemui hanya sederet pondokan yang diselingi warung-warung kecil. Sesekali kutemui kedai yang ramai dipadati orang. Setelah kuperhatikan, tempat seperti itu sering yang dijadikan public sphere kesukaan mahasiswa-mahasiswa sepertiku. Tetapi tetap saja tempat-tempat itu tak menawarkan kemenarikan bagiku.

Aku lebih suka di tempat ini meski di mana-mana tercium aroma tidak enak dari kandang sapi kepunyaan Fakultas Peternakan. Mungkin justru aroma khas ternak itu yang membuatku nyaman. Entahlah, aku hanya mencoba menikmati kesendirian milikku sendiri. Di tempat yang orang lain enggan untuk berlama-lama menyinggahinya.

Aku pada dasarnya bukanlah termasuk tipe pemencil yang kerap mengasingkan diri. Hanya saat ini aku sedang benar-benar butuh tempat yang tepat untuk menemukan diriku, yang hanya ada aku, pikiranku, dan permasalahanku. Aku lelah. Begitu banyak pernak-pernik tentang orang lain yang semena-mena memenuhi ruang pikirku. Bagaimana lagi. Tidak mudah bagiku untuk bersikap acuh, meskipun segala perangkat modernisme yang mengindividualisasikan masyarakat ini mengizinkanku untuk berbuat demikian. Tapi aku tak sanggup untuk tidak terluka mendengar anak-anak yang kelaparan perlahan meninggal satu persatu. Bukan karena perang atau terorisme. Bukan akibat beragam bencana yang marak terjadi. Bukan, bukan itu. Aku tak kuasa menahan perasaan bersalah, seandainya makanan yang kusantap hari ini kuberikan padanya, apakah ia akan masih hidup?

Aku ingin berbicara pada manusia lainnya, yang berpikir dan bertindak seperti manusia. Manusia, semua bicara tentang apa yang salah-apa yang benar. Mencoba terbuka dan melontar kritik. Selalu begitu, sampai kita tersadar: kita masih tetap sama. Kesalahan yang berulang dan tragedi yang terus menerus terjadi dalam sejarah ini, rasanya membuatku malu bahwa peradaban manusia juga berisi sifat kebinatangan. Nafsu serakah kekuasaan yang berujung materi, memenuhi tempat-tempat di pelosok dunia. Makin lama makin menyebar seperti virus yang tak ada antibodinya.

Hm, aneh memang. Mengapa pikiran-pikiran itu selalu berkelebat. Bahkan di tempat yang tak kondusif seperti ini. Aku sudah bersembunyi. Tapi tetap saja pikiran itu selalu dapat menemukanku, dan aku tak sanggup berlari dari derap langkahnya. Bunyi daun bambu pun ikut menakutiku---dengan desahannya yang malu-malu.

*******

Roh gunung

Pipinya semburat pink, tanda hawa dingin menyergap nadi. Sesekali ia mengencangkan dekapan tangannya. Kristal air menyelusup hingga ke balik kain. Dekat darinya, ibu bumi memanggilnya dengan separuh sekarat, membisikinya dengan nafas yang tersisa sedikit, “aku tidak pernah menjadi jahat. Mengertilah, manusia harus belajar”.

–mengangguk dan menangis dalam banjir- (17 Maret 2007; 21:08:01)

Gema dari gunung ini memanggil insting liarku untuk mendekat. Jauh lebih dekat dari yang seharusnya. Suara-suara itu terus memasuki kontrol emosiku, menimangku seperti bayi yang senang dibuai. Menembus tebing-tebing curam yang nampak bersahabat dengan kematian. Serenade roh gunung tetap bertalu-talu, merebahkanku dalam pangkuannya. Rengkuhlah aku dalam mencari kebenaranmu, Lanang. Biarkan tulang-tulang ini ikut menyokong langkahmu. Biar mata ini memperlihatkanmu sisi lain dunia. Kau begitu rapuh…

Ada yang bilang, terlalu banyak hal tak dapat dinarasikan yang abadi dalam keabstrakkannya. Ada yang berkata, perjalanan sesungguhnya harus berhenti sebelum perjalanan lain tiba untuk dimulai. Dalam perjalanan spiritualku mencari kebenaran, tiada selain kelabilan yang kutemukan. Ketidakpastian menjadi kekuatan dari kebenaran. Sulit sekali, mengejar apa yang sebenarnya tidak pernah ada. Tidak pernah ada untukku, juga untukmu. Dan aku masih tetap mengejarnya sampai ke puncak ini. Langkahku terseok-seok dan antara arahku saling bersilangan.

Kepenatan melingkupiku. Sedang aku teronggok tak berdaya. Harusnya aku segera mengakhiri perjalanan ini dan memulai yang lain, sebelum sempat tenagaku habis. Dan benarlah, energiku hilang untuk semua ini. Kemudian aku berbaring dengan otak yang masih mengepul-ngepul. Di sudut-sudut neuron dalam otakku penuh gumpalan yang melambatkan kerja. Menjadikan aku tak beranjak dari peraduanku, pangkuan kabut tipis yang membelaiku manja di tanah agung ini.

Begini masih lebih baik. Ya, tentu saja. Jauh lebih baik daripada orang-orang yang mematikan orang lainnya demi membela kebenarannya yang semu. Kebenaran yang dipoles oleh kepentingan-kepentingan entah siapa, yang diteriakkan agar menjadi hakiki. Aku telah berjalan, jauh sekali. Kemudian menemukan kebenaran-kebenaran itu dalam berbagai nama. Seringkali, ia bernama uang. Sangat berkuasa, hingga melegalkan yang sesat dan menenggelamkan yang fakir. Yang menguasainya menjadi raja, yang dikuasainya menjadi tamak. Kadang, ia bernama agama. Sepertinya Tuhan hanya satu, kemudian mengapa bingung dengan segala logika benar salah itu? Sementara kekerasan semakin nyata melatarinya, agama menjadi-jadi dalam mengklaim kebenaran.

Sekarang, ia bernama aku.

Tak ada yang membuatku takut, bahkan terhadap persepsi orang lain yang seringkali bertindak kejam. Pikiran itu menjadikanku kebenaran untukku sendiri. Aku dan realitas yang kubuat, meski dengan itu aku harus merasa terkucil. Ujian selalu dihadapi manusia karena terlalu sering menyita ruang. Aku membuat ruang sendiri, ---dan ujian semakin berat. Tebing ini seolah menjadi saksi atas pilihan yang kutempuh demi mencarimu, kebenaran. Ada kematian di bawah sana. Ada selubung di atas sana. Lalu aku melangkah ke arahmu. Kau ada di mana?

Jika kebenaran adalah ketidakpastian, lalu… kebenaran adalah Tuhan- atau aku?

********

Penadah tangan

Selamat siang. Salam sejahtera, atau apalah. Aku hanya ingin menyapamu. Tak ada maksud tertentu bagiku, meski dikiranya aku hanya memelas kasih. Ya sudahlah kalau sekiranya anggapan saudara demikian. Aku sebetulnya hanya ingin bercerita. Tentang omong kosong atau apa saja. Terserah saudara menginginkan cerita yang mana. Tapi jangan suruh aku untuk menentukan cerita yang mana. Aku sudah terbiasa untuk tidak memilih –hidupku pun bukan suatu pilihan.

Cerita-cerita ini begitu penuh berdesakan di memoriku. Menunggu momen-momen yang tepat untuk dikeluarkan. Mungkin juga menunggu saudara, yang mau menyisihkan waktu saudara yang selalu bergerak cepat. Sampai-sampai aku hanya terlihat seperti polisi tidur di tengah leretan kendaraan yang dipacu kencang.

Pilihlah satu cerita, berisi rangkaian kisah nyata atau sekadar cuplikan cerita yang kucomot dari imajiku. Pokoknya akan kudongengkan agar kau mengerti apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan kita, manusia. Agar aku dapat menemukan kembali wajah manusia dalam peradaban yang makin menggila ini.

Mintalah satu cerita dengan tokoh dan latar sekehendakmu. Apakah tentang budak akal dan hamba logika. Apapun akan aku narasikan. Kau paham, aku pun turut menggulirkan wacana tentang kehidupan, yang dibingkai indah dengan model macam-macam. Ada percintaan, ikatan, perjanjian, dan segalanya yang ingin kau ketahui.

“Ceritakanlah tentangmu.”

Saudaraku, aneh sekali pilihanmu. Bukankah lebih nyaman mendengarkan cerita yang lain, tentang kesuksesan misalnya. Kisahku hanya… tragedi. Mungkin orang sepertimu asing dengan apapun yang saat ini sedang aku jalani.

Lihatlah, di pinggiran jalan ini, kau tak betah dengan genangan air yang makin meninggi. Tentu saja, berjuta manusia lainnya pun begitu. Aku sendiri pun bukannya tahan. Sudah kubilang, aku sudah terbiasa untuk tidak memilih –hidupku pun bukan suatu pilihan.

Bagaimana kalau kuceritakan tentang Lelaki Malam dan Roh Gunung. Ah, ya, harusnya aku tak menyebutnya dengan huruf kapital. Itu terlalu bagus untuk mereka. Jujur saja aku juga tak menyukai mereka.

“Lantas, mengapa tak kau ceritakan tentangmu saja?”

Saudara, lakonku hanyalah sebagai pencerita, pengamat semata. Bukankah pengamat dapat bayaran lebih tinggi dari aktornya? Pengamat kemiskinan misalnya. Menjadikan Si Miskin menjadi modal mata pencahariannya, tanpa harus merasa mengubah keadaan. Sudahlah, tak perlu diperpanjang urusan itu.

“Baiklah. Lalu bagaimana lelaki malam dan roh gunung itu?”

Tak ada yang lebih menyedihkan dari keduanya. Selalu berpikir dan berpikir, tentang benar salah, tentang kemanusiaan, tentang semua hal kecuali diri mereka sendiri. Bukankah aneh, semua hal di dunia ini akan terus berjalan, bahkan meski tanpa kita usik keadaannya. Lihatlah kejahatan yang merajalela, meski diselingi beberapa kebajikan agar manusia tidak bosan. Aku bukannya sinis memandang cara mereka menyikapi apa yang sedang terjadi. Masyarakat hanya masyarakat, dan sistem tetaplah sistem. Lucunya, keduanya berharap bisa mengubah segala hal, tanpa sejenak pun meninggalkan pikiran-pikiran mereka.

“Kau memang sinis.”

Terima kasih. Tapi cerita belum selesai. Tidakkah saudara tahu, kelahiran adalah rencana, kematian adalah rencana, hidup adalah juga rencana. Siapa yang bisa memastikan kalau hidup ini berjalan salah? Tidak juga mereka.

Ya, mereka tidak bisa!

“Memang gila, berharap adanya perubahan tanpa segera bertindak. Tapi, siapa sebenarnya Lelaki Malam dan Roh Gunung itu, kalau boleh tahu?”

Aku.

MOTOR-ISME, SAFETY RIDING, dan POLISI TIDUR


“…Berlalu lintas adalah soal akhlak, bukan teknologi…”

Tentunya opini di atas tak semata-mata bersifat subjektif dari sudut pandang seorang penulis cyber-space yang, saya duga, turut resah terhadap kecelakaan lalu lintas yang marak terjadi. Bagaimana tidak, hingga saat ini tingkat kecelakaan kendaraan bermotor di Indonesia terbukti teramat tinggi. Berdasarkan data statistik, angka kecelakaan kendaraan bermotor lebih tinggi dibanding dengan kecelakaan pada alat transportasi lainnya, seperti kereta api, pesawat, dan kapal laut. Namun dari semua kendaraan bermotor, sepeda motorlah yang dinilai paling riskan dan memakan korban paling banyak, bahkan di atas kecelakaan mobil.

Saat ini, dengan 230 juta penduduknya, Indonesia menjadi pasar sepeda motor terbesar ketiga di dunia. Bagaimana tidak, untuk sepeda motor dengan merek tertentu yang merupakan produsen sepeda motor terbesar di Indonesia saja, telah terjual lebih dari 20 juta unit. Belum lagi produsen-produsen lain, yang meskipun tingkat penjualannya terbilang kecil, tetap menambah kepadatan jalan dengan produknya. Kenyataan ini membuktikan bahwa sepeda motor lebih banyak digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai alat transportasi sehari-hari. Hal ini tentu bukan menjadi masalah seandainya di Indonesia terdapat sarana dan prasarana jalan raya yang memadai dan budaya berlalu lintas yang baik. Dan hal ini tentu tidak akan menjadi problema yang merisaukan jika tiap harinya tak ada korban-korban yang terus berjatuhan di jalan raya. Namun saat ini, dengan semakin merajainya sepeda motor di jalan raya, banyak persoalan baru yang timbul menyangkut keselamatan jiwa pengguna jalan.

Angka Kecelakaan Meningkat

Harus diakui, negeri ini memiliki masalah yang cukup serius tentang keamanan lalu lintasnya. Bahkan masalahnya jauh lebih mengancam daripada kasus terorisme yang telah menguras tenaga dan perhatian aparat pemerintahan. Informasi yang diberikan Dinas Perhubungan, terkait kecelakaan lalu lintas yang terjadi, menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan tingkat kecelakaan ketiga terbesar di antara negara-negara ASEAN. Hal itu tentu harus disikapi secara serius oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk di dalamnya pengguna jalan dan aparat. Tidak banyak yang tahu bahwa kecelakaan lalu lintas telah menjadi pembunuh No.3 di Indonesia, setelah penyakit jantung dan stroke. Tidak kurang dari 30.000 nyawa melayang di atas jalan aspal tiap tahunnya.

Di beberapa kota, angka kecelakaan lalu lintas yang tercatat sangat mencengangkan. Salah satunya wilayah Jakarta yang menunjukkan peningkatan angka kecelakaan lalu lintas yang signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 misalnya, jumlah kecelakaan yang terjadi menunjukkan angka 2.949. Angka tersebut mengalami penambahan menjadi 1,5 kalinya pada tahun 2006, yaitu menjadi 4.407 kasus kecelakaan. Jika diakumulasi, di ibukota Indonesia tersebut telah tenjadi 16.207 kecelakaan dalam periode 2003-2006, dan 10.536 di antaranya adalah kecelakaan sepeda motor. Mengacu pada data tersebut, setidaknya 44 orang menjadi korban kecelakaan tiap harinya.

Dari perhitungan tersebut, bisa saja kita berasumsi bahwa mengendarai kendaraan bermotor merupakan aktivitas paling berbahaya bagi orang banyak. Namun, seperti kata pepatah, ada asap ada api, setiap hal ada sebab-sebabnya. Kecelakaan yang makin sering diberitakan di berbagai media, setidaknya menunjukkan suatu indikasi terhadap sistem dan budaya berlalu lintas yang tumbuh-kembang di Indonesia.

Budaya ‘Si Komo’

Kecelakaan lalu lintas sangat berhubungan erat dengan peradaban yang berkembang pada suatu bangsa karena peradaban sendiri mengacu pada budaya masyarakat. Semakin beradab suatu masyarakat dalam budaya berlalu lintas, maka akan semakin sedikit kecelakaan yang terjadi di jalan raya. Kecelakaan yang banyak terjadi di Indonesia mencerminkan budaya lalu lintas yang terkonstruksi dengan buruk dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Seringkali masyarakat menyalahkan faktor teknologi sebagai penyebab utama terjadinya kecelakaan. Memang lebih mudah untuk tidak menyalahkan diri sendiri dan sibuk mencari kambing hitam daripada mencoba untuk mengintrospeksi diri dan melakukan perbaikan. Namun lama-kelamaan, kebobrokkan dalam budaya berlalu lintas masyarakat kita semakin terlihat dengan semakin meningkatnya tingkat kecelakaan kendaraan bermotor yang terjadi di Indonesia.

Menurut data statistik, 91% kecelakaan lalu lintas di Indonesia disebabkan oleh kelalaian manusia (human error). Sementara faktor lainnya yaitu faktor kendaraan sebanyak 5 % dan faktor jalan 3 %, serta faktor lingkungan sebanyak 1 %. Fakta tersebut menyanggah opini yang menyebutkan bahwa kecelakaan sering kali terjadi akibat teknologi kendaraan yang kurang mengutamakan keselamatan pengendara. Sebagian besar kecelakaan justru disebabkan oleh budaya lalu lintas buruk yang telah mendarah daging, bukan hanya pada pengguna kendaraan, tetapi juga aparat penegak aturan lalu lintas.

Berbicara tentang budaya berlalu lintas, saya terkenang pada lagu kanak-kanak yang liriknya berbunyi, “…Macet lagi, macet lagi. Gara-gara Si Komo lewat…”. Lirik tersebut bagi saya merepresentasikan ketidakdisiplinan dalam budaya berlalu lintas masyarakat Indonesia. Pernah suatu kali sekelompok turis Jepang di kota saya tampak takut dan kesal saat hendak menyeberang jalan raya yang ramai. Ternyata mereka telah menunggu selama setengah jam hanya untuk melintasi jalan. Para pengendara sepertinya enggan memberikan jalan kepada pengguna jalan lain dengan tidak mengurangi kecepatan kendaraannya saat melaju di jalan raya. Kasus tersebut tentu bukan satu-satunya yang terjadi di Indonesia. Entah kenapa, seolah-olah menjadi ‘setan jalanan’ menjadi predikat yang membanggakan bagi sebagian besar masyarakat kita yang mayoritas berusia produktif.

Budaya tersebut tentu sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan kondisi yang terjadi di negara-negara maju lain, seperti Amerika Serikat dan sebagian besar negara di Eropa. Tidak usah jauh-jauh, kita bandingkan saja dengan Singapura yang merupakan salah satu negara yang paling dekat dengan Indonesia. Sementara Singapura terlihat seperti surga dunia, negara kita justru seolah-olah memantapkan dirinya sebagai negara berkembang dan tidak tahu aturan karena tidak pernah introspeksi terhadap budaya lalu lintasnya yang bobrok.

Jika dicermati perbandingan budaya berlalu lintas antara Indonesia dan negera-negara di atas, maka perbedaan paling mencolok terletak dari bagaimana cara menyikapi peraturan-peraturan yang mengatur tentang ketertiban berlalu lintas, baik terhadap peraturan yang baru berupa rancangan maupun yang sudah ditetapkan. Misalnya saja peraturan tentang penggunaan helm standard. Saat baru dirumuskan, peraturan tersebut telah memancing aksi demonstrasi karena dinilai sebagian besar masyarakat merupakan suatu bentuk materialisme dalam peraturan pemerintah. Banyak orang yang mengeluhkan tentang betapa mahalnya helm standard yang dibeli semata-mata hanya untuk menghindari tilang. Saat ini pun setelah disahkan, belum semua kota mengaplikasikan peraturan tersebut dengan benar dan sesuai. Kalaupun telah diterapkan, banyak di antara peraturan yang telah ditetapkan hanya bersifat momentum dan lekas hilang. Seperti kebanyakan peraturan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka ‘pamer aksi’ lainnya, pelaksanaannya pun seperti ‘anget-anget tahi ayam’, alias tidak bertahan lama. Misalnya saja pada kasus yang terjadi baru-baru ini tentang menyalakan lampu kendaraan pada siang hari. Pada awalnya juga menuai aksi kontra yang besar dari masyarakat dengan alasan kali ini pemborosan energi. Namun sekarang sudah tak kedengaran lagi gaungnya dan tak ada yang menggubris.

Peraturan-peraturan yang oleh masyarakat Indonesia dianggap konyol dan mubazir itu justru dijadikan suatu tindakan antisipasif terhadap kecelakaan kendaraan bermotor di sejumlah negara maju. Dan anehnya, tak seperti dugaan mayoritas masyarakat Indonesia, peraturan-peraturan tersebut ternyata sangat efektif untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban akibat kecelakaan lalu lintas. Memang sepertinya peraturan-peraturan tersebut tampak sepele dan sangat merepotkan, apalagi harus ditambah dengan denda yang harus dibayar jika melanggar peraturan tersebut. Namun tentu saja peraturan tersebut tdak akan menjadi sia-sia jika pada akhirnya dapat melindungi nyawa pengendara kendaraan bermotor.

Aparat yang Bermasalah

Mengandalkan masyarakat saja untuk tertib berlalu lintas tentu merupakan sesuatu yang mustahil. Untuk mengontrol dan menegakkan peraturan, dibutuhkan aparat-aparat yang mengetahui pekerjaannya dengan baik. Namun seolah-olah tidak cukup dengan minimnya kesadaran masyarakat akan tertib berlalu lintas, oknum aparat yang ada justru memperburuk pelaksanaan peraturan dengan beberapa ‘penyimpangan’ yang juga merusak citra instansi yang terkait. Rusaknya imej penegak hukum di mata masyarakat dikarenakan tindakan sebagian oknum aparat yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk mendapat keuntungan demi kepentingan diri sendiri.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian aparat, termasuk polisi, gemar menimbun pundit-pundi uang dengan memanfaatkan peraturan sebagai dalih pembenaran terhadap tindakannya untuk memeras masyarakat yang melanggar peraturan. Ada kelakar yang menyebutkan bahwa pada saat akhir bulan, pengendara harus ekstra waspada, karena pada saat-saat itulah pengendara harus ‘setor’ akibat aparat yang mendadak ‘rajin’. Razia-razia yang digelar aparat seolah-olah menjadi kedok untuk ‘mencari uang’. Karena asumsi yang seperti itulah masyarakat kurang menaruh simpati terhadap peraturan lalu lintas yang sebenarnya sangat membantu kelancaran lalu lintas.

Selain itu, aparat merupakan pihak yang paling bertangung jawab atas masalah yang paling nyata dan paling dapat berpengaruh pada budaya berlalu lintas masyarakat, yaitu tentang penerbitan Surat Izin Pengemudi (SIM) yang tanpa via tes. Saya sendiri pernah merasakan ‘mudahnya’ mendapatkan SIM hanya dengan merogoh kocek sebesar Rp 200 ribu. Saya bukannya sengaja untuk memiliki SIM dengan cara ‘menembak’. Namun begitu hendak mengajukan pembuatan SIM, saya langsung ditawarkan ‘jalur khusus’ tanpa disodorkan tes terlebih dahulu. Saya juga bukanlah satu-satunya warga yang mendapat ‘layanan spesial’ dari kepolisian seperti itu.

Melihat kenyataan ini tentu kita sudah menyadari bahwa budaya dalam birokrasi negara ini ternyata telah berubah. Dulu, budaya masyarakat saat berhadapan dengan birokrasi adalah menempuh jalur formal yang berbelit-belit sebelum akhirnya menyerah dengan ‘jalur bawah meja’ untuk memotong jalannya birokrasi. Namun saat ini, aparatnya justru tanpa berbasa-basi langsung meminta ‘amplop’ karena menganggap hal tersebut sudah lumrah dan biasa. Menurut prosedur, hal itu tentu salah. Namun dari pihak masyarakat sendiri pun tidak melakukan kritik untuk mengoreksi penyimpangan tersebut. Oknum aparat pun tidak merasa dirugikan karena cukup diuntungkan dengan dana segar dari pemohon SIM. Namun akibatnya bisa terbilang fatal bagi keamanan dan kenyamanan lalu lintas di jalan raya. Tak bisa dihitung seberapa banyak pengendara yang sebenarnya tak memiliki kelayakan untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi. Sudah banyak kecelakaan yang terjadi akibat kegagapan pengendara dalam berlalu lintas.

Solusi dan Ilusi

Berkaca pada peristiwa-peristiwa berdarah di jalan raya, membuat kelompok-kelompok masyarakat mulai menyadari betapa kebiasaan buruk dalam berlalu lintas telah membahayakan beribu nyawa. Saat ini, mulai disiarkan lagi program safety riding, yang mengutamakan keselamatan daripada efisiensi waktu yang membuat pengendara berlomba untuk kebut-kebutan di jalan raya. Seperti kata pepatah Jawa, alon-alon asal kelakon, biar lambat asal selamat. Saat ini, mulai dibangun lagi etika berkendara yang dulu perlahan dilupakan akibat munculnya ‘SIM instan’. Saat ini pula, pengendara mulai menumbuhkan tanggung jawab sosial terhadap nyawa orang lain dan diri sendiri dengan mematuhi peraturan lalu lintas yang ada. Setiap orang tidak perlu menjadi super hero untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Hanya cukup mengenakan helm standard dan mematuhi rambu-rambu lalu lintas di jalan raya.

Dari pihak aparat pun mulai berbenah dengan menggelar 13 program untuk mengurangi tingkat kecelakaan di jalan raya. Di antaranya Polsana (Polisi Sahabat Anak) untuk mengajarkan kedisiplinan berlalu lintas sejak dini, Kampanye Lalu Lintas, serta Traffic Management Centre (TMC).

Namun solusi-solusi tersebut dapat saja menjadi ilusi jika, lagi-lagi, tidak dilaksanakan secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Segala program yang diupayakan akan menjadi sia-sia dan mengamini mitos tentang masa aktif peraturan di Indonesia yang immortal. Masyarakat yang kembali pada budaya berlalu lintas yang lama pun akan menjadi masyarakat yang jahiliyah yang sulit menerima perubahan-perubahan dalam rangka menjadikannya masyarakat yang lebih baik. Aparat yang gagal membuat perbaikan dalam diri dan masyarakat pun bak ‘polisi tidur’ yang acuh jika jatuh korban lagi akibat pengawasan yang kurang terhadap peraturan. Semua ide-ide tentang budaya berlalu lintas yang baik harus cepat dan tepat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, agar semakin sedikit istri kehilangan suaminya, anak kehilangan kakinya, dan darah yang tertumpah di jalan.

Sebagian aparat, yang tidak bekerja sesuai dengan proporsinya untuk mengatasi masalah keamanan dan kenyamanan di jalan raya, tentu turut bertanggung jawab terhadap terancamnya keselamatan pengguna jalan. Namun tentu tidak bisa menaruh tanggung jawab yang demikian besar di pundak aparat tanpa didukung oleh masyarakat yang peduli dan sadar peraturan. Dibutuhkan kerjasama antara pihak aparat dan masyarakat untuk mewujudkan jalan yang aman, nyaman, dan tertib. Oleh karenanya, tiap warga negara Indonesia wajib mengaplikasikan dan menaati peraturan lalu lintas yang telah dibuat: untuk menghilangkan caci-maki turis Jepang, untuk meniadakan ‘bisnis’ yang memanfaatkan seragam aparat, dan untuk menjamin keselamatan setiap orang yang bernafas di atas jalan raya.

Dhenok Pratiwi

Redaktur LPPM Sintesa Fisipol UGM

Redaktur SKM Bulaksumur UGM

Sudah punya SIM Nembak