Bukan Ibrahim

Berapa kalipun telah aku sadari. Manusia punya pembagian peran. Ada si kaya, ada si miskin. Ada si cantik, ada kurang bagus rupanya. Berkali-kali aku pikir pun, tak mengalami perubahan pada jalan nalarku. Manusia memiliki keunikannya masing-masing. Tak perlu diragu. Ada yang beruntung, ada aku. Begitulah. Semuanya dicipta berlainan. Mungkin Yang di Atas punya tujuan khusus yang mulia. Entahlah! Apa untuk saling melengkapi, atau hanya membuat kehidupan di dunia lebih seru. Masa iya bumi yang dikatakan indah ini tak punya beragam cerita lantaran seluruh penghuninya ingin menjadi seragam: kaya sejahtera bahagia cantik langsing terhormat.

Ya, ya, ya. Mungkin di belakang dunia ini ada layar, yang menutup manakala sandiwara telah selesai. Jangan-jangan benarlah bahwa kita hanya hidup di atas pangung. Lalu siapa sutradaranya? Kok tak pernah kelihatan. Bukan, bukannya usil mempertanyakan. Aku hanya mau protes. Masalahnya, aku selalu mendapat peran terlunta-lunta. Berdiri di pojok, di bawah kaki yang mengenakan black shoes mengilap diterpa sinar lampu. Aku tak pernah keberatan. Hanya sedikit jengkel saja, Masalahnya si black shoes itu tak tahu diri. Ada orang di bawah, malah diinjak-injak. Bukannya kita sama-sama pemain? Tak ingat dia rupanya, bahwa kita digaji sama. Nantilah biar kuprotes di akhir pertunjukkan.

“Pak sutradara, tadi dia nyeleneh. Tak sesuai skenario. Hukum saja. Pakai api neraka, ya!”

Sudahlah. Buat apa repot mengadu. Aku masih dibingungkan dengan air susuku. Hendak dijual kemana. Siapa tahu di luar sana ada bayi lain yang menangis, lantaran ibunya enggan dicicipi payudaranya. Anak nakal, masih kecil sudah tahu oral seks.

Ngalah-ngalahi bapaknya saja.” Itu Jeng Parmi. Tetangga rumah kardusku. Ehm, aku kadang tertawa. Dia ngotot sekali mengatakan susunan kardus ini sebagai rumah. Dia juga menjual air susunya. Dulu sekali. Ketika akhirnya ia jenuh dengan kemiskinan ini.

Tentu saja lantas dia tak beranjak dari ketidakpunyaan yang setia menemani hidupnya. Tapi setidaknya, ia pernah terlepas sebentar dari kesusahan yang membuatnya parasnya tampak lebih tua lima tahun. Ya, sekejap saja.

Asal tahu saja, aku juga tergoda oleh cerita saat ia akhirnya dapat membuang nasi aking yang seakan melecehkan martabat kami sebagai manusia. Padahal dulu Jeng Parmi selalu berebut nasi aking denganku. Ia membeli roti cokelat yang dibungkusnya ada barcode, tanda dari supermarket. Ah, aku ingin sekali membeli barang di supermarket seperti kebanyakan orang. Tapi takut diusir satpam, dikira pengutil atau pengemis yang menganggu pemandangan pengunjung lain. Iya juga sih, pakaianku lusuh dan mukaku dekil begini.

Tapi kejayaan Jeng Parmi hanya sebentar. Dia mencak-mencak, mengamuki seluruh warga rumah kardus tatkala uang yang dipegangnya kabur kemana-mana. Orang-orang hanya tak mengerti, mengapa Jeng Parmi harus marah-marah ketika uangnya habis ia belanjakan. Bukankah ia telah terbiasa hidup dengan uang yang tak pernah mencukupi kebutuhan hidupnya itu? Namun kuduga, sepertinya ia mulai menikmati hidup enak, terjerumus oleh permainan uang.

“Sabar, Jeng. Nanti dikira kesurupan. Kasihan anakmu menangis terus,” Pelan-pelan amarahnya berusaha diredam oleh Pak RT pura-pura. Ya, RT yang hanya pura-pura. Kawasan ini memang tak terdaftar di Kelurahan. Tapi namanya saja RT, ya Rukun Tetangga. Kami hidup rukun-rukun saja di sini.

Beberapa hari kemudian, Jeng Parmi kembali dengan membawa banyak bungkusan belanjaan di tangannya. Entahlah apa lagi yang ia jual, ia tidak mempunyai air susu lagi. Tapi sejak saat itu, tangisan bayi di rumah kardusnya sontak berhenti. Tak ada yang berani mempertanyakan. Mungkin takut diamuk Jeng Parmi lagi.

Sementara itu, bayi dalam bungkusan kain jarik di sebelahku sibuk meraung-raung. Itu bayiku yang berumur dua minggu. Bukannya aku tak sayang. Hei, dia kan bayiku. Mana ada ibu yang tak mengasihi buah hatinya. Aku pun telah susah payah menahan keinginanku untuk menimangnya barang sebentar. Hanya saja, jika aku lakukan itu, aku takkan dapat menahan godaan untuk menyusuinya. Maafkan, ya Anakku! Susu ini bukan untukmu. Cukuplah kau dengan air teh tawar itu saja.

“Jeng, apa pembeli air susuku sudah ada?” tanyaku sembari menahan sakit di buah dada yang semakin membengkak karena membendung air susuku.

“Sabarlah! Nanti juga kalau sudah ada akan aku kasih tahu. Tapi ingat ya, jangan kau susui dulu bayimu. Nanti bisa habis ASI-mu.” Jeng Parmi segera mewanti-wantiku. Aku mengangguk saja. Pasrah tak berontak. Diingatkan seperti itu membuatku merasakan perih. Semakin pedih saja saat mendengar tangisan sulungku yang tak reda-reda.

Kalau sudah begini, ingin rasanya aku menyesal. Tapi apalah, penyesalan itu harusnya tak datang jika saja otakku bisa mengalahkan kerja hati yang membuat pikiranku tumpul. Penyesalan itu harusnya tiba lebih awal, sebelum semuanya terlanjur menjadi seperti ini. Hampir dua tahun yang lalu, aku masih bisa tersenyum-senyum mendengar rayuan Kurniawan yang mengajakku untuk kawin lari. Ia terlalu kere untuk berani meminangku di depan keluargaku. Bodohnya, aku mau saja. Terlihat romantis seperti di film-film India yang sering aku tonton bersama Bi Jumiati, pembantu tetangga sebelah.

Peristiwa itu serasa berjalan cepat sekali. Kurniawan membawaku ke daerah kumuh ini, yang bahkan tak punya nama. Aku masih tersenyum-senyum waktu itu, meski badanku habis tergerus kemiskinan. Tapi senyum itu tak lama tersungging di bibirku. Kurniawan menjadi gigolo dan tercantol istri pejabat yang bosan dengan suaminya yang impoten. Lalu aku meninggalkannya begitu saja. Kurniawan mengejarku. Aku lari. Kurniawan menarikku. Aku meronta. Kurniawan menjelaskan. Aku tutup kuping. Hm, kalau diingat-ingat, lucu sekali. Hidupku tenyata seperti di sinetron-sinetron yang dulu kuanggap tak masuk akal. Tapi tak cukup untuk membuatku menertawakan diri sendiri.

“Maafkan aku. Aku bekerja seperti ini untuk menghidupimu juga,”

“Aku tak marah.”

“Omong kosong. Kau marah gara-gara aku khianati?”

“Tidak. Aku hanya jijik.”

“Kau tidak mencintaiku lagi?”

“Aku takut tertular AIDS. “ Kurniawan menatapku lama sekali. Sangat lama, sampai-sampai aku baru sadar kalau matanya jereng sebelah.

Aku benar-benar tak marah padanya. Waktu itu pikiranku masih sempit. Aku ketakutan, terjangkiti penyakit berbahaya yang membuat salah satu artis favoritku mati dengan tragis di akhir sinetron. Tapi akan lain ceritanya jika aku tahu kalau Kurniawan telah semena-mena meninggalkan janin di perutku.

Ya, aku baru tahu kalau aku mengandung anak Kurniawan setelah kami berpisah. Kurniawan kabur dengan nyonya pejabat yang kalut karena dipergoki suaminya sedang berbirahi-ria dengan Kurniawan.

“Sudah. Jangan melamun begitu. Nanti kesambet setan. Sepertinya pembeli air susumu tak datang juga. Sebaiknya kau susui saja bayimu. Daripada mubazir air susumu,” Kentara sekali nada kasihan berolah dalam kata-kata Jeng Parmi yang mengunjungi rumah kardusku.

“Tapi…apa tidak apa-apa? Aku butuh sekali uang itu.”

“Sudahlah. Lekas berikan air susumu pada anakmu saja. Nanti keburu mati dia.”

Dengan langkah ragu-ragu aku melangkah menuju bayiku. Oh, alangkah malangnya. Badannya kurus, belum tersentuh oleh gizi yang menjadikannya seperti anak-anak normal. Dadaku perih, bayiku sangat lapar rupanya. Rasanya habis sudah cairan dadaku dihisapnya. Ia menyusu begitu tergesa-gesa, seakan kesempatan itu untuk yang terakhir kalinya.

“Kasihan bayi ini. Bisa mati dia kalau terus-terusan hidup bersamamu.”

Aku memandang manik mata Jeng Parmi. Bulatan hitamnya bergerak cepat, tanda ia merasa tak enak.

“Sudahlah. Kau jangan berkeras begitu. Jual saja bayimu, agar dia bisa hidup layak.”

“Maksud Jeng?”

“Yah, siapa tahu dia akan diasuh orang kaya.” Jeng Parmi melihat lagi bayiku, lebih teliti. Hendak menaksir harganya barangkali.

“Siapa yang akan membelinya?” Suaraku lebih tedengar seperti rengekan, memohon agar ada alternatif lain yang lebih baik.

“Nanti akan aku pertemukan denganmu. Siapkanlah bayimu.”

“Anak Jeng juga dijual?” Jeng Parmi tidak berkata apa-apa lagi. Aku tahu, dari senyum setengah bibirnya, ia enggan menyinggung masalah itu.

*******

Mariam, Durga, Desi Ratnasari. Siapa lagi? Sebutkan saja nama wanita yang takkan mengorbankan anaknya sepertiku. Sulungku yang terekspos tulang-belulangnya, apakah harus kugadaikan demi masa depannya? Air susuku pun baru dikecapnya, yang rasanya pun takkan tersimpan dalam memorinya.

“Bayangkan bagaimana nasib putramu kelak. Dia akan sukses, menjadi artis atau pengusaha. Dia tidak akan jadi gembel sepertimu.” Jeng Parmi berusaha meyakinkanku untuk tetap melanjutkan rencana ini. Ia telah mempersiapkan semuanya. Aku hanya harus menyerahkan anakku ke gendongannya.

Aku sama buruknya dengan Dewi Kunti. Seorang yang agung, ibu Pandawa. Namun dalam kesuciannya, ia pernah membuang bayinya demi menutup aib akibat hubungan gelapnya dengan Dewa Surya. Setidak-tidaknya aku melakukan semua ini demi melihat anak di gendonganku ini mengecap hidup yang lebih baik. Tapi tetap saja, aku seorang ibu yang tega menjual anaknya. Mengapa semua terasa menjadi jahanam. Jeng Parmi, rumah kardus, nasib.

Kulihat lagi bayiku dalam selimut lucu yang dihadiahkan Jeng Parmi, bekas anaknya dulu. Tangannya mengibas senang, berusaha menjangkau ke arahku dan memperlihatkan kegairahan yang amat sangat. Kristal air asin di pipiku menjadi saksi, betapa berharganya pengorbanan yang aku lakukan. Anakku, izinkanlah ibumu menyenandungkan lagu, meninabobokanmu untuk terakhir kalinya.

…Nina bobo… oh… nina bobo

Kalau tidak bobo digigit nyamuk…♫

Lirih. Basah. Gulita.

0 komentar: