Patah Hati

Aku hanya tersenyum kecil waktu mereka mengeluh tentang cuaca yang begitu terik sampai membakar niatan untuk keluar rumah. Matahari sedang tak bersahabat, katanya. Aku cuma bisa tersenyum kecil karena aku ragu, mengapa aku merasa gigil luar biasa? Tanganku berkeringat tapi gigiku bergemeletuk. Apa aku tak pandai membaca hari atau langit atau kenyataan? Saat kutanyakan kepada tukang parkir kampus yang setia menunggu lalu lalang kendaraan, ia hanya mengasumsikan bahwa aku sedang sakit. Hanya orang sakit yang tidak merasakan apa yang terjadi di sekitarnya. Panas ia bilang dingin. Duduk nyaman ia bilang sakit. Cinta ia bilang luka.
Aku berkata pada tukang parkir itu, kalau benar aku sakit, kira-kira apa obatnya. Dan dia diam saja, untuk alasan tertentu kukira ia berpikir dirinya bukan dokter. lalu mengapa ia bisa mendiagnosis. Sudahlah, bukankah dokter juga seringkali salah diagnosis? Tapi tukang parkir itu sepertinya lebih manusiawi ketimbang si dokter. Benar katanya, aku sakit. Bukan sakit yang butuh jarum infus, atau buah-buahan, atau doa. Aku cuma perlukan dia. Saat ini dan nanti. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Sampai aku tak bisa lagi mengenal waktu. Tapi ia tak sakit. Makanya bisa saja menyerah. Ia tak butuhkan obat. Atau aku. Ia bisa saja melupakan aroma tubuhku. Juga sudut di bibirku yang hanya terbentuk kalau bersama dia.
Aku mencintainya sampai sakit. Tak tertahankan, sungguh. Kalau perasaanku bisa dibagi, kubagi jadi seratus. Lalu kusebarkan ke tengah laut biar menghilang. Sekalian rasa sakit ini. Tapi nantinya pasti selalu mermuara juga ke pelabuhannya. Padahal aku tak boleh lagi bertandang. Singgahpun harus minta izin, mungkin pada pemilik dermaganya nanti.
Kau mungkin bertanya, mengapa harus begitu? Akan begitu selama aku penuh dengannya dan dia kosong denganku. Jadi kubiarkan dia penuh dengan yang lain. Seseorang akan membuatnya penuh nanti. Aku mengosongkan diri dulu sejenak. Sampai kering tak bersisa. Lalu... lalu...

Apa rencanamu hari ini sayang? Main Solitaire.