M E N Y U B L I M

1
Sub.li.ma.si : perubahan langsung bentuk padat suatu zat menjadi uap tanpa melalui bentuk cair 

Mungkin aku sudah lama menyerah. Sejak aku tak dapat menghentikan tangisku, walau kau sudah berkata-kata indah. Tapi aku lupa apa tepatnya yang membuatku menyerah. Tiba-tiba aku sudah dalam kondisi yang tidak aku mengerti, tidak ada kau dan segalanya terasa amat buruk pada awalnya. Mungkin seharusnya aku menyerah lebih awal. Sehingga aku memiliki waktu untuk pelan-pelan menyembuh.

Apa-apa saja yang membekas darimu, kata-kata, janji akan pelukan, juga amuk, akan menyublim. Menguap bersama partikel debu yang kulihat dengan jelas saat berkas sinar matahari masuk lewat celah rumah. Debu itu pasti hatiku yang mengeras dan menjadi lapuk, karena ego adalah satu-satunya hal yang tersisa di dalamnya. Akan ada saatnya aku tak lagi memiliki memori dengan bayanganmu menari-nari, dengan gemuruh yang sama saat kereta beranjak membawa kita berpisah. Kita adalah cerita yang tak akan pernah tuntas, perjalanan pun tak pernah mencapai akhirnya. Karena itu, memang harus begitu, kita adalah gambar buram di masa silam.

Dan sesalku yang teramat sangat, aku tak bisa menyampaikan padamu secara langsung, bahwa seperti apapun kondisi kita saat ini, pada akhirnya kita harus berbahagia. Sekali ini lagi, untuk terakhir kali, aku harus melarikan diri. Karena aku merasa buruk, untuk sanggup menatap matamu dan berjanji menempuh jalan lain di mana takkan ada jejakmu lagi. Apa-apa saja yang membekas darimu, kata-kata, janji akan pelukan, juga amuk, akan menyublim. Melayang, bersatu dengan timbunan kesedihan yang memasap.


2
Sub.li.ma.si : perubahan ke arah satu tingkat lebih tinggi

Saya bodoh sekali. Saya memiliki teman-teman dengan aneka rupa yang takkan habis saya identifikasi walau saya memiliki kemampuan untuk menghitung sesuatu yang tak terbatas. Saya memiliki kata-kata yang selalu bersetia dalam setiap suasana hati. Saya punya dia, entah siapa nantinya yang akan mendengar cerita eksklusif milik saya. Tapi saya merasa sendiri. Harusnya tidak ada sesiapapun yang cukup berharga untuk membuat saya merasa sendiri. Iya, maka itu saya sebut diri saya bodoh. Karena merasa tidak cukup beruntung dengan kesendirian yang saya pilih sendiri.

Tapi untuk bisa menyublim, menjadi satu tingkat lebih baik dari sekadar bodoh, rasanya sakit sekali. Kali yang terakhir ini, saya tidak mampu mengontrol emosi yang meluap-luap. Rasanya badan jadi dingin dan terasa tidak punya kehendak apa-apa lagi. Idiom menggigil menusuk tulang benar-benar seperti menjadi makna denotasi. Saya berada di tempat paling indah, tapi saya mengakhiri momen dengan menangis sesengguk-sengguk. Entah itu sudah bisa dikatakan menyublim atau tidak. Tapi rasanya jauh lebih baik. Lebih baik. Saya tidak lagi tertawa-tawa untuk menutupi bahwa saya tidak apa-apa menjadi tidak berharga. Saya benar-benar tidak apa-apa. Kehilangan, tapi merasa baik-baik saja.

Saya harus percaya, akan ada banyak hal baik menanti saya. Saya memiliki teman-teman dengan aneka rupa yang takkan habis saya identifikasi walau saya memiliki kemampuan untuk menghitung sesuatu yang tak terbatas. Saya memiliki kata-kata yang selalu bersetia dalam setiap suasana hati. Saya punya dia, entah siapa nantinya yang akan mendengar cerita eksklusif milik saya. Kini, saya hanya harus membenahi apa yang telah saya rusak dengan kebodohan saya itu. Jika saya menjadi bodoh lagi, saya akan katakan padamu, saya akan menyublim lagi.

Tempat Cukur Kakek... (4-Habis)

Saya orang yang kadang-kadang tak berani menghadapi kenyataan. Saya lari dari masalah, bukan menuju pada penyelesaian. Tapi ke tempat baru di mana saya berharap tak akan bertemu dengan masalah yang sama. Saya mendekati sepi untuk mengasing. Menggayut di lengan kepuraan untuk bersembunyi. Saya pergi jauh-jauh, sepanjang-panjangnya jalan yang bisa saya tempuh untuk menghindar. Pada akhirnya, saya tidak bisa.

Subuh itu, ibu menelepon ke asrama SMA saya. Suatu panggilan yang tidak biasa. Di ujung telepon sana, ibu tidak bilang apa-apa, hanya suara tangis yang berusaha sekeras mungkin ditahan. Lama saya menanti dengan hati tidak menentu. Sampai akhirnya ibu bilang satu kata saja. Satu kata yang kemudian langsung merontokkan sendi-sendi saya seketika itu. Entah kenapa satu kata itu adalah hal terakhir yang saya ingin dengar disela tangisan ibu. "Mbah."

Saya berlari. Cepat-cepat kembali ke tempat tidur. Saya menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuh saya yang mendadak menggigil kedinginan. Bayangan-bayangan masa silam berkelebatan dengan cepat. Menyimburkan perasaan-perasaan yang saat itu ingin saya enyahkan cepat-cepat. Apa sesak ini? Saya terus menggigil. Megap-megap, tak tahu reaksi macam apa yang tengah terjadi pada tubuh saya. Yang saya tahu, saat itu saya hanya ingin memindahkan detak jantung saya ke dada kakek. Saya sesak, karena saya tahu takkan bisa melakukan hal itu. Karena tahu, ada rasa bersalah hinggap karena telah pergi meninggalkan kakek dalam waktu yang lama. Sesak karena saya belum sempat memberi tahu kakek bahwa tempat tertinggi di hati saya hanya untuk kakek. Lalu mulailah tangisan itu. Tak berhenti bahkan ketika saya sedang berada dalam perjalanan menuju rumah.

Saya selalu lari. Selalu mencari tempat bersembunyi. Menghindar dari apa yang bisa menyakiti saya. Saya lari tanpa ditemani kedewasaan. Saya berontak dari rasa perih yang menyiksa. Saya tak ingin mati karena patah hati. Kakek saya, orang yang banyak menyuguhkan banyak kegembiraan di hadapan saya. Saya bermain dalam ruang imajinasi yang aman dari kesakitan. Saya ditimang-timang agar cepat tenggelam dalam mimpi yang jauh dari realitas yang menyesakkan. Kakek, yang telah mengalami banyak kepahitan, tidak bersedia menularkan rasa itu pada saya. Bahkan untuk memberi saya tamparan keras mengenai bagaimana sesungguhnya kehidupan itu.

Saya hampir sampai di rumah. Kakek saya masih dibaringkan di sana, menunggu adzan dzuhur untuk dikebumikan. Tapi saya tak segera beranjak menuju ke sana. Entah mengapa, kaki saya berat melangkah. Mendadak saya ingin pergi ke pantai yang berada di dekat rumah saya. Sepi sekali rasanya. Belum banyak orang yang tiba di sana. Hanya saya dan satu-dua orang nelayan yang memperbaiki jalanya. Saat itulah, saya merasa sangat kecewa pada diri saya. Saya ingin sekali melecehkan diri saya yang tak berani menghadapi kenyataan. Kakek saya sudah meninggal. Tak ada lagi. Saya tak punya kakek lagi. Saya takut kehilangan kakek, seperti saya takut mati. Tapi kalau saya mati setidaknya saya tak perlu terus-menerus menangis hingga nafas sepenggalan. Pada akhirnya, saya tak memiliki keberanian untuk melihat wajah kakek untuk terakhir kalinya.

Saya tidak ingin mengakui kalau saya sakit. Kehilanganmu mungkin adalah salah satu kenyataan yang sulit saya terima. Saya ingin berlari sejauh-jauhnya sekali lagi. Menerobos mimpi-mimpi tentangmu yang dengan lancangnya saya rangkai sendiri tanpa persetujuanmu. Kehilanganmu adalah... Maaf, saya tak sampai hati lagi untuk menuliskannya.

Saat ini, saya sedang berusaha keras untuk tidak lari. Kalau saya lakukan itu, saya tidak akan pernah bisa mengikhlaskan diri saya untuk bahagia lagi. Karena ada sesuatu yang tertinggal dari diri saya pada masa di mana kau berada. Saya tidak akan lari. Bila benar saya sangat menyayangimu, saya akan menyalami tanganmu, menepuk pundakmu, mengucapkan selamat tinggal, dan mendoakan agar kau mendapat jalan kehidupan yang lebih baik.

Di pusara kakek, saya berjanji akan selalu berbahagia. Karena semasa hidupnya, hanya itulah yang berusaha ia lakukan, membuang jauh semua kesedihan dari diri saya. Saya ingin meminta maaf pada kakek, karena sempat menganggap diri saya begitu tidak berarti, jauh tidak bernilai dibanding orang lain. Tapi kehidupan yang diberi kakek ini, satu-satunya hal yang masih harus saya syukuri sampai sekarang. Saya telah bahagia mengenalmu, dan akan mencoba bahagia untuk seterusnya. Walau tak ada kau. Kemudian saya bergegas, meninggalkan kakek yang sudah tidur dengan damai. Saya sayang kakek.

Tempat Cukur Kakek... (3)

Waktu saya kecil, kakek selalu membawa saya ke mana-mana. Pada setiap orang yang ditemuinya, kakek selalu menceritakan tentang kebanggaannya pada saya. Saya jadi begitu terkenal dengan sebutan bocah-yang-bisa-bahasa-inggris-dan-membaca-sebelum-masuk-TK. Saya masih ingat bagaimana orang-orang itu selalu menyuruh saya mempraktikkan kemampuan saya itu. Waktu itu saya belum tahu, kalau yang saya rasakan saat itu adalah perasaan jumawa. Dada saya membusung kalau orang-orang mengatakan saya hebat. Senyum saya lebar kalau kakek menepuknepuk pundak saya dalam rangka memuji. Saya suka sekali menjadi cucu kebanggaan kakek. Dan itu pulalah yang menjadi salah satu kerinduan saya saat ini.

Kemudian tumbuh dalam diri saya suatu rasa percaya diri, yang kadang-kadang menjadi agak tersesat menjadi arogansi. Saya jadi sering membandel. Kalau disuruh-suruh ibu, saya selalu menolak dengan alasan belajar. Kalau dipanggil bapak, saya selalu mencari alasan untuk tidak segera datang. Dasar bocah angkuh, waktu kecil saya sudah merasa seolah-olah menjadi orang penting. Kadang kalau saya sedang rewel, saya mau segala permintaan saya dituruti. Sampai akhirnya saya minta untuk dimasukkan ke sekolah taman kanak-kanak. Orang tua saya tidak lantas setuju dengan alasan belum cukup umur. Saya berontak beberapa kali karena saya merasa mampu. Beberapa hari saya mencoba mengasingkan diri dari keluarga, termasuk juga dengan kakek. Setelah mandi pagi, saya biasanya langsung berangkat menuju sekolah untuk melihat anak-anak lain berdatangan. Saya iri, anak-anak itu dapat dengan bebas bermain di perosotan, ayunan, dan banyak permainan lain. Tapi yang membuat saya paling nelangsa, saya tak tahu mengapa mereka di sana terlihat begitu gembira, sementara saya tidak.

Setelah beberapa hari tak surut keinginan saya, ibu saya mulai geram juga akhirnya. Ibu menarik tangan saya dan membawa paksa saya ke rumah. Melihat saya menangis meraung-raung, kakek saya memarahi ibu saya dan menyuruhnya mendaftarkan saya sekolah. Saat itu saya pikir kata-kata kakek sungguh ajaib, mampu merubah keputusan ibu. Jadi saya bercita-cita ingin jadi seperti kakek, agar ibu mau menuruti apa kata saya.. Kalau dipikir-pikir, pikiran anak kecil memang naif sekali. Bahkan dulu saya sempat berkhayal ingin jadi penjual es krim, karena bisa menyantap es krim sepuasnya kalau dagangannya tidak laku.

Begitu masuk sekolah, ternyata keangkuhan saya makin menjadi-jadi. Saya merasa sudah menjadi orang terpandai di dunia. Apalagi ibu guru juga memuji saya. Rupanya kakek melihat aura jahat itu di dalam diri saya. Suatu malam, dalam ritual mendongeng sebelum tidur seperti biasanya, kakek menggambar seekor kancil di buku gambar saya. Gambarnya bagus sekali, semacam sketsa dengan garis yang artistik. Saya pasti ingin jadi pelukis kalau besar nanti, begitu pikir saya dulu. Kemudian kakek menceritakan tentang kisah Kancil Mencuri Timun. Dalam cerita itu, Si Kancil digambarkan sangat besar kepala. Sampai-sampai mengira ialah hewan paling hebat di antara lainnya. Saya mengangguk-angguk ketika kakek mengatakan sifat seperti itu tidak baik. Tapi kakek tidak menjawab ketika saya bertanya mengapa Kancil tidak boleh sombong? Bukankah ia memang hewan yang banyak akal? Itukan sama saja dengan percaya diri. Tapi lepas daripada itu, saya sudah mendapat intinya. Ya, saya akan menjadi anak sombong yang baik hati kepada Pak Tani.

Kini, saya ingin menjadi diri kanak-kanak saya dulu. Yang sombong. Yang percaya ia bisa melakukan apapun. Yang berdiri tegak membusungkan dada dan mengatakan bahwa saya ada untuk tujuan-tujuan yang tinggi. Saya ingin mengembalikan kecongkakan saya yang naif itu. Karena saat ini, rasa itu sudah hilang sama sekali, terganti oleh perasaan rendah diri yang saya tak mengerti sebabnya. Kadang, saya memikirkan betapa saya tidak melakukan suatu apapun yang cukup membanggakan. Saya bahkan tidak merasa memiliki apa-apa untuk dipamerkan. Andai kakek saya tidak menceritakan dongeng itu dan menumbuhsuburkan keangkuhan itu, tentu segalanya menjadi berbeda. Setidaknya sampai saya cukup percaya, saya memang ditakdirkan untuk menjalani hidup yang luar biasa. Karena Kek, cucumu ini tidak bisa menjalani titik terendah dalam hidupnya tanpa dibekali sifat Si Kancil itu.

Kalau kakek saya masih ada, saya penasaran, kisah apa yang akan diceritakannya untuk mengajari saya bagaimana caranya menatap ke depan lagi. Kalau kakek saya masih ada, saya rela tak bertumbuh dewasa.

Tempat Cukur Kakek... (2)

Semakin tua usia kakek, saya menyadari ibu semakin sering memarahi kakek. Kalau kakek ketahuan membuat teh manis sembunyi-sembunyi, ibu tak segan mengamuki kakek karena mengabaikan penyakit diabetesnya. Kalau kakek buang air kecil di tempat tidurnya, ibu mengata-ngatai kakek pikun. Ibu pernah murka hanya gara-gara kakek tidur seharian dan tak mau beranjak. Ibu menarik paksa kakek keluar. Ibu tak suka kalau kakek tak banyak bergerak karena kesehatan kakek memburuk semenjak berkurangnya aktivitas kakek. Saya paham maksud ibu baik. Tapi setiap kali ibu marah, saya hanya diam sambil diam-diam mengomeli ibu dalam hati. Kasihan kakek saya, tapi saya tak banyak peduli perihal itu. Saat itu saya tengah menginjak masa remaja dan disibukkan masalah-masalah pubertas. Saya tahu saat itu kakek sangat membutuhkan saya. Tapi setiap kakek memanggil saya, saya langsung kabur ke rumah teman-teman saya. Setiap kakek duduk di samping saya yang sedang menonton TV, saya pura-pura tidur sampai kakek pergi.

Sampai suatu hari saya mendapati kakek duduk diam di pinggir tempat tidurnya. Saya tak akan tahu kalau saat itu kakek sedang menangis kalau saya tak melihat air mata menitik dari mata tuanya. Kata ibu, kakek ingin makan rendang tapi tak dibolehkan karena kolestrolnya. Ibu marah-marah ketika kakek mencuri-curi rendang yang sudah disembunyikan ibuku di lemari. Lama-lama saya jadi kesal pada ibu karena memperlakukan kakek dengan tidak baik. Padahal kakek pasti dulunya sangat menyayangi ibu, seperti caranya menyayangi saya. Tapi saya kaget ketika ibu malah mendengus dan mengatakan kakek telah menelantarkannya. Ibu bilang kakek bukanlah ayah yang baik.

Ibu lalu cerita, sewaktu ibu masih kecil, ibu sudah harus menjalani hidup tanpa orang tua. Kakek saat itu tengah dipenjara karena dituduh terlibat gerakan Partai Komunis Indonesia. Sementara nenek saya sudah menikah lagi dengan orang lain dan menghilang tanpa tahu kabarnya. Hidup ibu semenjak ditinggal kakek dan nenek sangat susah. Akhirnya ibu ikut tinggal bersama kakeknya yang memiliki sebelas anak. Beberapa di antara mereka berumur sebaya dengan ibu. Tapi hidup ibu juga tidak tambah membaik. Ibu saya terpaksa bekerja menjual kecambah di pasar setiap pagi-pagi buta. Itupun keuntungan hasil jualannya harus diberikan kepada paman dan bibi ibu untuk membiayai uang saku sekolah mereka. Ibu saya sendiri tidak bisa menamatkan sekolahnya karena tidak ada yang membiayai. Ibupun merasa dikucilkan karena dianggap sebagai anak PKI. Kehidupan yang keras itu juga membentuk karakter ibu seperti saat ini.

Saya jadi mengerti mengapa sikap ibu seperti itu kepada kakek. Tapi bukankah kakek juga tak berdaya kala itu? Saya melihat kakek masih dengan posisi duduk diamnya. Tiba-tiba saya merasa sangat bersalah karena selama ini saya telah mengacuhkannya. Ketika saya mendatangi kakek, akhirnya ia mau tersenyum. Saya memijat pundak kakek dengan perasaan kasih yang meluap-luap. Saya pikir perasaan itu tersalur dengan baik karena kakek akhirnya kembali ceria. Kakek bercerita tentang masa mudanya. Juga tentang politik yang saat itu tidak begitu saya mengerti. Kemudian raut mukanya berubah ketika kakek bercerita tentang kesepian-kesepiannya. Terutama saat nenek saya memutuskan untuk tak menunggu kakek saya keluar bui. Kata kakek, sentuhan saya mirip pijatan nenek saya. Saya merasa antara bangga dan marah. Bangga karena kakek menyukainya, dan marah karena disamakan dengan nenek yang meninggalkan kakek. Uh, saya tak mau menjadi orang yang melukai kakek saya, betapapun itu adalah orang yang paling disayangi kakek saya.

Ketika saya menceritakan tentang kemarahan saya, kakek terlihat kecewa. Saya jadi bingung, harusnya kakeklah orang yang paling berhak marah pada nenek. Tapi tidak, kakek bisa menerima keputusan nenek dengan segala keikhlasan yang dimilikinya. Saya baru percaya perkataan guru agama saya yang mengatakan bahwa Tuhan memberi manusia kesabaran tanpa batas, kebodohan manusialah yang membatasi kesabaran itu. Kakek bahkan tidak marah ketika kemudian nenek meminta pertolongannya ketika suami nenek yang baru mencampakkannya. Tidak ada dendam dalam hati kakek. Yang ada hanya sesal, untuk ibu saya karena kakek belum bisa menjadi ayah yang terbaik.

Kalau saja ibu tahu, penyesalan-penyesalan yang kakek ungkapkan pada saya, mungkin hatinya akan melunak. Mungkin kebencian akan nasib yang menjadi suratannya akan mereda. Mungkin ibu akan menyayangi kakek seperti kakek menyayangi saya. Tapi kata kakek, ibu menyayanginya dengan caranya sendiri. Ya, saya sepertinya mulai paham bagaimana orang menciptakan rumusnya sendiri dalam menyayangi orang. Seperti ketika ibu menangis malam-malam sehabis memarahi kakek. Seperti kakek yang memutuskan untuk tak menikah lagi sampai akhir hayatnya walau dikhianati nenek. Seperti saya menyayangimu dengan segala kebodohan yang kau buat..

Tempat Cukur Kakek...(1)




Kakek saya dulu selalu membeli alat cukur setiap bulan sekali. Alat cukur itu disimpan di dalam kotak berwarna emas mengilat dengan hiasan hologram yang bisa berganti-ganti gambar antara burung merak dan bunga mawar. Kotak itu memiliki dasar merah dan ada kaca berbentuk persegi panjang di dalamnya. Walaupun di rumah ada cermin besar, namun kakek saya selalu memantau hasil cukurannya di cermin kecil itu. Seperti suatu ketika kakek saya sedang mencukur jenggotnya. Waktu saya tanyakan kebiasaan itu, kakek saya seperti tersadar, menggaruk-garuk dagu yang sudah licin dicukur, dan tertawa-tawa lantas pergi. Esoknya, kakek saya tetap mencukur kumisnya sambil melihat cermin kecil di kotak cukurnya.

Saat saya pulang ke rumah beberapa waktu lalu, saya menemukan tempat cukur kakek. Tapi alat cukurnya raib entah ke mana. Tak ada orang rumah yang tahu-menahu. Saya jadi ingat, sewaktu kanak-kanak saya, tangan saya pernah berdarah karena memainkan alat cukur kakek. Tapi yang paling saya ingat, ketika tahu hal itu, kakek memukul saya. Saya sedih, sedikit marah. Sudah tak saya rasakan perihnya tersayat. Saya mogok bicara dengan kakek dua hari. Hari ketiga, ibu saya bilang kakek memukul saya bukan karena marah pisau cukurnya saya buat mainan. Tapi karena kakek tidak bisa marah sama alat cukurnya karena melukai saya. Itu hari terakhir saya ingin menyentuh alat cukur kakek.

Tapi kini alat cukur itu hilang, seperti kakek. Tinggal cermin dari kotak ini yang masih ada, memantulkan bayangan-bayangan kakek dulu. Bayangan kakek saat tertawa seperti warna kotak ini. Berkilau keemasan. Janggut kakek yang memanjang berwarna keperakan. Kalau saya nakal, kakek melotot seperti tokoh jahat di majalah anak-anak yang selalu dibelikannya untuk saya setiap kakek gajian. Pertama kali saya membuat kakek terlihat bersedih adalah sewaktu saya menolak baju seperti putri yang selalu dihadiahkannya untuk ulang tahun saya. Saya malu sekali melihat bayangan saya dalam baju itu. Tetapi tidak ingin kakek kecewa lagi, saya berpura-pura menyukainya. Sampai bertahun-tahun kemudian.

Saat melihat lagi foto kakek, saya merasa sedih sekali. Bukan karena kakek sudah tidak ada lagi. Tetapi karena saya merasa saya menjadi cucu kakek yang paling mengecewakan. Sepertinya gambaran cucu kecil kakek sudah tidak ada lagi di diri saya. Diri kecil saya yang selalu merasa nyaman dipeluk ketika tidur bersama kakek, didongengkan bermacam kisah pengantar tidur, berjingkat kesenangan ketika dibelikan es krim. Beranjak dewasa, saya menjadi mengecewakan. Kalau kakek saya masih ada, saya ingin mencukurkan janggutnya yang mulai kasar. Sambil menceritakannya kisah tentang kau. Bukan dongeng seperti kesukaan kakek. Tapi saya ingin bercerita padanya tentang apa yang membuat saya bahagia sekarang. Meskipun kadang-kadang tak mudah untuk mencapai kebahagiaan itu. Satu hal yang selalu kakek pesankan di akhir dongengnya, agar saya selalu baik kepada orang. Karena orang baik akan selalu berbahagia, seperti kakek saya.

Membicarakan Realitas dari Bingkai Film Inception


...apakah hidup yang kita jalani ini adalah realitas atau hanya mimpi dari realitas lainnya...

Sehabis menyaksikan film Inception yang dibintangi Leonardo Di Caprio, saya membayangkan bagaimana jika kita juga seperti tokoh Mal, istri sang tokoh utama, yang kebingungan membedakan mana realitas dan mana bangunan mimpi yang dikonstruksi. Apakah kita saat ini cukup yakin untuk melompat dari gedung tinggi untuk mengakhiri mimpi dan terbangun dalam dunia nyata? Seperti halnya Mal yakin bahwa ada kehidupan nyata yang menunggunya usai membolehkan tubuhnya terjun bebas dari ketinggian.

Film ini setidaknya menggugah saya, dan kebanyakan penonton lain, untuk berpikir secara mendalam mengenai realitas yang tentunya menggandeng beberapa pemikiran mengenai filsafat seperti konstruktivisme a la Thomas Kuhn atau Peter L. Berger dan Thomas Luckman yang memperkenalkan konsep konstruksionisme melalui tesisnya tentang konstruksi atas realitas.

Bagian awal film ini membuat penonton bertanya-tanya, apa hubungan antara Dom yang terdampar di pantai dengan seorang pria tua (Saito) yang tampaknya telah mengenalnya dengan baik. Saya dibuat menunggu lama untuk menyadari bahwa ceritanya akan lebih rumit dan menarik ketimbang hanya seorang pria muda yang terdampar, hanya dengan membawa sepucuk senjata dan sebuah totem. Kedua item ini setidaknya bisa menjadi kunci yang menjadi motif usaha pencarian Dom atas diri Saito. Senjata di situ, kemudian saya pahami, menggambarkan pengakhiran sedangkan totem sebagai penanda

Untuk menjawab apa relasi di antara diri keduanya, penonton diajak berflash back ke masa sebelum keduanya bertemu dengan meja panjang sebagai pemisah keduanya. Jika tidak memungut ceceran informasi dari bagian-bagian di film ini, kita akan kesulitan untuk menemukan rangkaian cerita utuh (disarankan untuk menuntaskan hajat sebelum nonton agar tidak melewatkan film ini sedetikpun). Dom (Leonardo Di Caprio) adalah seorang pencuri informasi yang memasuki mimpi orang untuk mengambil data atau ide. Pekerjaannya ini menjadikannya sebagai seorang penjahat karena apa yang dilakukannya melewati batas legalitas. Namun itu dilakukannya karena ia adalah buron dari kasus kematian istrinya, Mal.

Kemudian, Saito datang, menawarkannya solusi atas impian Dom untuk pulang ke kedua anaknya. Namun, DOm harus melakukan pekerjaan yang paling sulit dari seorang ekstraktor, ia harus menanamkan ide ke kepala orang seolah-olah ide itu adalah inspirasi yang paling murni. Di sinilah realitas dipermainkan. Pertanyaan mengenai mana yang realitas, tentang kesadaran dan keyakinan menyelimuti tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Seperti yang dialami Robert Fischer, yang mengalami hingga empat tingkatan mimpi yang membuatnya tidak stabil. Kehidupan yang mana yang mesti dipercayai sebagai bagian dari realitas? Manakah yang merupakan alam sadar dan alam bawah sadar?

Bagi sains, realitas adalah segala sesuatu yang bisa diobservasi. Sementara bagi filsafat, realitas adalah apa yang bisa dipikirkan. Ini bisa jadi merupakan polaritas dari realitas, apakah Pikiran hadir karena realitas atau realitas berasal dari pikiran? Mungkin juga jawabannya dengan menghilangkan kata apakah dalam pertanyaan itu. Bisa jadi bukan merupakan suatu paradoks, namun masih terjadi proses dialektika di antara keduanya. Toh pemikiran mengenai realitas tidak benar-benar dapat terjawab secara utuh dan memuaskan. Yang menarik, dalam film Inception, antara alam sadar dan bawah sadar ditandai dengan adanya totem yang dipercaya pemegangnya sebagai pembeda antara dunia mimpi dan dunia nyata.

Totem menjelma sebagai monumen kesadaran, juga keyakinan, bahwa antara realitas dan mimpi memang dipisahkan oleh pautan logika. Dan jika kita tidak yakin pada logika, kita bisa mempercayai totem itu. Karena di dalam totem, juga terdapat logika yang diyakini sebagai kebenaran. Dom mempergunakan gasing sebagai totem yang akan terus berputar tanpa henti di dalam dunia mimpi. Ia akan tak ragu mengakhiri mimpinya jika ia yakin ia sedang berada di dalam mimpi. Hal yang sama yang dialami Mal, ia tak ragu mengakhiri hidupnya karena ia yakin ia berada dalam mimpi. Bedanya, Mal sudah mengunci rapat totemnya dalam sebuah brangkas yang tertutup rapat.

Di sini, realitas membutuhkan kesadaran. Kesadaran pada akhirnya membentuk keyakinan. Keyakinan ini memiliki kekuatan kuat yang dapat mengkonstruksi dan menghidupkan realitas, membedakannya dari alam mimpi. Keyakinan juga yang membawa Dom mempercayai bahwa kepulangannya menemui anak-anaknya di akhir cerita adalah benar-benar realitas. Dom (dan juga kita) seharusnya masih menunggu, apakah gasing yang diputarnya di atas meja sebelum merengkuh kedua anaknya itu akan berhenti, ataukah putarannya akan abadi dan menjadi penanda bahwa ada realitas lain yang menunggunya.....

Reorientasi Ruang Eksibisi Seni

Semakin ekslusif karya seni, harganya akan semakin mahal. Rumus ini mendudukkan karya seni sebagai komoditas yang diproduksi untuk pemenuhan kebutuhan materiil. Parahnya, aksioma semacam inilah yang diinternalisasikan dalam paradigma kebanyakan orang. Kesenian menjadi semakin lepas dari konteks sosial dan konteks ruang yang menghidupinya, di mana kesenian menjadi semakin ekslusif dan tidak memiliki gaung sosial yang kuat. Sebagai gantinya, kesenian menganut ilmu marketing dan cenderung mereduksi relasi dengan masyarakat sekitarnya. Hal ini terlihat dari makin mengerucutnya display karya seni dalam ruang eksibisi yang ekslusif. Di Yogyakarta sendiri, ruang-ruang pameran makin menjamur, namun serta merta membuat 'dinding' bagi penontonnya.

Dinding-dinding ini sangat berbahaya bagi perkembangan kesenian, karena kesenian akan kehilangan ruhnya seiring pengasingannya dari masyarakat. Kesenian tak pernah lahir dari ruang hampa imajinasi yang menanggalkan relasi sosial dengan masyarakat. Lantas, produk kesenian yang mencoba berdiri terpisah dari mata publik, bukan tidak mungkin akan kehilangan nilai intrinsiknya. Betapa makin jamaknya karya-karya seni yang tak meninggalkan bekas apapun dalam benak masyarakat. Seni seperti itu pada akhirnya akan lapuk dan tenggelam oleh pergantian waktu. Karena seni yang tak lekang tersimpan bukan dalam museum, tetapi dalam benak masyarakat dan tersampaikan secara turun-temurun.

Apresiasi tertinggi yang dapat diberikan pada suatu karya seni bukan hanya ditentukan dari seberapa mahal nilai jualnya, tetapi juga seberapa besar pengaruhnya bagi masyarakat luas. Namun untuk menyampaikan nilai-nilai yang terselubung dalam produk kesenian, dibutuhkan medium yang dapat menjangkau mata pandang masyarakat secara luas. Hal ini yang kiranya tak dapat dipenuhi etalase di ruang-ruang pameran yang ada. Maka muncul ide untuk menghadirkan public art yang dekat dengan masyarakat. Ruang publik disulap menjadi ruang pamer raksasa yang menyilahkan ribuan pasang mata menikmati karya seni yang ditampilkan.

Semangat itu pula rupanya yang hendak disampaikan Pemkot Yogyakarta. Langkah Pemkot Yogyakarta yang hendak mereorientasi ruang pameran karya seni, terutama seni rupa, ke ruang publik tampaknya dapat mengikis sekat-sekat antara kesenian dan masyarakat. Masyarakat dapat memiliki akses lebih untuk menyerap bentuk dan dialektika yang terkandung dalam karya seni. Penghargaan terhadap seniman juga tak perlu lagi diberikan dengan nominal materi saja. Masyarakat memberikan apresiasinya dengan cara tersendiri. Ini pula yang membebaskan kesenian dari komersialisasi yang kerap menjangkitinya.

Perhelatan Biennale Jogja X yang diselenggarakan beberapa waktu lalu merupakan bukti sukses public art yang mengintegarsikan antara masyarakat dengan kesenian. Namun yang dapat juga dijadikan pelajaran dari Biennale, bahwa ruang publik tetap menjadi milik publik yang lebih luas. Seniman tetap memiliki batasan dalam mengelola aktivitas berkeseniannya dalam kerangka kepentingan publik. Ruang publik bukanlah kanvas kosong yang bebas ditoreh dengan warna sekehendak hati pelukisnya. Namun hal ini tak lantas dijadikan semacam bentuk 'pemerkosaan' kesenian atas nama kepentingan publik. Walaupun kesenian acapkali berdiri di atas ke-'nyeleneh'-an, namun kreativitas seharusnya juga bisa duduk bersandingan dengan kepentingan orang banyak.

Bukankah hakikat kesenian ditujukan untuk kepentingan publik?