Tempat Cukur Kakek... (4-Habis)

Saya orang yang kadang-kadang tak berani menghadapi kenyataan. Saya lari dari masalah, bukan menuju pada penyelesaian. Tapi ke tempat baru di mana saya berharap tak akan bertemu dengan masalah yang sama. Saya mendekati sepi untuk mengasing. Menggayut di lengan kepuraan untuk bersembunyi. Saya pergi jauh-jauh, sepanjang-panjangnya jalan yang bisa saya tempuh untuk menghindar. Pada akhirnya, saya tidak bisa.

Subuh itu, ibu menelepon ke asrama SMA saya. Suatu panggilan yang tidak biasa. Di ujung telepon sana, ibu tidak bilang apa-apa, hanya suara tangis yang berusaha sekeras mungkin ditahan. Lama saya menanti dengan hati tidak menentu. Sampai akhirnya ibu bilang satu kata saja. Satu kata yang kemudian langsung merontokkan sendi-sendi saya seketika itu. Entah kenapa satu kata itu adalah hal terakhir yang saya ingin dengar disela tangisan ibu. "Mbah."

Saya berlari. Cepat-cepat kembali ke tempat tidur. Saya menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuh saya yang mendadak menggigil kedinginan. Bayangan-bayangan masa silam berkelebatan dengan cepat. Menyimburkan perasaan-perasaan yang saat itu ingin saya enyahkan cepat-cepat. Apa sesak ini? Saya terus menggigil. Megap-megap, tak tahu reaksi macam apa yang tengah terjadi pada tubuh saya. Yang saya tahu, saat itu saya hanya ingin memindahkan detak jantung saya ke dada kakek. Saya sesak, karena saya tahu takkan bisa melakukan hal itu. Karena tahu, ada rasa bersalah hinggap karena telah pergi meninggalkan kakek dalam waktu yang lama. Sesak karena saya belum sempat memberi tahu kakek bahwa tempat tertinggi di hati saya hanya untuk kakek. Lalu mulailah tangisan itu. Tak berhenti bahkan ketika saya sedang berada dalam perjalanan menuju rumah.

Saya selalu lari. Selalu mencari tempat bersembunyi. Menghindar dari apa yang bisa menyakiti saya. Saya lari tanpa ditemani kedewasaan. Saya berontak dari rasa perih yang menyiksa. Saya tak ingin mati karena patah hati. Kakek saya, orang yang banyak menyuguhkan banyak kegembiraan di hadapan saya. Saya bermain dalam ruang imajinasi yang aman dari kesakitan. Saya ditimang-timang agar cepat tenggelam dalam mimpi yang jauh dari realitas yang menyesakkan. Kakek, yang telah mengalami banyak kepahitan, tidak bersedia menularkan rasa itu pada saya. Bahkan untuk memberi saya tamparan keras mengenai bagaimana sesungguhnya kehidupan itu.

Saya hampir sampai di rumah. Kakek saya masih dibaringkan di sana, menunggu adzan dzuhur untuk dikebumikan. Tapi saya tak segera beranjak menuju ke sana. Entah mengapa, kaki saya berat melangkah. Mendadak saya ingin pergi ke pantai yang berada di dekat rumah saya. Sepi sekali rasanya. Belum banyak orang yang tiba di sana. Hanya saya dan satu-dua orang nelayan yang memperbaiki jalanya. Saat itulah, saya merasa sangat kecewa pada diri saya. Saya ingin sekali melecehkan diri saya yang tak berani menghadapi kenyataan. Kakek saya sudah meninggal. Tak ada lagi. Saya tak punya kakek lagi. Saya takut kehilangan kakek, seperti saya takut mati. Tapi kalau saya mati setidaknya saya tak perlu terus-menerus menangis hingga nafas sepenggalan. Pada akhirnya, saya tak memiliki keberanian untuk melihat wajah kakek untuk terakhir kalinya.

Saya tidak ingin mengakui kalau saya sakit. Kehilanganmu mungkin adalah salah satu kenyataan yang sulit saya terima. Saya ingin berlari sejauh-jauhnya sekali lagi. Menerobos mimpi-mimpi tentangmu yang dengan lancangnya saya rangkai sendiri tanpa persetujuanmu. Kehilanganmu adalah... Maaf, saya tak sampai hati lagi untuk menuliskannya.

Saat ini, saya sedang berusaha keras untuk tidak lari. Kalau saya lakukan itu, saya tidak akan pernah bisa mengikhlaskan diri saya untuk bahagia lagi. Karena ada sesuatu yang tertinggal dari diri saya pada masa di mana kau berada. Saya tidak akan lari. Bila benar saya sangat menyayangimu, saya akan menyalami tanganmu, menepuk pundakmu, mengucapkan selamat tinggal, dan mendoakan agar kau mendapat jalan kehidupan yang lebih baik.

Di pusara kakek, saya berjanji akan selalu berbahagia. Karena semasa hidupnya, hanya itulah yang berusaha ia lakukan, membuang jauh semua kesedihan dari diri saya. Saya ingin meminta maaf pada kakek, karena sempat menganggap diri saya begitu tidak berarti, jauh tidak bernilai dibanding orang lain. Tapi kehidupan yang diberi kakek ini, satu-satunya hal yang masih harus saya syukuri sampai sekarang. Saya telah bahagia mengenalmu, dan akan mencoba bahagia untuk seterusnya. Walau tak ada kau. Kemudian saya bergegas, meninggalkan kakek yang sudah tidur dengan damai. Saya sayang kakek.

0 komentar: