Tempat Cukur Kakek... (2)

Semakin tua usia kakek, saya menyadari ibu semakin sering memarahi kakek. Kalau kakek ketahuan membuat teh manis sembunyi-sembunyi, ibu tak segan mengamuki kakek karena mengabaikan penyakit diabetesnya. Kalau kakek buang air kecil di tempat tidurnya, ibu mengata-ngatai kakek pikun. Ibu pernah murka hanya gara-gara kakek tidur seharian dan tak mau beranjak. Ibu menarik paksa kakek keluar. Ibu tak suka kalau kakek tak banyak bergerak karena kesehatan kakek memburuk semenjak berkurangnya aktivitas kakek. Saya paham maksud ibu baik. Tapi setiap kali ibu marah, saya hanya diam sambil diam-diam mengomeli ibu dalam hati. Kasihan kakek saya, tapi saya tak banyak peduli perihal itu. Saat itu saya tengah menginjak masa remaja dan disibukkan masalah-masalah pubertas. Saya tahu saat itu kakek sangat membutuhkan saya. Tapi setiap kakek memanggil saya, saya langsung kabur ke rumah teman-teman saya. Setiap kakek duduk di samping saya yang sedang menonton TV, saya pura-pura tidur sampai kakek pergi.

Sampai suatu hari saya mendapati kakek duduk diam di pinggir tempat tidurnya. Saya tak akan tahu kalau saat itu kakek sedang menangis kalau saya tak melihat air mata menitik dari mata tuanya. Kata ibu, kakek ingin makan rendang tapi tak dibolehkan karena kolestrolnya. Ibu marah-marah ketika kakek mencuri-curi rendang yang sudah disembunyikan ibuku di lemari. Lama-lama saya jadi kesal pada ibu karena memperlakukan kakek dengan tidak baik. Padahal kakek pasti dulunya sangat menyayangi ibu, seperti caranya menyayangi saya. Tapi saya kaget ketika ibu malah mendengus dan mengatakan kakek telah menelantarkannya. Ibu bilang kakek bukanlah ayah yang baik.

Ibu lalu cerita, sewaktu ibu masih kecil, ibu sudah harus menjalani hidup tanpa orang tua. Kakek saat itu tengah dipenjara karena dituduh terlibat gerakan Partai Komunis Indonesia. Sementara nenek saya sudah menikah lagi dengan orang lain dan menghilang tanpa tahu kabarnya. Hidup ibu semenjak ditinggal kakek dan nenek sangat susah. Akhirnya ibu ikut tinggal bersama kakeknya yang memiliki sebelas anak. Beberapa di antara mereka berumur sebaya dengan ibu. Tapi hidup ibu juga tidak tambah membaik. Ibu saya terpaksa bekerja menjual kecambah di pasar setiap pagi-pagi buta. Itupun keuntungan hasil jualannya harus diberikan kepada paman dan bibi ibu untuk membiayai uang saku sekolah mereka. Ibu saya sendiri tidak bisa menamatkan sekolahnya karena tidak ada yang membiayai. Ibupun merasa dikucilkan karena dianggap sebagai anak PKI. Kehidupan yang keras itu juga membentuk karakter ibu seperti saat ini.

Saya jadi mengerti mengapa sikap ibu seperti itu kepada kakek. Tapi bukankah kakek juga tak berdaya kala itu? Saya melihat kakek masih dengan posisi duduk diamnya. Tiba-tiba saya merasa sangat bersalah karena selama ini saya telah mengacuhkannya. Ketika saya mendatangi kakek, akhirnya ia mau tersenyum. Saya memijat pundak kakek dengan perasaan kasih yang meluap-luap. Saya pikir perasaan itu tersalur dengan baik karena kakek akhirnya kembali ceria. Kakek bercerita tentang masa mudanya. Juga tentang politik yang saat itu tidak begitu saya mengerti. Kemudian raut mukanya berubah ketika kakek bercerita tentang kesepian-kesepiannya. Terutama saat nenek saya memutuskan untuk tak menunggu kakek saya keluar bui. Kata kakek, sentuhan saya mirip pijatan nenek saya. Saya merasa antara bangga dan marah. Bangga karena kakek menyukainya, dan marah karena disamakan dengan nenek yang meninggalkan kakek. Uh, saya tak mau menjadi orang yang melukai kakek saya, betapapun itu adalah orang yang paling disayangi kakek saya.

Ketika saya menceritakan tentang kemarahan saya, kakek terlihat kecewa. Saya jadi bingung, harusnya kakeklah orang yang paling berhak marah pada nenek. Tapi tidak, kakek bisa menerima keputusan nenek dengan segala keikhlasan yang dimilikinya. Saya baru percaya perkataan guru agama saya yang mengatakan bahwa Tuhan memberi manusia kesabaran tanpa batas, kebodohan manusialah yang membatasi kesabaran itu. Kakek bahkan tidak marah ketika kemudian nenek meminta pertolongannya ketika suami nenek yang baru mencampakkannya. Tidak ada dendam dalam hati kakek. Yang ada hanya sesal, untuk ibu saya karena kakek belum bisa menjadi ayah yang terbaik.

Kalau saja ibu tahu, penyesalan-penyesalan yang kakek ungkapkan pada saya, mungkin hatinya akan melunak. Mungkin kebencian akan nasib yang menjadi suratannya akan mereda. Mungkin ibu akan menyayangi kakek seperti kakek menyayangi saya. Tapi kata kakek, ibu menyayanginya dengan caranya sendiri. Ya, saya sepertinya mulai paham bagaimana orang menciptakan rumusnya sendiri dalam menyayangi orang. Seperti ketika ibu menangis malam-malam sehabis memarahi kakek. Seperti kakek yang memutuskan untuk tak menikah lagi sampai akhir hayatnya walau dikhianati nenek. Seperti saya menyayangimu dengan segala kebodohan yang kau buat..

Tempat Cukur Kakek...(1)




Kakek saya dulu selalu membeli alat cukur setiap bulan sekali. Alat cukur itu disimpan di dalam kotak berwarna emas mengilat dengan hiasan hologram yang bisa berganti-ganti gambar antara burung merak dan bunga mawar. Kotak itu memiliki dasar merah dan ada kaca berbentuk persegi panjang di dalamnya. Walaupun di rumah ada cermin besar, namun kakek saya selalu memantau hasil cukurannya di cermin kecil itu. Seperti suatu ketika kakek saya sedang mencukur jenggotnya. Waktu saya tanyakan kebiasaan itu, kakek saya seperti tersadar, menggaruk-garuk dagu yang sudah licin dicukur, dan tertawa-tawa lantas pergi. Esoknya, kakek saya tetap mencukur kumisnya sambil melihat cermin kecil di kotak cukurnya.

Saat saya pulang ke rumah beberapa waktu lalu, saya menemukan tempat cukur kakek. Tapi alat cukurnya raib entah ke mana. Tak ada orang rumah yang tahu-menahu. Saya jadi ingat, sewaktu kanak-kanak saya, tangan saya pernah berdarah karena memainkan alat cukur kakek. Tapi yang paling saya ingat, ketika tahu hal itu, kakek memukul saya. Saya sedih, sedikit marah. Sudah tak saya rasakan perihnya tersayat. Saya mogok bicara dengan kakek dua hari. Hari ketiga, ibu saya bilang kakek memukul saya bukan karena marah pisau cukurnya saya buat mainan. Tapi karena kakek tidak bisa marah sama alat cukurnya karena melukai saya. Itu hari terakhir saya ingin menyentuh alat cukur kakek.

Tapi kini alat cukur itu hilang, seperti kakek. Tinggal cermin dari kotak ini yang masih ada, memantulkan bayangan-bayangan kakek dulu. Bayangan kakek saat tertawa seperti warna kotak ini. Berkilau keemasan. Janggut kakek yang memanjang berwarna keperakan. Kalau saya nakal, kakek melotot seperti tokoh jahat di majalah anak-anak yang selalu dibelikannya untuk saya setiap kakek gajian. Pertama kali saya membuat kakek terlihat bersedih adalah sewaktu saya menolak baju seperti putri yang selalu dihadiahkannya untuk ulang tahun saya. Saya malu sekali melihat bayangan saya dalam baju itu. Tetapi tidak ingin kakek kecewa lagi, saya berpura-pura menyukainya. Sampai bertahun-tahun kemudian.

Saat melihat lagi foto kakek, saya merasa sedih sekali. Bukan karena kakek sudah tidak ada lagi. Tetapi karena saya merasa saya menjadi cucu kakek yang paling mengecewakan. Sepertinya gambaran cucu kecil kakek sudah tidak ada lagi di diri saya. Diri kecil saya yang selalu merasa nyaman dipeluk ketika tidur bersama kakek, didongengkan bermacam kisah pengantar tidur, berjingkat kesenangan ketika dibelikan es krim. Beranjak dewasa, saya menjadi mengecewakan. Kalau kakek saya masih ada, saya ingin mencukurkan janggutnya yang mulai kasar. Sambil menceritakannya kisah tentang kau. Bukan dongeng seperti kesukaan kakek. Tapi saya ingin bercerita padanya tentang apa yang membuat saya bahagia sekarang. Meskipun kadang-kadang tak mudah untuk mencapai kebahagiaan itu. Satu hal yang selalu kakek pesankan di akhir dongengnya, agar saya selalu baik kepada orang. Karena orang baik akan selalu berbahagia, seperti kakek saya.