Tempat Cukur Kakek...(1)




Kakek saya dulu selalu membeli alat cukur setiap bulan sekali. Alat cukur itu disimpan di dalam kotak berwarna emas mengilat dengan hiasan hologram yang bisa berganti-ganti gambar antara burung merak dan bunga mawar. Kotak itu memiliki dasar merah dan ada kaca berbentuk persegi panjang di dalamnya. Walaupun di rumah ada cermin besar, namun kakek saya selalu memantau hasil cukurannya di cermin kecil itu. Seperti suatu ketika kakek saya sedang mencukur jenggotnya. Waktu saya tanyakan kebiasaan itu, kakek saya seperti tersadar, menggaruk-garuk dagu yang sudah licin dicukur, dan tertawa-tawa lantas pergi. Esoknya, kakek saya tetap mencukur kumisnya sambil melihat cermin kecil di kotak cukurnya.

Saat saya pulang ke rumah beberapa waktu lalu, saya menemukan tempat cukur kakek. Tapi alat cukurnya raib entah ke mana. Tak ada orang rumah yang tahu-menahu. Saya jadi ingat, sewaktu kanak-kanak saya, tangan saya pernah berdarah karena memainkan alat cukur kakek. Tapi yang paling saya ingat, ketika tahu hal itu, kakek memukul saya. Saya sedih, sedikit marah. Sudah tak saya rasakan perihnya tersayat. Saya mogok bicara dengan kakek dua hari. Hari ketiga, ibu saya bilang kakek memukul saya bukan karena marah pisau cukurnya saya buat mainan. Tapi karena kakek tidak bisa marah sama alat cukurnya karena melukai saya. Itu hari terakhir saya ingin menyentuh alat cukur kakek.

Tapi kini alat cukur itu hilang, seperti kakek. Tinggal cermin dari kotak ini yang masih ada, memantulkan bayangan-bayangan kakek dulu. Bayangan kakek saat tertawa seperti warna kotak ini. Berkilau keemasan. Janggut kakek yang memanjang berwarna keperakan. Kalau saya nakal, kakek melotot seperti tokoh jahat di majalah anak-anak yang selalu dibelikannya untuk saya setiap kakek gajian. Pertama kali saya membuat kakek terlihat bersedih adalah sewaktu saya menolak baju seperti putri yang selalu dihadiahkannya untuk ulang tahun saya. Saya malu sekali melihat bayangan saya dalam baju itu. Tetapi tidak ingin kakek kecewa lagi, saya berpura-pura menyukainya. Sampai bertahun-tahun kemudian.

Saat melihat lagi foto kakek, saya merasa sedih sekali. Bukan karena kakek sudah tidak ada lagi. Tetapi karena saya merasa saya menjadi cucu kakek yang paling mengecewakan. Sepertinya gambaran cucu kecil kakek sudah tidak ada lagi di diri saya. Diri kecil saya yang selalu merasa nyaman dipeluk ketika tidur bersama kakek, didongengkan bermacam kisah pengantar tidur, berjingkat kesenangan ketika dibelikan es krim. Beranjak dewasa, saya menjadi mengecewakan. Kalau kakek saya masih ada, saya ingin mencukurkan janggutnya yang mulai kasar. Sambil menceritakannya kisah tentang kau. Bukan dongeng seperti kesukaan kakek. Tapi saya ingin bercerita padanya tentang apa yang membuat saya bahagia sekarang. Meskipun kadang-kadang tak mudah untuk mencapai kebahagiaan itu. Satu hal yang selalu kakek pesankan di akhir dongengnya, agar saya selalu baik kepada orang. Karena orang baik akan selalu berbahagia, seperti kakek saya.

0 komentar: