Mencari Hak untuk Hidup


Sementara banyak negara lain beramai-ramai menghapuskan hukuman mati dari sistem yuridiksinya, Indonesia masih mengesahkan adanya vonis hukuman mati. Apakah ‘kanibalisme yang terlegitimasi’ masih akan terus berlangsung di negara ini?


Amrozi, pelaku kasus pengeboman Bali yang divonis mati oleh pengadilan, tampak tertawa-tawa ketika tampil dalam tayangan infotainment yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta. Seakan tak ada beban atau rasa khawatir untuk menghadapi eksekusi yang akan dijalaninya. Padahal, hukuman mati seolah menjadi momok paling menakutkan bagi terpidana lainnya.

Amrozi merupakan salah satu dari sekian banyak terpidana yang mendapat vonis hukuman mati. Sejak 1978 hingga sekarang, tercatat 38 orang yang dieksekusi karena putusan pengadilan di Indonesia. Sebagian besar terpidana dihukum mati pada pemerintahan Orde Baru karena masalah politik. Namun sekarang, hukuman mati banyak diterapkan untuk pelanggaran UU Narkotika, UU Antikorupsi, UU Antiterorisme, dan UU Pengadilan HAM.

Hukuman mati di Indonesia sendiri mengikuti sistem Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan peninggalan Belanda. Jika ditilik secara hukum, vonis mati tidak sesuai dengan amandemen yang tersurat dalam UUD 1945 pasal 28 ayat 1 yang di dalamnya menyatakan hak untuk hidup. Undang-undang tersebut didukung oleh UU No 12/1995 yang menyebutkan fungsi lembaga permasyarakatan adalah pembinaan ke arah perilaku yang lebih baik bukan membinasakan, sehingga hukuman mati secara legal tidak dibenarkan. Namun sampai saat ini, terdapat 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati.

Donny Gahral Adian, dosen Filsafat UI, dalam artikelnya mengatakan, “Kontradiksi di antara undang-undang tersebut menunjukkan inkonsistensi dalam sistem hukum kita.” Kontradiksi mengenai hukuman mati tidak hanya terdapat pada sistem hukum Indonesia. Pro dan kontra yang datang dari masyarakat masih menyelimuti isu vonis mati ini. Ada pihak yang mendukung pelaksanaan hukuman mati dengan alasan tiap kejahatan yang menghilangkan nyawa orang lain, harus ditebus dengan nyawa pula. Namun ada pula pihak yang menentangnya atas dasar kemanusiaan. “Hukuman mati itu berdasar pada dendam semata. Saya rasa, kemungkinan putusan hukuman mati itu tidak objektif mengikuti hukum yang berlaku.” papar Icha, mahasiswa Universitas Gadjah Mada.

Reaksi penolakkan hukuman mati tidak hanya datang dari dalam negeri saja. Dunia internasional pun sedikit demi sedikit mendorong abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati. Sekitar 129 negara teridentifikasi telah menghapuskan praktek hukuman mati, termasuk negara-negara maju seperti Australia dan Rusia. Yang mengusik pikiran saya adalah, apakah Indonesia masih belum maju sehingga masih menerapkan hukuman mati dalam sistem peradilannya? Menjadi ironi ketika Nusakambangan, tempat Amrozi berada sekarang, memiliki slogan, “Mereka bukan penjahat. Hanya tersesat. Belum terlambat untuk bertobat.”

0 komentar: