Gembira di Kerlap-Kerlip


Bagi sebagian mahasiswa UGM, dugem telah menjadi alternatif kegiatan selain kuliah.

Fenomena dunia gemerlap (dugem) merupakan budaya pop yang banyak berkembang di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. “Di Negara-negara maju seperti Eropa, dugem dikontrol dengan ketat oleh regulasi pemerintah. Berbeda dengan di Indonesia yang tiap harinya bisa dugem, di sana dugem dilakukan saat weekend (akhir pekan, -Red),” tutur Dosen Sosiologi, DR Heru Nugroho SU.

Jogja yang notabene merupakan kota pelajar, mengalami perkembangan dugem yang relaif pesat. Mahasiswa UGM sebagai civitas akademika Jogja, ikut berperan dalam menumbuhkembangkan budaya pop ini. Kurang lebih 12 kafe maupun klab malam yang ada di Jogja menargetkan mahasiswa sebagai pangsa pasar utamanya. Beberapa klab malam seperti Hugo’s, Liquid, Caesar, Papillon, dan TJ’s merupakan mayoritas yang dikunjungi oleh mahasiswa. Rata-rata pengunjung tempat dugem tersebut sekitar 500 orang tiap harinya. Jumlah itu dapat melonjak tinggi saat diadakan acara special, seperti konser artis ibukota ataupun peringatan hari valentine.

Menurut salah seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya UGM yang juga menyambi sebagai bartender di salah satu klab malam, mahasiswa UGM mengambil tempat sekitar 10-15% dari total pengunjung di tempat ia bekerja. Jika dikalkulasi dengan menggunakan prosentase terkecil, per harinya terdapat sekitar 50 mahasiswa UGM yang menghabiskan malamnya di tempat-tempat dugem. Jika dibandingkan dengan mahasiswa dari universitas lain, populasi mahasiswa UGM yang mengunjungi klab malam memang tidak terlalu besar. Meski begitu, jumlah tersebut juga tidak bisa dibilang sedikit.

Efek Dugem

Sebagai gaya hidup, dugem memiliki sisi positif dan negative. Segi positifnya, dugem dapat membentuk jaringan pertemanan bahkan komunitas di antara sesama dugemers (penyuka dugem). Beberapa mahasiswa mengaku, tujuan utama mereka mengunjungi klab malam bukan sekadar hura-hura dan melepas kepenatan, tapi juga mencari teman ngobrol. Ada pula yang menjadikan dugem sebagai tempat berekspresi dan berolahraga melalui joget.

Sementara kerugian yang diitmbulkan oleh dugem bisa ditilik dari segi finansial. Dugem jelas bukan aktivitas yang murah. Selain cover charge (uang masuk) yang tak bisa dikatakan murah, harga makanan dan minuman yang disajikan di klab malam dapat mencapai dua kali lipat dari harga normal. Air putih contohnya. Di klab malam, harga segelas air putih bisa mencapai kisaran Rp 18.000,-.

Selain itu, atmosfir klab malam yang tidak bebas rokok sedikit banyak dapat mengganggu kesehatan. Tempat-tempat dugem biasanya dipadati oleh para perokok. Mereka yang bukan perokok dapat menjadi perokok pasif di dalam ruangan klab. Minuman beralkohol yang juga banyak terdapat di klab malam, juga dapat mengganggu kesehatan. Terlebih lagi beberapa klab malam tidak bebas pengaruh narkoba sehingga dapat merusak kehidupan mahasiswa.

“Meskipun telah menjadi stereotype (penilaian umum, -Red), tapi pada kenyataannya memang benar bahwa dugem lebih banyak memiliki sisi negative daripada positifnya,” terang Yoseph (Sosiologi ’03).

Gaya Hidup

Di kota-kota besar lainnya, dugem lebih diarahkan sebagai tempat untuk membentuk ruang public bagi orang-orang yang sibuk dan kekurangan sarana ekspresi diri. Namun di Jogja, dugem lebih dikonsep untuk membentuk trend dan lifestyle. Maka tak heran jika ada anggapan dugem dapat menunjukkan status orang dalam bergaul. “Dugem lebih sebagai citra pergaulan. Umumnya dugem menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa yang terjangkiti budaya hedonisme (mengagungkan suatu hal, -Red) dan konsumerisme,” papar Heru Nugroho.

Fenomena dugem di kalangan mahasiswa menjelaskan beberapa hal. Pertama, manusia selalu memilih sendiri komunitasnya. Beberapa mahasiswa UGM yang menjalani dugem sebagai alternative kegiatannya, mungkin meras anyaman jika berada di lingkungan pergaulan klab malam. Kedua, apapun alternative kegiatan di luar kampus, kewajiban sebagai mahasiswa tidak akan pernah hilang begitu saja. Hingar-bingar klab malam tidak akan pernah menghilangkan tugas paper, laporan penelitian, maupun ujian yang menjadi kewajiban mahasiswa. Akan lebih bijaksana, jika alternatif di luar kampus berjalan lurus dengan kemajuan prestasi di kampus.

0 komentar: