CERPEN

CERITA PENADAH TANGAH

Lelaki malam

Pelita yang sama.saat dulunya menerangi gelap semuku. Kemuning cahayanya tersemburat di pipi. Semakin dekat dalam panas jingganya. Tarian cahaya bergoyang ditiup bayu, seperti hatiku yang tergerak oleh kepulan asap hitamnya.

–sendiri meratapi nyala lilin yang hampir habis- (3 Maret 2007; 19:07:12)

Jalan ini terasa begitu gelap. Hanya disinari pantulan cahaya yang berasal dari gedung kampus di sisi jalan. Sementara lampu-lampu jalan yang dulu bak matahari malam, kini sengaja dipadamkan. Rupanya benar kata orang-orang, institusi pendidikan ini sedang mengencangkan ikat pinggangnya. Entah untuk alasan apa. Padahal biaya pendidikan semakin menjulang, hingga anak-anak petani hanya bisa bermimpi memasuki gedungnya dan bersalaman dengan mahasiswa baru lainnya. Padahal proyek-proyek banyak dikerjakan, hingga dosen tak lagi tertarik mengajar demi mengejar komisi.

Tempat ini sempat menjadi favoritku. Ketika aspal hitam warnanya menjadi keemasan ditimpa sinar jingga --seolah melingkupi seluruh rongga tubuhku. Tapi kini tak lagi. Aku hanya dapat menyandarkan diri barang sejenak di trotoar yang menjadi gelap dan sepi ini. Lelah rasanya setelah lama mengayuh sepeda untuk menjelajahi jalan-jalan yang asing. Sempat terpikirkan, barangkali ini bisa menjadi petualangan kecil di perantauanku ini. Seperti imajinasi kanak-kanakku yang begitu menggebu-gebu.

Namun yang kutemui hanya sederet pondokan yang diselingi warung-warung kecil. Sesekali kutemui kedai yang ramai dipadati orang. Setelah kuperhatikan, tempat seperti itu sering yang dijadikan public sphere kesukaan mahasiswa-mahasiswa sepertiku. Tetapi tetap saja tempat-tempat itu tak menawarkan kemenarikan bagiku.

Aku lebih suka di tempat ini meski di mana-mana tercium aroma tidak enak dari kandang sapi kepunyaan Fakultas Peternakan. Mungkin justru aroma khas ternak itu yang membuatku nyaman. Entahlah, aku hanya mencoba menikmati kesendirian milikku sendiri. Di tempat yang orang lain enggan untuk berlama-lama menyinggahinya.

Aku pada dasarnya bukanlah termasuk tipe pemencil yang kerap mengasingkan diri. Hanya saat ini aku sedang benar-benar butuh tempat yang tepat untuk menemukan diriku, yang hanya ada aku, pikiranku, dan permasalahanku. Aku lelah. Begitu banyak pernak-pernik tentang orang lain yang semena-mena memenuhi ruang pikirku. Bagaimana lagi. Tidak mudah bagiku untuk bersikap acuh, meskipun segala perangkat modernisme yang mengindividualisasikan masyarakat ini mengizinkanku untuk berbuat demikian. Tapi aku tak sanggup untuk tidak terluka mendengar anak-anak yang kelaparan perlahan meninggal satu persatu. Bukan karena perang atau terorisme. Bukan akibat beragam bencana yang marak terjadi. Bukan, bukan itu. Aku tak kuasa menahan perasaan bersalah, seandainya makanan yang kusantap hari ini kuberikan padanya, apakah ia akan masih hidup?

Aku ingin berbicara pada manusia lainnya, yang berpikir dan bertindak seperti manusia. Manusia, semua bicara tentang apa yang salah-apa yang benar. Mencoba terbuka dan melontar kritik. Selalu begitu, sampai kita tersadar: kita masih tetap sama. Kesalahan yang berulang dan tragedi yang terus menerus terjadi dalam sejarah ini, rasanya membuatku malu bahwa peradaban manusia juga berisi sifat kebinatangan. Nafsu serakah kekuasaan yang berujung materi, memenuhi tempat-tempat di pelosok dunia. Makin lama makin menyebar seperti virus yang tak ada antibodinya.

Hm, aneh memang. Mengapa pikiran-pikiran itu selalu berkelebat. Bahkan di tempat yang tak kondusif seperti ini. Aku sudah bersembunyi. Tapi tetap saja pikiran itu selalu dapat menemukanku, dan aku tak sanggup berlari dari derap langkahnya. Bunyi daun bambu pun ikut menakutiku---dengan desahannya yang malu-malu.

*******

Roh gunung

Pipinya semburat pink, tanda hawa dingin menyergap nadi. Sesekali ia mengencangkan dekapan tangannya. Kristal air menyelusup hingga ke balik kain. Dekat darinya, ibu bumi memanggilnya dengan separuh sekarat, membisikinya dengan nafas yang tersisa sedikit, “aku tidak pernah menjadi jahat. Mengertilah, manusia harus belajar”.

–mengangguk dan menangis dalam banjir- (17 Maret 2007; 21:08:01)

Gema dari gunung ini memanggil insting liarku untuk mendekat. Jauh lebih dekat dari yang seharusnya. Suara-suara itu terus memasuki kontrol emosiku, menimangku seperti bayi yang senang dibuai. Menembus tebing-tebing curam yang nampak bersahabat dengan kematian. Serenade roh gunung tetap bertalu-talu, merebahkanku dalam pangkuannya. Rengkuhlah aku dalam mencari kebenaranmu, Lanang. Biarkan tulang-tulang ini ikut menyokong langkahmu. Biar mata ini memperlihatkanmu sisi lain dunia. Kau begitu rapuh…

Ada yang bilang, terlalu banyak hal tak dapat dinarasikan yang abadi dalam keabstrakkannya. Ada yang berkata, perjalanan sesungguhnya harus berhenti sebelum perjalanan lain tiba untuk dimulai. Dalam perjalanan spiritualku mencari kebenaran, tiada selain kelabilan yang kutemukan. Ketidakpastian menjadi kekuatan dari kebenaran. Sulit sekali, mengejar apa yang sebenarnya tidak pernah ada. Tidak pernah ada untukku, juga untukmu. Dan aku masih tetap mengejarnya sampai ke puncak ini. Langkahku terseok-seok dan antara arahku saling bersilangan.

Kepenatan melingkupiku. Sedang aku teronggok tak berdaya. Harusnya aku segera mengakhiri perjalanan ini dan memulai yang lain, sebelum sempat tenagaku habis. Dan benarlah, energiku hilang untuk semua ini. Kemudian aku berbaring dengan otak yang masih mengepul-ngepul. Di sudut-sudut neuron dalam otakku penuh gumpalan yang melambatkan kerja. Menjadikan aku tak beranjak dari peraduanku, pangkuan kabut tipis yang membelaiku manja di tanah agung ini.

Begini masih lebih baik. Ya, tentu saja. Jauh lebih baik daripada orang-orang yang mematikan orang lainnya demi membela kebenarannya yang semu. Kebenaran yang dipoles oleh kepentingan-kepentingan entah siapa, yang diteriakkan agar menjadi hakiki. Aku telah berjalan, jauh sekali. Kemudian menemukan kebenaran-kebenaran itu dalam berbagai nama. Seringkali, ia bernama uang. Sangat berkuasa, hingga melegalkan yang sesat dan menenggelamkan yang fakir. Yang menguasainya menjadi raja, yang dikuasainya menjadi tamak. Kadang, ia bernama agama. Sepertinya Tuhan hanya satu, kemudian mengapa bingung dengan segala logika benar salah itu? Sementara kekerasan semakin nyata melatarinya, agama menjadi-jadi dalam mengklaim kebenaran.

Sekarang, ia bernama aku.

Tak ada yang membuatku takut, bahkan terhadap persepsi orang lain yang seringkali bertindak kejam. Pikiran itu menjadikanku kebenaran untukku sendiri. Aku dan realitas yang kubuat, meski dengan itu aku harus merasa terkucil. Ujian selalu dihadapi manusia karena terlalu sering menyita ruang. Aku membuat ruang sendiri, ---dan ujian semakin berat. Tebing ini seolah menjadi saksi atas pilihan yang kutempuh demi mencarimu, kebenaran. Ada kematian di bawah sana. Ada selubung di atas sana. Lalu aku melangkah ke arahmu. Kau ada di mana?

Jika kebenaran adalah ketidakpastian, lalu… kebenaran adalah Tuhan- atau aku?

********

Penadah tangan

Selamat siang. Salam sejahtera, atau apalah. Aku hanya ingin menyapamu. Tak ada maksud tertentu bagiku, meski dikiranya aku hanya memelas kasih. Ya sudahlah kalau sekiranya anggapan saudara demikian. Aku sebetulnya hanya ingin bercerita. Tentang omong kosong atau apa saja. Terserah saudara menginginkan cerita yang mana. Tapi jangan suruh aku untuk menentukan cerita yang mana. Aku sudah terbiasa untuk tidak memilih –hidupku pun bukan suatu pilihan.

Cerita-cerita ini begitu penuh berdesakan di memoriku. Menunggu momen-momen yang tepat untuk dikeluarkan. Mungkin juga menunggu saudara, yang mau menyisihkan waktu saudara yang selalu bergerak cepat. Sampai-sampai aku hanya terlihat seperti polisi tidur di tengah leretan kendaraan yang dipacu kencang.

Pilihlah satu cerita, berisi rangkaian kisah nyata atau sekadar cuplikan cerita yang kucomot dari imajiku. Pokoknya akan kudongengkan agar kau mengerti apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan kita, manusia. Agar aku dapat menemukan kembali wajah manusia dalam peradaban yang makin menggila ini.

Mintalah satu cerita dengan tokoh dan latar sekehendakmu. Apakah tentang budak akal dan hamba logika. Apapun akan aku narasikan. Kau paham, aku pun turut menggulirkan wacana tentang kehidupan, yang dibingkai indah dengan model macam-macam. Ada percintaan, ikatan, perjanjian, dan segalanya yang ingin kau ketahui.

“Ceritakanlah tentangmu.”

Saudaraku, aneh sekali pilihanmu. Bukankah lebih nyaman mendengarkan cerita yang lain, tentang kesuksesan misalnya. Kisahku hanya… tragedi. Mungkin orang sepertimu asing dengan apapun yang saat ini sedang aku jalani.

Lihatlah, di pinggiran jalan ini, kau tak betah dengan genangan air yang makin meninggi. Tentu saja, berjuta manusia lainnya pun begitu. Aku sendiri pun bukannya tahan. Sudah kubilang, aku sudah terbiasa untuk tidak memilih –hidupku pun bukan suatu pilihan.

Bagaimana kalau kuceritakan tentang Lelaki Malam dan Roh Gunung. Ah, ya, harusnya aku tak menyebutnya dengan huruf kapital. Itu terlalu bagus untuk mereka. Jujur saja aku juga tak menyukai mereka.

“Lantas, mengapa tak kau ceritakan tentangmu saja?”

Saudara, lakonku hanyalah sebagai pencerita, pengamat semata. Bukankah pengamat dapat bayaran lebih tinggi dari aktornya? Pengamat kemiskinan misalnya. Menjadikan Si Miskin menjadi modal mata pencahariannya, tanpa harus merasa mengubah keadaan. Sudahlah, tak perlu diperpanjang urusan itu.

“Baiklah. Lalu bagaimana lelaki malam dan roh gunung itu?”

Tak ada yang lebih menyedihkan dari keduanya. Selalu berpikir dan berpikir, tentang benar salah, tentang kemanusiaan, tentang semua hal kecuali diri mereka sendiri. Bukankah aneh, semua hal di dunia ini akan terus berjalan, bahkan meski tanpa kita usik keadaannya. Lihatlah kejahatan yang merajalela, meski diselingi beberapa kebajikan agar manusia tidak bosan. Aku bukannya sinis memandang cara mereka menyikapi apa yang sedang terjadi. Masyarakat hanya masyarakat, dan sistem tetaplah sistem. Lucunya, keduanya berharap bisa mengubah segala hal, tanpa sejenak pun meninggalkan pikiran-pikiran mereka.

“Kau memang sinis.”

Terima kasih. Tapi cerita belum selesai. Tidakkah saudara tahu, kelahiran adalah rencana, kematian adalah rencana, hidup adalah juga rencana. Siapa yang bisa memastikan kalau hidup ini berjalan salah? Tidak juga mereka.

Ya, mereka tidak bisa!

“Memang gila, berharap adanya perubahan tanpa segera bertindak. Tapi, siapa sebenarnya Lelaki Malam dan Roh Gunung itu, kalau boleh tahu?”

Aku.

0 komentar: