Berawal dari Lidah


Jika ditanya siapa tokoh favorit di televisi, sebagian orang pasti akan langsung menyebut nama Bondan Winarno. Popularitas Pak Bondan memang tak perlu diperdebatkan lagi. Setelah program acara televisi kuliner yang digawanginya sukses berat, wajahnya semakin sering muncul di layar kaca. Keberhasilannya pun turut membuat latah televisi-televisi swasta lain untuk mengimitasi tayangan kulinernya.

Namun kesuksesan Pak Bondan tentu bukan tidak beralasan. Ia begitu pandai menarasikan rasa makanan sehingga terlihat artistik dan mengundang selera. Makanan bukan lagi sebagai kebutuhan primer semata. Namun juga sebagai objek yang memiliki kasta berdasarkan cita rasa, seperti kata Pak Bondan, “Ma’nyus” atau “Lumayan”.

Tentunya lidah kitalah yang bertangung jawab untuk menemukan rasa-rasa itu. Lidah yang menjadikan makanan begitu istimewa dan memberikan kesan yang berbeda terhadap apapun yang masuk ke mulut. Namun terkadang, fungsi fisiologis lidah tidak memberikan kenikmatan dalam konteks relasi sosial. Kepekaan lidah seseorang untuk mengecap rasa tentu berbeda karena sifatnya yang personal. Kadang hal itu ternyata dapat menjadikan seseorang menjadi individualis, tidak peka terhadap kondisi sekitar.

Banyak orang saat ini mungkin sedang berburu makanan di restoran-restoran yang pernah disambangi Pak Bondan. Mencari makanan yang bisa memuaskan lidah mereka meskipun harganya relatif mahal. Yang membuat miris, justru gara-gara makanan yang tak bisa didapatnya, seorang anak di Makassar kehilangan nyawanya. Hanya karena makanan yang mungkin kita sepelekan karena rasanya yang kurang enak.

Kepekaan sosial saat ini telah menjadi barang yang langka di tengah zaman yang individualis ini. Tak usah jauh-jauh, ketidakpekaan ini dapat dengan mudah kita temukan di kampus yang menjadi tempat kita membangun komunitas. Banyak yang tidak peduli dengan sebagian mahasiswa yang rehat sejenak dari aktivitas akademisnya. Tidak ada yang bertanya, apakah dia kesulitan finansial atau apakah dia harus terpaksa bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Paling hanya stigma-stigma negatif yang berbunyi, “Ah, dia kan pemalas”.

Tentunya kita tidak ingin kejadian di Makassar itu terulang lagi. Cukuplah dengan semangkuk mie lethek berharga murah untuk menggantikan spaghetti kesukaan Pak Bondan, agar saudara kita tak ada yang kelaparan lagi.

0 komentar: