MOTOR-ISME, SAFETY RIDING, dan POLISI TIDUR


“…Berlalu lintas adalah soal akhlak, bukan teknologi…”

Tentunya opini di atas tak semata-mata bersifat subjektif dari sudut pandang seorang penulis cyber-space yang, saya duga, turut resah terhadap kecelakaan lalu lintas yang marak terjadi. Bagaimana tidak, hingga saat ini tingkat kecelakaan kendaraan bermotor di Indonesia terbukti teramat tinggi. Berdasarkan data statistik, angka kecelakaan kendaraan bermotor lebih tinggi dibanding dengan kecelakaan pada alat transportasi lainnya, seperti kereta api, pesawat, dan kapal laut. Namun dari semua kendaraan bermotor, sepeda motorlah yang dinilai paling riskan dan memakan korban paling banyak, bahkan di atas kecelakaan mobil.

Saat ini, dengan 230 juta penduduknya, Indonesia menjadi pasar sepeda motor terbesar ketiga di dunia. Bagaimana tidak, untuk sepeda motor dengan merek tertentu yang merupakan produsen sepeda motor terbesar di Indonesia saja, telah terjual lebih dari 20 juta unit. Belum lagi produsen-produsen lain, yang meskipun tingkat penjualannya terbilang kecil, tetap menambah kepadatan jalan dengan produknya. Kenyataan ini membuktikan bahwa sepeda motor lebih banyak digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai alat transportasi sehari-hari. Hal ini tentu bukan menjadi masalah seandainya di Indonesia terdapat sarana dan prasarana jalan raya yang memadai dan budaya berlalu lintas yang baik. Dan hal ini tentu tidak akan menjadi problema yang merisaukan jika tiap harinya tak ada korban-korban yang terus berjatuhan di jalan raya. Namun saat ini, dengan semakin merajainya sepeda motor di jalan raya, banyak persoalan baru yang timbul menyangkut keselamatan jiwa pengguna jalan.

Angka Kecelakaan Meningkat

Harus diakui, negeri ini memiliki masalah yang cukup serius tentang keamanan lalu lintasnya. Bahkan masalahnya jauh lebih mengancam daripada kasus terorisme yang telah menguras tenaga dan perhatian aparat pemerintahan. Informasi yang diberikan Dinas Perhubungan, terkait kecelakaan lalu lintas yang terjadi, menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan tingkat kecelakaan ketiga terbesar di antara negara-negara ASEAN. Hal itu tentu harus disikapi secara serius oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk di dalamnya pengguna jalan dan aparat. Tidak banyak yang tahu bahwa kecelakaan lalu lintas telah menjadi pembunuh No.3 di Indonesia, setelah penyakit jantung dan stroke. Tidak kurang dari 30.000 nyawa melayang di atas jalan aspal tiap tahunnya.

Di beberapa kota, angka kecelakaan lalu lintas yang tercatat sangat mencengangkan. Salah satunya wilayah Jakarta yang menunjukkan peningkatan angka kecelakaan lalu lintas yang signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 misalnya, jumlah kecelakaan yang terjadi menunjukkan angka 2.949. Angka tersebut mengalami penambahan menjadi 1,5 kalinya pada tahun 2006, yaitu menjadi 4.407 kasus kecelakaan. Jika diakumulasi, di ibukota Indonesia tersebut telah tenjadi 16.207 kecelakaan dalam periode 2003-2006, dan 10.536 di antaranya adalah kecelakaan sepeda motor. Mengacu pada data tersebut, setidaknya 44 orang menjadi korban kecelakaan tiap harinya.

Dari perhitungan tersebut, bisa saja kita berasumsi bahwa mengendarai kendaraan bermotor merupakan aktivitas paling berbahaya bagi orang banyak. Namun, seperti kata pepatah, ada asap ada api, setiap hal ada sebab-sebabnya. Kecelakaan yang makin sering diberitakan di berbagai media, setidaknya menunjukkan suatu indikasi terhadap sistem dan budaya berlalu lintas yang tumbuh-kembang di Indonesia.

Budaya ‘Si Komo’

Kecelakaan lalu lintas sangat berhubungan erat dengan peradaban yang berkembang pada suatu bangsa karena peradaban sendiri mengacu pada budaya masyarakat. Semakin beradab suatu masyarakat dalam budaya berlalu lintas, maka akan semakin sedikit kecelakaan yang terjadi di jalan raya. Kecelakaan yang banyak terjadi di Indonesia mencerminkan budaya lalu lintas yang terkonstruksi dengan buruk dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Seringkali masyarakat menyalahkan faktor teknologi sebagai penyebab utama terjadinya kecelakaan. Memang lebih mudah untuk tidak menyalahkan diri sendiri dan sibuk mencari kambing hitam daripada mencoba untuk mengintrospeksi diri dan melakukan perbaikan. Namun lama-kelamaan, kebobrokkan dalam budaya berlalu lintas masyarakat kita semakin terlihat dengan semakin meningkatnya tingkat kecelakaan kendaraan bermotor yang terjadi di Indonesia.

Menurut data statistik, 91% kecelakaan lalu lintas di Indonesia disebabkan oleh kelalaian manusia (human error). Sementara faktor lainnya yaitu faktor kendaraan sebanyak 5 % dan faktor jalan 3 %, serta faktor lingkungan sebanyak 1 %. Fakta tersebut menyanggah opini yang menyebutkan bahwa kecelakaan sering kali terjadi akibat teknologi kendaraan yang kurang mengutamakan keselamatan pengendara. Sebagian besar kecelakaan justru disebabkan oleh budaya lalu lintas buruk yang telah mendarah daging, bukan hanya pada pengguna kendaraan, tetapi juga aparat penegak aturan lalu lintas.

Berbicara tentang budaya berlalu lintas, saya terkenang pada lagu kanak-kanak yang liriknya berbunyi, “…Macet lagi, macet lagi. Gara-gara Si Komo lewat…”. Lirik tersebut bagi saya merepresentasikan ketidakdisiplinan dalam budaya berlalu lintas masyarakat Indonesia. Pernah suatu kali sekelompok turis Jepang di kota saya tampak takut dan kesal saat hendak menyeberang jalan raya yang ramai. Ternyata mereka telah menunggu selama setengah jam hanya untuk melintasi jalan. Para pengendara sepertinya enggan memberikan jalan kepada pengguna jalan lain dengan tidak mengurangi kecepatan kendaraannya saat melaju di jalan raya. Kasus tersebut tentu bukan satu-satunya yang terjadi di Indonesia. Entah kenapa, seolah-olah menjadi ‘setan jalanan’ menjadi predikat yang membanggakan bagi sebagian besar masyarakat kita yang mayoritas berusia produktif.

Budaya tersebut tentu sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan kondisi yang terjadi di negara-negara maju lain, seperti Amerika Serikat dan sebagian besar negara di Eropa. Tidak usah jauh-jauh, kita bandingkan saja dengan Singapura yang merupakan salah satu negara yang paling dekat dengan Indonesia. Sementara Singapura terlihat seperti surga dunia, negara kita justru seolah-olah memantapkan dirinya sebagai negara berkembang dan tidak tahu aturan karena tidak pernah introspeksi terhadap budaya lalu lintasnya yang bobrok.

Jika dicermati perbandingan budaya berlalu lintas antara Indonesia dan negera-negara di atas, maka perbedaan paling mencolok terletak dari bagaimana cara menyikapi peraturan-peraturan yang mengatur tentang ketertiban berlalu lintas, baik terhadap peraturan yang baru berupa rancangan maupun yang sudah ditetapkan. Misalnya saja peraturan tentang penggunaan helm standard. Saat baru dirumuskan, peraturan tersebut telah memancing aksi demonstrasi karena dinilai sebagian besar masyarakat merupakan suatu bentuk materialisme dalam peraturan pemerintah. Banyak orang yang mengeluhkan tentang betapa mahalnya helm standard yang dibeli semata-mata hanya untuk menghindari tilang. Saat ini pun setelah disahkan, belum semua kota mengaplikasikan peraturan tersebut dengan benar dan sesuai. Kalaupun telah diterapkan, banyak di antara peraturan yang telah ditetapkan hanya bersifat momentum dan lekas hilang. Seperti kebanyakan peraturan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka ‘pamer aksi’ lainnya, pelaksanaannya pun seperti ‘anget-anget tahi ayam’, alias tidak bertahan lama. Misalnya saja pada kasus yang terjadi baru-baru ini tentang menyalakan lampu kendaraan pada siang hari. Pada awalnya juga menuai aksi kontra yang besar dari masyarakat dengan alasan kali ini pemborosan energi. Namun sekarang sudah tak kedengaran lagi gaungnya dan tak ada yang menggubris.

Peraturan-peraturan yang oleh masyarakat Indonesia dianggap konyol dan mubazir itu justru dijadikan suatu tindakan antisipasif terhadap kecelakaan kendaraan bermotor di sejumlah negara maju. Dan anehnya, tak seperti dugaan mayoritas masyarakat Indonesia, peraturan-peraturan tersebut ternyata sangat efektif untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban akibat kecelakaan lalu lintas. Memang sepertinya peraturan-peraturan tersebut tampak sepele dan sangat merepotkan, apalagi harus ditambah dengan denda yang harus dibayar jika melanggar peraturan tersebut. Namun tentu saja peraturan tersebut tdak akan menjadi sia-sia jika pada akhirnya dapat melindungi nyawa pengendara kendaraan bermotor.

Aparat yang Bermasalah

Mengandalkan masyarakat saja untuk tertib berlalu lintas tentu merupakan sesuatu yang mustahil. Untuk mengontrol dan menegakkan peraturan, dibutuhkan aparat-aparat yang mengetahui pekerjaannya dengan baik. Namun seolah-olah tidak cukup dengan minimnya kesadaran masyarakat akan tertib berlalu lintas, oknum aparat yang ada justru memperburuk pelaksanaan peraturan dengan beberapa ‘penyimpangan’ yang juga merusak citra instansi yang terkait. Rusaknya imej penegak hukum di mata masyarakat dikarenakan tindakan sebagian oknum aparat yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk mendapat keuntungan demi kepentingan diri sendiri.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian aparat, termasuk polisi, gemar menimbun pundit-pundi uang dengan memanfaatkan peraturan sebagai dalih pembenaran terhadap tindakannya untuk memeras masyarakat yang melanggar peraturan. Ada kelakar yang menyebutkan bahwa pada saat akhir bulan, pengendara harus ekstra waspada, karena pada saat-saat itulah pengendara harus ‘setor’ akibat aparat yang mendadak ‘rajin’. Razia-razia yang digelar aparat seolah-olah menjadi kedok untuk ‘mencari uang’. Karena asumsi yang seperti itulah masyarakat kurang menaruh simpati terhadap peraturan lalu lintas yang sebenarnya sangat membantu kelancaran lalu lintas.

Selain itu, aparat merupakan pihak yang paling bertangung jawab atas masalah yang paling nyata dan paling dapat berpengaruh pada budaya berlalu lintas masyarakat, yaitu tentang penerbitan Surat Izin Pengemudi (SIM) yang tanpa via tes. Saya sendiri pernah merasakan ‘mudahnya’ mendapatkan SIM hanya dengan merogoh kocek sebesar Rp 200 ribu. Saya bukannya sengaja untuk memiliki SIM dengan cara ‘menembak’. Namun begitu hendak mengajukan pembuatan SIM, saya langsung ditawarkan ‘jalur khusus’ tanpa disodorkan tes terlebih dahulu. Saya juga bukanlah satu-satunya warga yang mendapat ‘layanan spesial’ dari kepolisian seperti itu.

Melihat kenyataan ini tentu kita sudah menyadari bahwa budaya dalam birokrasi negara ini ternyata telah berubah. Dulu, budaya masyarakat saat berhadapan dengan birokrasi adalah menempuh jalur formal yang berbelit-belit sebelum akhirnya menyerah dengan ‘jalur bawah meja’ untuk memotong jalannya birokrasi. Namun saat ini, aparatnya justru tanpa berbasa-basi langsung meminta ‘amplop’ karena menganggap hal tersebut sudah lumrah dan biasa. Menurut prosedur, hal itu tentu salah. Namun dari pihak masyarakat sendiri pun tidak melakukan kritik untuk mengoreksi penyimpangan tersebut. Oknum aparat pun tidak merasa dirugikan karena cukup diuntungkan dengan dana segar dari pemohon SIM. Namun akibatnya bisa terbilang fatal bagi keamanan dan kenyamanan lalu lintas di jalan raya. Tak bisa dihitung seberapa banyak pengendara yang sebenarnya tak memiliki kelayakan untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi. Sudah banyak kecelakaan yang terjadi akibat kegagapan pengendara dalam berlalu lintas.

Solusi dan Ilusi

Berkaca pada peristiwa-peristiwa berdarah di jalan raya, membuat kelompok-kelompok masyarakat mulai menyadari betapa kebiasaan buruk dalam berlalu lintas telah membahayakan beribu nyawa. Saat ini, mulai disiarkan lagi program safety riding, yang mengutamakan keselamatan daripada efisiensi waktu yang membuat pengendara berlomba untuk kebut-kebutan di jalan raya. Seperti kata pepatah Jawa, alon-alon asal kelakon, biar lambat asal selamat. Saat ini, mulai dibangun lagi etika berkendara yang dulu perlahan dilupakan akibat munculnya ‘SIM instan’. Saat ini pula, pengendara mulai menumbuhkan tanggung jawab sosial terhadap nyawa orang lain dan diri sendiri dengan mematuhi peraturan lalu lintas yang ada. Setiap orang tidak perlu menjadi super hero untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Hanya cukup mengenakan helm standard dan mematuhi rambu-rambu lalu lintas di jalan raya.

Dari pihak aparat pun mulai berbenah dengan menggelar 13 program untuk mengurangi tingkat kecelakaan di jalan raya. Di antaranya Polsana (Polisi Sahabat Anak) untuk mengajarkan kedisiplinan berlalu lintas sejak dini, Kampanye Lalu Lintas, serta Traffic Management Centre (TMC).

Namun solusi-solusi tersebut dapat saja menjadi ilusi jika, lagi-lagi, tidak dilaksanakan secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Segala program yang diupayakan akan menjadi sia-sia dan mengamini mitos tentang masa aktif peraturan di Indonesia yang immortal. Masyarakat yang kembali pada budaya berlalu lintas yang lama pun akan menjadi masyarakat yang jahiliyah yang sulit menerima perubahan-perubahan dalam rangka menjadikannya masyarakat yang lebih baik. Aparat yang gagal membuat perbaikan dalam diri dan masyarakat pun bak ‘polisi tidur’ yang acuh jika jatuh korban lagi akibat pengawasan yang kurang terhadap peraturan. Semua ide-ide tentang budaya berlalu lintas yang baik harus cepat dan tepat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, agar semakin sedikit istri kehilangan suaminya, anak kehilangan kakinya, dan darah yang tertumpah di jalan.

Sebagian aparat, yang tidak bekerja sesuai dengan proporsinya untuk mengatasi masalah keamanan dan kenyamanan di jalan raya, tentu turut bertanggung jawab terhadap terancamnya keselamatan pengguna jalan. Namun tentu tidak bisa menaruh tanggung jawab yang demikian besar di pundak aparat tanpa didukung oleh masyarakat yang peduli dan sadar peraturan. Dibutuhkan kerjasama antara pihak aparat dan masyarakat untuk mewujudkan jalan yang aman, nyaman, dan tertib. Oleh karenanya, tiap warga negara Indonesia wajib mengaplikasikan dan menaati peraturan lalu lintas yang telah dibuat: untuk menghilangkan caci-maki turis Jepang, untuk meniadakan ‘bisnis’ yang memanfaatkan seragam aparat, dan untuk menjamin keselamatan setiap orang yang bernafas di atas jalan raya.

Dhenok Pratiwi

Redaktur LPPM Sintesa Fisipol UGM

Redaktur SKM Bulaksumur UGM

Sudah punya SIM Nembak

0 komentar: