Reorientasi Ruang Eksibisi Seni

Semakin ekslusif karya seni, harganya akan semakin mahal. Rumus ini mendudukkan karya seni sebagai komoditas yang diproduksi untuk pemenuhan kebutuhan materiil. Parahnya, aksioma semacam inilah yang diinternalisasikan dalam paradigma kebanyakan orang. Kesenian menjadi semakin lepas dari konteks sosial dan konteks ruang yang menghidupinya, di mana kesenian menjadi semakin ekslusif dan tidak memiliki gaung sosial yang kuat. Sebagai gantinya, kesenian menganut ilmu marketing dan cenderung mereduksi relasi dengan masyarakat sekitarnya. Hal ini terlihat dari makin mengerucutnya display karya seni dalam ruang eksibisi yang ekslusif. Di Yogyakarta sendiri, ruang-ruang pameran makin menjamur, namun serta merta membuat 'dinding' bagi penontonnya.

Dinding-dinding ini sangat berbahaya bagi perkembangan kesenian, karena kesenian akan kehilangan ruhnya seiring pengasingannya dari masyarakat. Kesenian tak pernah lahir dari ruang hampa imajinasi yang menanggalkan relasi sosial dengan masyarakat. Lantas, produk kesenian yang mencoba berdiri terpisah dari mata publik, bukan tidak mungkin akan kehilangan nilai intrinsiknya. Betapa makin jamaknya karya-karya seni yang tak meninggalkan bekas apapun dalam benak masyarakat. Seni seperti itu pada akhirnya akan lapuk dan tenggelam oleh pergantian waktu. Karena seni yang tak lekang tersimpan bukan dalam museum, tetapi dalam benak masyarakat dan tersampaikan secara turun-temurun.

Apresiasi tertinggi yang dapat diberikan pada suatu karya seni bukan hanya ditentukan dari seberapa mahal nilai jualnya, tetapi juga seberapa besar pengaruhnya bagi masyarakat luas. Namun untuk menyampaikan nilai-nilai yang terselubung dalam produk kesenian, dibutuhkan medium yang dapat menjangkau mata pandang masyarakat secara luas. Hal ini yang kiranya tak dapat dipenuhi etalase di ruang-ruang pameran yang ada. Maka muncul ide untuk menghadirkan public art yang dekat dengan masyarakat. Ruang publik disulap menjadi ruang pamer raksasa yang menyilahkan ribuan pasang mata menikmati karya seni yang ditampilkan.

Semangat itu pula rupanya yang hendak disampaikan Pemkot Yogyakarta. Langkah Pemkot Yogyakarta yang hendak mereorientasi ruang pameran karya seni, terutama seni rupa, ke ruang publik tampaknya dapat mengikis sekat-sekat antara kesenian dan masyarakat. Masyarakat dapat memiliki akses lebih untuk menyerap bentuk dan dialektika yang terkandung dalam karya seni. Penghargaan terhadap seniman juga tak perlu lagi diberikan dengan nominal materi saja. Masyarakat memberikan apresiasinya dengan cara tersendiri. Ini pula yang membebaskan kesenian dari komersialisasi yang kerap menjangkitinya.

Perhelatan Biennale Jogja X yang diselenggarakan beberapa waktu lalu merupakan bukti sukses public art yang mengintegarsikan antara masyarakat dengan kesenian. Namun yang dapat juga dijadikan pelajaran dari Biennale, bahwa ruang publik tetap menjadi milik publik yang lebih luas. Seniman tetap memiliki batasan dalam mengelola aktivitas berkeseniannya dalam kerangka kepentingan publik. Ruang publik bukanlah kanvas kosong yang bebas ditoreh dengan warna sekehendak hati pelukisnya. Namun hal ini tak lantas dijadikan semacam bentuk 'pemerkosaan' kesenian atas nama kepentingan publik. Walaupun kesenian acapkali berdiri di atas ke-'nyeleneh'-an, namun kreativitas seharusnya juga bisa duduk bersandingan dengan kepentingan orang banyak.

Bukankah hakikat kesenian ditujukan untuk kepentingan publik?