Jangan Demonstrasi Melulu

Gerakan mahasiswa saat ini seperti kehilangan tajinya. Seolah mati tenggelam dalam romansa peristiwa 1998 yang telah menjelma menjadi kuil pemujaan bagi aktivis-aktivis mahasiswa sekarang. Parade demostrasi dijadikan rumus mati untuk mendefinisikan gerakan mahasiswa yang telah kehilangan ruhnya. Disadari atau tidak, mahasiswa masih terpukau dengan predikat agen perubahan yang tersemat tanpa memahami dengan benar konteks perubahan sesungguhnya.
Orientasi gerakan mahasiswa seakan terjebak dalam euforia sejarah, yang masih berkutat sekitar penggulingan rezim penguasa. Keberhasilan sebuah gerakan, sesungguhnya tidak melulu dilihat dari volume kekuatan dan pengorbanan untuk bisa melengserkan pemerintahan. Namun juga dari kemampuan untuk mengawal perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Menjadi ironi, ketika kini masyarakat yang diwakili mahasiswa justru berbalik mengutuk aksi mahasiswa yang mengganggu kepentingan umum. Jika melihat pandangan objektif, sesegera mungkin otokritik harus mendapat tempat dalam wacana pergerakan mahasiswa.
Format lama pergerakan mahasiswa sudah tidak lagi memberi perubahan dalam mewujudkan cita-cita perjuangan, malah mengalami penurunan grafik yang signifikan. Itulah yang akan melanda tiap elemen yang tidak peka terhadap perkembangan zaman. Di sini, peran inovator dalam gerakan mahasiswa diperlukan. Strategi perjuangan harus disusun dengan mensinergikan lini-lini yang saling menunjang fungsi masing-masing. Gerakan mahasiswa bisa dianalogikan dengan perang yang tidak hanya menggunakan jalur darat untuk melumpuhkan lawan, tetapi juga jalur laut dan udara.
Ada tiga fungsi yang dapat dijalankan dalam gerakan mahasiswa, yaitu mediasi, advokasi, dan demonstrasi. Mediasi dilakukan untuk menginformasikan suatu isu penting tidak hanya ke dalam lingkup pergerakan, tapi juga meluas ke masyarakat. Hal ini bertujuan untuk membukakan mata terhadap suatu kasus yang vital bagi kepentingan masyarakat. Jika keran informasi sudah terbuka lebar, opini publik yang mulai terbentuk akan memutuskan akan ke arah mana isu itu berkembang. Pemaksimalan penggunaan media juga harus diupayakan agar seluruh lapisan masyarakat dapat terjangkau.
Sementara advokasi menindaklanjuti apa yang sudah menjadi langkah lanjutan, yaitu mewakili kepentingan masyarakat untuk mendesak pemerintah mengambil kebijakan solutif untuk merespon isu. Advokasi di sini bisa juga dilakukan dengan lobi-lobi politik ke parlemen atau institusi eksekutif yang memiliki wewenang untuk menindaklanjuti aspirasi rakyat secara konkret.
Dan yang terakhir adalah demontrasi yang kerap mencolong fokus dalam pergerakan mahasiswa selama beberapa dekade terakhir. Namun tetap harus dikonsep dengan benar bagaimana fungsi demonstrasi agar tidak menjadi bumerang bagi mahasiswa yang justru menjauhkannya dengan masyarakat. Konsep partisipatoris yang turut serta mengajak masyarakat untuk ambil bagian dalam menyuarakan kepentingannya pantas dilakukan. Selain dapat memperbesar kekuatan, langkah ini nantinya dapat membangun kepercayaan dan dukungan masyarakat kepada mahasiswa. Mahasiswa dapat bertindak sebagai fasilitator yang memantik suara-suara tersembunyi dari masyarakat diaspirasikan.
Organisasi mahasiswa kini mesti mendesain ulang rancangan besar perjuangannya dengan menyelaraskan langkah bersama agar berbuah manis. Melihat kondisi sekarang, tentunya tak mudah untuk merombak tatanan pergerakan mahasiswa yang telah menginjak stagnansi cukup lama. Permasalahan kerap muncul, seperti fragmentasi di antara organisasi mahasiswa, apatisme berujung apolitis, serta trik politik yang seringkali menggunakan mahasiswa sebagai pasukan berani matinya. Kendala itulah yang masih menjadi PR besar bagi gerakan mahasiswa ke depannya. Meski begitu, kita masih bisa berharap gerakan mahasiswa ini dapat menorehkan catatan baru dalam sejarah yang lebih baik. Semoga nafas perjuangan ini tidak meredup, untuk kemudian mati.

0 komentar: