Mencari Kebebasan

Harga kebebasan adalah kewaspadaan abadi.”

--Wendell Phillips



Beberapa tahun lalu, orang beramai-ramai merasakan euforia reformasi. Demokrasi dirayakan dengan anggur dan darah. Kebebasan tak lagi terkurung di ruang antah berantah. Ia menyeruak dan dengan tempo yang sesingkat-singkatnya memasuki dimensi kehidupan masyarakat yang dulu otoritarian. Media menjadi salah satu elemen yang mendapat pengaruh paling signifikan dari reformasi.

Pada rezim Orde Baru (Orba), media mendapat tekanan-tekanan politik yang demikian hebat. Hal itu dapat dilihat dengan diciptakannya tonggak politis mengenai pers, yaitu UU Pokok Pers No.11/66 jo UU No.4/19671. Aturan ini membuat pemerintahan Orba dapat dengan mudah memantau pers. Jackson menggambarkan betapa Orba merambah semua sumber kekuasaan pada semua level sosial dan menutup peluang hidupnya oposisi2. Karenanya, ketika reformasi yang diperjuangkan banyak kelompok itu menghasilkan buah manis kebebasan, media yang paling bersemangat meraih kebebasan sebesar-besarnya. Bahkan menurut beberapa pemerhati media, kebebasan yang terjadi malah cenderung kebablasan.


Jurnalisme Investigasi

Media dituduh lupa diri, terutama setelah berkembang muckracking journalism (jurnalisme investigatif). Yang dilakukan media seperti Tempo, hingga menimbulkan konflik dengan objek berita, termasuk dalam praktik jurnalisme investigasi. Pers berusaha menemukan informasi-informasi tersembunyi, meskipun memakai cara yang ilegal. Dengan topi kebebasan pers, pelaku media itu berusaha melakukan pledoi agar dapat mengelak dari tuntutan. Media sudah melewati batas dari fungsi dasarnya. Tidak berlebihan jika media dikatakan telah melangkahi kerja institusi lainnya. Padahal penyampaian informasi tidak hanya dapat dilakukan oleh institusi media saja, namun oleh semua elemen yang mempunyai kewajiban dan kebutuhan untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan aktivitasnya.

Awalnya, media memiliki fungsi memberi informasi, mendidik, menghibur, dan membujuk (Ardianto dan Erdinaya, 2007: 128). Namun dalam perkembangannya, media lantas melegitimasikan dirinya sebagai institusi yang paling memiliki kekuasaan untuk menyebarkan (bahkan menurut Arswendo Atmowiloto, membikin) informasi. Yang pada akhirnya akan menggiring publik pada penyeragaman ideologi secara terstruktur. Media juga menyangkal bahwa unsur kompetisi antar sesama media mempengaruhi bagaimana mereka lebih fokus menampilkan berita yang bombastis untuk menjaring konsumen media.

Amerika serikat (yang seringkali menjadi pedoman kita dalam mengukur sesuatu) memiliki jaminan kebebasan pers dari konstitusi, memiliki sistem komunikasi paling canggih di dunia, dan memiliki media-media yang lebih independen yang menyebarkan lebih banyak informasi daripada tempat lain di dunia. Namun sayangnya, semua itu tidak menjamin terbentuknya masyarakat yang berpengetahuan luas3.

Di film Shattered Glass, diceritakan seorang wartawan (diperankan oleh Hayden Christensen) di media yang disebut ‘Air Force One’-nya pers, mengarang beberapa kejadian yang membuat medianya laku keras. Perbuatannya tidak diketahui sampai ketika salah satu media online mulai mempertanyakan kebenarannya dari berita itu. Setelah diselidiki, benarlah bahwa semua berita itu hanya rekaan jurnalisnya semata. Efek dari berita rekaan itu mungkin saja merugikan pihak-pihak lain. Jika itu terjadi, maka media telah gagal memenuhi tanggung jawab mereka sebagai ‘pengawas’.

Media seharusnya berfungsi untuk memberikan sinyal peringatan yang kita perlukan. Untuk itulah informasi berkewajiban disebarkan pada orang banyak. Dalam bermedia pun sudah terpatri sejumlah etika dan norma. Agar kemudian tidak terjebak pada bentuk-bentuk narsisme pada media itu sendiri, juga keberpihakan pada kelompok tertentu yang mempunyai kekuasaan atasnya.

Etika dalam media harusnya dimaknai sebagai sesuatu yang dapat difungsikan untuk membantu manusia menjadi lebih otonom. Otonom disini bukan terletak dalam kebebasan dari segala norma dan tidak sama dengan kesewenang-wenangan, melainkan tercapai dalam kebebasan untuk menjalani norma-norma yang diyakininya sendiri sebagai kewajibannya (Siregar, 1993:111 mengutip dari Von Magnis, 1979). Meskipun begitu, realitas yang terjadi adalah media sebagai arena pertarungan kekuasaan. Karena siapa yang memegang kendali atas arus informasi, maka ia memegang kekuasaan.


Relasi Kekuasaan

Kebebasan pers yang berlebih ini disinyalir menjadi suatu kekuatan untuk melakukan konstruksi realitas, yang akhirnya akan membawa kekuasaan. Siklus informasi yang disebarkan media (yang diulang hingga menjadi hiperealita) berkontribusi besar pada pembentukan pengetahuan.

Tesis Foucault yang terkenal adalah pengetahuan dan kuasa saling menjalin, sehingga klaim modernisme bahwa pengetahuan akan membebaskan diri dari kekuasaan menjadi tawar4.

Dalam kasus Tempo dan Tommy Winata, yang dimenangkan oleh Tempo karena menggunakan UU Pers yang bersifat lex specialis, media membuktikan bahwa mereka mempunyai gigi dalam hukum. Hal yang cukup menggembirakan sebenarnya, mengingat begitu banyaknya represi yang diberikan terhadap pers. Namun hal itu kemudian memacu banyaknya tindakan media yang ‘berani’. Media semakin vulgar dalam melakukan pemberitaan, bahkan cenderung mengarah pada deviasi fungsinya. Istilah cover both side menjadi mitos karena semakin ditinggalkan. Saya menduga media sendiri sudah menjadi tidak objektif, sebagaimana istilah pers diidentikkan dengan pers(sepsi). Kebenaran informasi yang disampaikan adalah hasil konstruksi media tentang apa yang dianggap media itu benar, meskipun pada kenyataannya mungkin saja tidak.


1 Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit. Hal 63.

2 Jackson, Karl D. 1980. Bureaucratic Polity: A Theoretical Framework for The Analysis of Power and Communications in Indonesia. California: University of California. Hal 42.

3 Jensen, Carl. Apa Kabar Muckracking Gaya Lama? Sonoma State University.

4 Donny Gahral A. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra. Hal 85

0 komentar: