Tak (Di)Kenal Maka Beriklan

Pembaca yang terhormat, Charles de Gaulle, presiden Perancis pertama, berkata, “Politisi tidak pernah percaya akan ucapan mereka sendiri, karena itulah mereka sangat terkejut bila rakyat mempercayainya.” Ironisnya, belakangan ini, banyak politisi berusaha menawar kepercayaan kita (calon pemilih) bukan dengan visi membangun bangsa. Tapi dengan potret-potret mereka yang terpampang hampir di setiap sudut jalan. Calon anggota legislatif itu makin gencar mencekoki rakyat dengan omong kosong. Harapannya, dalam pemilu legislatif nanti mereka dapat menuai keberhasilan.

Kebanyakan dari iklan politik yang ditampilkan, tak mengandung isu penting. Bahkan ada beberapa iklan yang ‘lucu’. Kita diharapkan memilih caleg karena anaknya seorang artis, atau karena nomor urut sang caleg sama seperti nomor punggung pesepak bola internasional. Itulah mengapa kemudian politisi selalu diidentikkan dengan citra diri tanpa substansi.

Cara-cara dangkal seperti itu tetap mereka lakukan guna meraih sekian persen suara masyarakat, sebagai syarat menduduki kursi legislatif. Mereka pikir, popularitas menjadi kunci keberhasilan. Padahal, ketenaran sering juga tak dibarengi dengan kapasitas dan tanggung jawab pemangku jabatan. Karena popularitas itu sendiri tidak didapat melalui proses panjang. Namun dari budaya reklame yang merupakan cara instan menuju kemashyuran.

Tren mengiklankan diri seperti ini mewabah dalam masyarakat yang lebih suka cover daripada isi. Budaya pop merasuk di berbagai aspek kehidupan. Bahkan secara tidak sadar, budaya itu sering diaplikasikan dalam ranah yang signifikan bagi kehidupan berkebangsaan. Perlahan-lahan kita akan menuju ketiadaan (nihilisme). Karena tak ada nilai yang benar-benar kita pegang dan percayai, selain kenihilan itu sendiri.

Saya percaya, citra diri memang penting. Namun akan lebih bijaksana jika diikuti dengan kemampuan dan kemauan untuk mengawal masyarakat ke kondisi yang lebih baik. Agar kita juga tak perlu lagi mengamini perkataan Charles.

0 komentar: